Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘seniman’

Gincu Merah Waldjinah

Bahkan sebuah keberuntungan tidak instan. Ada perjalanan panjang yang telah menyertainya jauh-jauh hari ke belakang

waldjinah

Waldjinah tak pernah berubah. Ia masih terlihat kenes dalam balutan kebaya kutu baru dan sanggulnya. Polesan kosmetik masih saja menunjukkan pamornya yang demikian kuat. Hingga kini nama dan citranya masih tetap sama: Ratu Keroncong Indonesia. Sulit untuk memunculkan nama yang bisa menyamai popularitasnya dalam dunia keroncong dan langgam di Indonesia. Nama Waldjinah selalu disebut yang pertama. Selalu. Meski dekade demi dekade telah berlalu.

Dalam beberapa pertemuan, dan khususnya ketika ia mengisi sesi pergelaran Anne Avantie di Kraton Susuhunan Solo akhir Mei lalu, suara dan penampilannya masih tetap juara. Bila berubah hanyalah petanda usia. Ia tetap ramah dan rendah hati kendati bintangnya sudah terang sedemikian lama dan abadi. Saat ditemui di kediamannya di Solo, ia sudah berdandan seperti siap pentas, meski menggunakan daster kesayangan, seolah menegaskan bahwa gaya dandanan itulah ikon dirinya. (more…)

Read Full Post »

Persembahan Kehidupan

  • Heri Dono

Ia serahkan hidupnya hanya untuk satu kata: seni, yang telah membebaskannya dari segala malabencana

Kenangan amat mengesankan menggenangi perasaan Heri Wardono. Kala itu ia melihat air danau kecoklatan perlahan-lahan berubah menjadi biru toska yang memberinya rasa damai dan sejuk. Ia bisa berenang, bahkan rasanya seperti terbang! Jauh di seberang, ia melihat kawan-kawannya menatap padanya. Dalam hati penuh kemenangan, ia bertekad menyeberangi lautan, membuktikan kekuatan. Setiap gerakan yang dilakukan seperti adegan slow motion film The Six Million Dollar Man. Pemandangan begitu indahnya. Begitu beningnya. Begitu heningnya. Pengalaman ini sungguh luar biasa.

“Mungkin pengalaman itu yang membuat saya menjadi seniman,” Heri Dono tersenyum, mengisahkan halusinasinya ketika tenggelam di danau Ancol, 40 tahun lalu, dan membuka percakapan mengenai dirinya sendiri pada suatu siang di Nadi Galleri, Jakarta. “Bapak hampir frustasi, sampai akhirnya menubruk tubuh saya yang sudah lemas,”katanya meneruskan. Waktu itu tipis sekali kemungkinan ia bisa bertahan dalam lumpur yang pekat. Tapi ia berhasil diselamatkan. Meski sesudahnya, ia harus banyak berurusan dengan obat-obatan dan…paranormal! (more…)

Read Full Post »

Petualang Kehidupan                                                                              

 kemal jufri

Passion itulah yang membuat saya selalu kembali, dan kembali…  

Perjumpaan dengan Kemal Jufri terjadi pada sebuah senja di Anomali Coffee, Setiabudi Building, Jakarta. Ia duduk di dekat kaca, menghadap  jalan raya dan gedung-gedung tinggi di seberangnya, lalu bercerita tentang pengalaman hidupnya sebagai jurnalis foto dengan amat ekspresif. Setiap foto yang dibuatnya adalah cerita panjang yang sangat personal, dibuat dengan sepenuh jiwa dan mata hatinya. Tak berlebihan kiranya bila tahun ini ia mendapat juara ke dua World Press Photo (kategori People in The News Stories), penghargaan dalam tiga kategori dari Picture of The Year International – semacam World Press Photo versi Amerika, serta China International Photo Contest yang memberikan Gold Prize. Ia adalah jurnalis foto pertama Indonesia yang meraih penghargaan tertinggi untuk fotografi jurnalistik itu.

Kemal terlihat menawan dengan kemeja biru tua yang berpadu celana kargo khaki. Dari salah satu sakunya, ia mengeluarkan Krama, syal kotak-kotak khas Kamboja, benda yang amat berguna untuk melindunginya dari berbagai kendala cuaca. “Karena saya bekerja dalam suasana ekstrim, saya perlu menyiapkan busana kerja yang berteknologi quick-dry, celana berkantung-kantung, serta sepatu nyaman yang juga berteknologi tinggi,” katanya. Jika ia dianggap punya “taste” jurnalistik baik, demikian pula dalam penampilan. “Bukan soal modis, hanya segala hal ini membantu saya dalam bekerja dengan nyaman,” elaknya. (more…)

Read Full Post »

Melati untuk Ibu

 runi palar

Pengabdian, kepasrahan, dan totalitas berkarya adalah tiga kata kunci keberhasilannya

 

Runi Palar mencium kembali bunga kamboja kuning yang dipungutnya dari tempatnya berpijak. Sesuatu telah membuatnya terkenang, sehingga buliran air mata tiba-tiba mengaliri pipinya yang segar usai berdandan. Suasana serasa dalam sebuah adegan drama. Bayangan pepohonan jatuh dengan hangat di sebagian pipi dan seluruh halaman. Ia berdiri di tengah-tengah rumah tinggalnya  dengan Runa House of Design dan Museum –tempat ia meletakkan karya-karyanya,  di depan kolam teratai yang berbunga, di antara kebun penuh tanaman lokal yang begitu asri dan bebungaan yang ditata rapi.  “Saya rindu Ibu. Kalau saya sedang senang, saya selalu mengingat Ibu,” ujarnya.

