Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘yogyakarta’

Persembahan Kehidupan

  • Heri Dono

Ia serahkan hidupnya hanya untuk satu kata: seni, yang telah membebaskannya dari segala malabencana

Kenangan amat mengesankan menggenangi perasaan Heri Wardono. Kala itu ia melihat air danau kecoklatan perlahan-lahan berubah menjadi biru toska yang memberinya rasa damai dan sejuk. Ia bisa berenang, bahkan rasanya seperti terbang! Jauh di seberang, ia melihat kawan-kawannya menatap padanya. Dalam hati penuh kemenangan, ia bertekad menyeberangi lautan, membuktikan kekuatan. Setiap gerakan yang dilakukan seperti adegan slow motion film The Six Million Dollar Man. Pemandangan begitu indahnya. Begitu beningnya. Begitu heningnya. Pengalaman ini sungguh luar biasa.

“Mungkin pengalaman itu yang membuat saya menjadi seniman,” Heri Dono tersenyum, mengisahkan halusinasinya ketika tenggelam di danau Ancol, 40 tahun lalu, dan membuka percakapan mengenai dirinya sendiri pada suatu siang di Nadi Galleri, Jakarta. “Bapak hampir frustasi, sampai akhirnya menubruk tubuh saya yang sudah lemas,”katanya meneruskan. Waktu itu tipis sekali kemungkinan ia bisa bertahan dalam lumpur yang pekat. Tapi ia berhasil diselamatkan. Meski sesudahnya, ia harus banyak berurusan dengan obat-obatan dan…paranormal! (more…)

Read Full Post »

Nyanyi Sunyi Nasirun

nasirun

Maka kita akan mengerti mengapa Nasirun menikmati hidup dengan nyaman di kediamannya yang seperti surga untuknya. Karena di situlah ia terus “bertapa”

Maafkan. Kali ini Nasirun tak tertawa. Ia sedang bercerita tentang masa lampaunya. Ia bahkan lebih banyak diam. Suaranya serak. Kepulan asap rokoknya lebih banyak. Nafasnya memberat. Nasirun, seniman kontemporer yang juga sufi itu, tampak mempertimbangkan segala hal yang akan diungkapnya. Mungkin ini aib, ujarnya kemudian. Tapi dari peristiwa inilah segala perjalanan artistik kehidupan yang membentuk karakter dan kepribadiannya dimulai. “Mungkin saya punya selera humor. Slengekan. Tapi semua itu saya lakukan untuk menutup masa lampau saya. Saya tidak ingin merasa kecil ketika melihat orang besar, dan tidak merasa besar ketika melihat orang kecil.”

Baru kali ini melihat Nasirun tanpa tawanya yang khas, bebas, merdeka, yang tak pernah lepas dari dirinya. Sebaliknya, ia amat serius. Dahinya berkerut. Perbincangan ini terjadi di siang hari – waktu yang biasanya digunakan mengaso secara teratur – hanya dewi dan dirinya di kediamannya yang asri di Yogyakarta. Semalam, ia mengadakan pameran tunggal pelukis senior Soenarto PR, sebagai wujud baktinya pada senior-seniornya. Sementara itu, setelah menyelesaikan pameran tunggal dan akbar Salam Bekti akhir 2009 lalu, ia telah menyelesaikan 1200 karya kecil yang rencana dipamerkan menyambut ulang tahunnya ke empat puluh lima Oktober ini, serta 100 karya lainnya dalam satu tema. Saat ini beberapa karyanya sedang dipamerkan di Jakarta, Yogyakarta, dan Shanghai. (more…)

Read Full Post »

Nyanyi Sunyi Nasirun

Nasirun by Wahyu Tantra

Maka  kini kita  akan mengerti mengapa Nasirun menikmati hidup  dan terus “bertapa”

Maafkan. Kali ini Nasirun tak tertawa. Ia sedang bercerita tentang masa lampaunya. Ia bahkan lebih banyak diam. Suaranya serak. Kepulan asap rokoknya lebih banyak. Nafasnya memberat. Nasirun, 45 tahun, seniman kontemporer yang juga sufi itu, tampak mempertimbangkan segala hal yang akan diungkapnya. Mungkin ini aib, ujarnya. Tapi dari peristiwa inilah segala perjalanan artistik kehidupan yang membentuk karakter dan kepribadiannya dimulai. “Mungkin saya punya selera humor. Slengekan. Tapi semua itu saya lakukan untuk menutup masa lampau saya. Saya tidak ingin merasa kecil ketika melihat orang besar, dan tidak merasa besar ketika melihat orang kecil.”

Baru kali ini melihat Nasirun tanpa tawanya yang khas, bebas, merdeka, yang tak pernah lepas dari dirinya. Perbincangan ini terjadi di siang hari – waktu yang biasanya digunakan mengaso secara teratur – di kediamannya yang asri di Yogyakarta. Semalam, ia mengadakan pameran tunggal pelukis Soenarto PR, sebagai wujud bakti pada seniornya. Sementara itu, setelah menyelesaikan pameran tunggal dan akbar Salam Bekti akhir 2009, ia menyelesaikan 1200 karya kecil (rencana dipamerkan tunggal menyambut ulang tahunnya yang ke-45 Oktober lalu, tapi gagal), serta 100 karya lain dalam satu tema. Saat ini beberapa karyanya sedang dipamerkan di Jakarta, Yogyakarta, dan Shanghai. (more…)

Read Full Post »

Jembatan Dua Cinta

heri pemad

Ia selalu mencari cara membahagiakan orang lain, tapi belum pada cintanya.

 

Celoteh kisah dalam bahasa Jawa kental terasa begitu kontras di tengah alunan musik jazz di Loewy Restaurant, Mega Kuningan, Jakarta. Kisah yang begitu serunya, sehingga beberapa pasang tatap mata menoleh pada Heri Pemad, sang pemilik suara. Siang terik itu, ia tampak asyik berbincang menyantap grill escargot dari bistro Perancis dengan sesekali membetulkan letak kacamata. Ia menyelinap sejenak dari aktivitasnya memantau pameran Space & Image yang digelar di Ciputra Art World. Di ajang pameran seni akbar tersebut Heri Pemad Art Management miliknya bertidak sebagai event organizer.

Tapi perbincangan waktu itu sama sekali tak menyentuh kesuksesan pameran di Art Paris, persiapan Jogja Art Fair #3, atau konsep pameran dalam rangka pembukaan museum pribadi seorang kolektor besar Indonesia awal tahun 2011. Pikirannya masih tertambat pada seperangkat gamelan Jawa yang baru saja dipersembahkan pada warga di kampung masa lampaunya di Sukoharjo. Ia bercerita bahwa di luar kegiatan padat membuat pameran-pameran besar di berbagai kota dan negara, sengaja ia kosongkan waktu hampir setiap minggu demi menikmati alam pedesaan sambil melihat anak-anak kecil memelajari gamelan. “Rasanya senang bisa menyenangkan orang banyak,” ujarnya. (more…)

Read Full Post »

Putu Sutawijaya by Wahyu Tantra

Membaca Teks yang Tersamar

Untuk mengenal ia secara dekat, lihatlah karya-karyanya, lalu terjemahkan kode-kode yang disiratkan.

Putu Sutawijaya benar-benar sedang mencari “sayap” ketika karya Looking for Wings (2002) tercipta. Namun “sayap” baru ditemukan lima tahun kemudian, tatkala sebuah ketukan palu menandai terjualnya karya tersebut di balai lelang Sotheby’s dengan harga fantastis. Para pengamat seni rupa mengatakan bahwa peristiwa yang sering disebut sebagai Insiden Mei 2007 ini telah menjadi pemicu ledakan seni rupa kontemporer Indonesia di Asia Tenggara. Indonesia pada akhirnya diperhitungkan sebagai surga baru perburuan seni kontemporer, bersaing dengan Cina dan India. (more…)

Read Full Post »

Swargaloka Nasirun

Nasirun

Ia merasa bahwa rumah ibarat “mal” untuk dirinya. Segala hal yang diinginkan dan dicintainya ada di dalamnya. Sementara ia merasa tak butuh ponsel untuk berkomunikasi secara intensif. Toh rumahnya sudah terbuka untuk semua orang yang datang padanya. Justru  “langgar” yang sangat penting untuknya.  Ibarat sebuah ponsel yang menghubungkan dirinya dengan Tuhannya.

Nasirun, ah Nasirun… Tak ada yang bisa mengubah penampilan kesehariannya kecuali dirinya sendiri.Bahkan waktu puluhan tahun menimang gelimang kesuksesan material yang diperoleh dari karya-karya lukisannya, tak juga mempengaruhi gaya kesenimanannya.  Pemenang Philip Morris Award 1997 lebih nyaman dengan penampilan khasnya:  kaus T, celana pendek belel, dan sandal jepit. Janggutnya dipelintir rambut tebal bergelombangnya dibiarkan terurai, atau sesekali dikuncir. Suara tawanya masih tetap menggelegar. Ia juga tak pernah menginjakkan kakinya di mal dan bersikeras tak mau memiliki ponsel. (more…)

Read Full Post »

Mencari Tempat Menepi dan Untuk  Selalu Kembali

galam zulkifli

Hidup itu rumit, tapi seni menyederhanakan. Pikirannya rumit, rumah bergaya sedehana mengimbanginya.

 

 

 

 

 

 

 

Sebuah rumah di tepi hamparan sawah, berpemandangan alam indah, menyepi, dan jauh dari keramaian tetangga sekitar. Itulah lokasi studio yang baru saja selesai dibangun Galam Zulkifli. “Kita bertemu di studio saja ya, karena studio itulah yang mewakili karakterku,” kata-katanya masih terngiang saat dewi menginjakkan kaki di desa Kasihan, Bantul, Yogyakarta beberapa saat lalu. Ia baru saja menerima kabar gembira. Pameran terakhir yang menampilkan pop art dengan kreasi ilusi di Avanthai Gallery, Swiss, Agustus lalu, terjual habis.  (more…)

Read Full Post »

Petualang Kehidupan

ugo untoro

ugo untoro

Bagi Ugo, seni tidak hanya diukir di atas kanvas atau obyek, tapi juga di hati, perasaan dan kehidupannya

Satu halaman buku saja tidak akan pernah cukup untuk menuliskan Ugo Untoro. Seniman eksentrik yang kini bermukim di Yogyakarta ini memang menarik dikupas dari berbagai sisi. Dari penampilan hingga karya seni yang dilahirkan seolah menunculkan petanda-petanda yang bebas diinterpretasikan oleh siapapun. Itu sebabnya penulis, sastrawan yang juga sahabat Ugo, Omi Intan Naomi sanggup menghabiskan 483 halaman untuk membukukan kisahnya: The Sound of Silence and Colors of the Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter (17 Years of Ugo Untoro’s Fine Arts, 1989-2006). Buku yang dibuat dalam waktu sepuluh hari itu diluncurkan Desember lalu di Jakarta.

Seorang seniman kontemporer Indonesia yang namanya terus menanjak -sayang dia enggan disebut namanya-mengakui bahwa Ugo adalah sosok legenda dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia yang sangat total dalam berkarya. Ugo-lah yang membawa gaya corat-coret di atas kanvas sejak 15 tahun lalu, yang kini baru disadari, seperti dikatakan kurator Hendro Wiyanto, bahwa apa yang dilakukan itu dimaksudkan untuk “menghancurkan” gaya (seni lukis) di akademi seni rupa Yogyakarta yang sarat berpegang pada mutu keastistikan sapuan kuas dan garis. Tiga penghargaan bergengsi dalam dunia seni, Philip Morris Award sempat direbutnya pada tahun 1994, 1998, dan kemudian memenangkan 5 Best Asia Philip Morris Award di Hanoi, Vietnam. Ia juga ditasbihkan menjadi Tokoh Seni Rupa Tahun 2007 versi Majalah Tempo. (more…)

Read Full Post »

Cinta Merah

Christine Ay Tjoe

christine ay tjoe

christine ay tjoe

Merah itu luka. Merah itu darah. Tapi merah juga bisa berarti gairah. Kehidupan. Di atas kanvas, ia menyembuhkan seluruh luka dalam hidupnya

Dunia seni rupa Asia Tenggara mengenal benar karya-karya Christine Ay Tjoe (1973). Gaya estetiknya yang khas rupanya mencuri perhatian banyak galeri dan kolektor seni rupa kontemporer. Ia dikenal memiliki sensibilitas estetik yang diolah dari dari perasaan terdalamnya. Karena itu karyanya terasa sangat personal, orisinil, dan sama sekali tak dipengaruhi tren seni rupa terkini. Dia hanya percaya pada dirinya sendiri, sebab kanvas baginya adalah penyembuh luka-luka hidupnya.

Ay Tjoe lahir di Bandung, dari sebuah keluarga sederhana. Di sebuah pemukiman padat, ramai, dan cukup banyak konflik, ia tinggal bersama ketiga saudara kandung, orang tua, dan neneknya dalam sebuah hubungan yang tak hangat, bahkan cenderung dingin dan kaku. Kedua orang tuanya sangat sibuk di toko kelontong miliknya, sehingga Ay Tjoe kecil acapkali merasa tak mendapat perhatian secukupnya. “Kadang saya ingin dipeluk ibu seperti teman-teman lain..,”ia mengingat keinginan yang dipendamnya selama bertahun-tahun dan tak pernah disampaikannya itu.

(more…)

Read Full Post »