Pertemuan ini terjadi di Lodtunduh, Ubud, Gianyar, Bali. Runi baru saja kembali dari perjalanannya membawa rombongan berkeliling Jepang. Namun kali ini misinya bukan untuk mempresentasikan tren dua kali dalam setahun seperti rutinitas yang sudah dijalani selama 9 tahun terakhir. Ia mendapat kepercayaan dari pusat perbelanjaan Isetan untuk menggelar pameran Modern Bali Style 2010, di mana ia bertanggung jawab untuk membawa produk-produk terbaik Indonesia. Seperti diketahui, eksistensi Runi sebagai desainer perak ikonik Indonesia sudah diakui. Butiknya tersebar di Bandung, Bali, dan Yogyakarta. Sementara di Jepang, Amerika, Singapura, dan Hongkong, Anda bisa menemukannya di ritel-ritel butik eksklusif. (more…)

Read Full Post »

Nyanyian Tubuh

dolorosa sinaga

dolorosa sinaga

Ia sublimasikan tradisi menyanyinya dalam tubuh-tubuh patung-patung yang menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan untuk perempuan

Bila diandaikan sebuah musik, patung-patung ciptaan Dolorosa Sinaga tentunya membentuk sebuah orkestra musik yang indah dan dramatik. Situasi ini terbangkitkan melalui bentuk keseluruhan patung yang begitu bergerak dan bercerita. Terlihat dari struktur tubuh, eskpresi, gestur, gerakan, tekstur patung, yang akhirnya memunculkan sebuah gerakan, melawan, bermain sepenuhnya mengikuti kata hati. Perasaan itulah yang muncul ketika dewi memasuki ruang studio Dolorosa akhir Juni lalu. Patung-patung yang “menghuni” ruangan seperti hidup, melayang-layang ruhnya, dan seolah ikut bercengkerama dengan makluk hidup yang memasuki wilayahnya. (more…)

Read Full Post »

Tarian Kehidupan

eko supriyanto

eko supriyanto

Waktu kecil dianggap sebagai kerikil.  Kini dia telah tumbuh dan bermetamorfosa menjadi intan yang siap diasah…

Eko Supriyanto mulai menari ketika kabut mulai turun di Candi Sukuh. Tubuhnya terhanyut dalam gerakan yang ia rasakan ketika bersentuhan dengan alam, udara dingin, pepohonan, serta relief candi yang bertutur tentang kejadian manusia. Musiknya: desir angin dan jepretan kamera. Bangunan candi yang berupa kerucut terpotong, pohon-pohon dan langit berkabut menjadi latarnya. Ia bergerak seolah merayap seperti kura-kura lalu bergerak terbang ke udara seperti burung garuda. Kata-kata Eko sebelum menginjak bangunan candi bahwa ia menemukan kesadaran kepenariannya di sini kembali terngiang. Mungkin hal itu yang membuatnya trance ketika menari.

“Candi ini bercerita tentang pertemuan antara Ibu Bumi, yang disimbolkan oleh kura-kura, dan Bapak Angkasa yang disimbolkan oleh garuda. Tapi buatku, ini berarti bahwa kita harus meraih cakrawala, tapi harus tetap kembali ke bumi,”tuturnya tentang tarian yang baru saja diperagakan. Pernyataan ini sepertinya sangat cocok dengan dirinya yang kini tercatat sebagai penari, koreografer serta pemilik studio tari “Solo Dance Studio” yang disegani di dunia tari internasional. Meski memiliki latar belakang tradisi asal Jawa, namun ia begitu terbuka dalam menyerap berbagai khasanah dalam lingkungan global sehingga kehadirannya diperhitungkan dalam panggung kolaborasi internasional. (more…)

Read Full Post »

Petualang Kehidupan

ugo untoro

ugo untoro

Bagi Ugo, seni tidak hanya diukir di atas kanvas atau obyek, tapi juga di hati, perasaan dan kehidupannya

Satu halaman buku saja tidak akan pernah cukup untuk menuliskan Ugo Untoro. Seniman eksentrik yang kini bermukim di Yogyakarta ini memang menarik dikupas dari berbagai sisi. Dari penampilan hingga karya seni yang dilahirkan seolah menunculkan petanda-petanda yang bebas diinterpretasikan oleh siapapun. Itu sebabnya penulis, sastrawan yang juga sahabat Ugo, Omi Intan Naomi sanggup menghabiskan 483 halaman untuk membukukan kisahnya: The Sound of Silence and Colors of the Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter (17 Years of Ugo Untoro’s Fine Arts, 1989-2006). Buku yang dibuat dalam waktu sepuluh hari itu diluncurkan Desember lalu di Jakarta.

Seorang seniman kontemporer Indonesia yang namanya terus menanjak -sayang dia enggan disebut namanya-mengakui bahwa Ugo adalah sosok legenda dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia yang sangat total dalam berkarya. Ugo-lah yang membawa gaya corat-coret di atas kanvas sejak 15 tahun lalu, yang kini baru disadari, seperti dikatakan kurator Hendro Wiyanto, bahwa apa yang dilakukan itu dimaksudkan untuk “menghancurkan” gaya (seni lukis) di akademi seni rupa Yogyakarta yang sarat berpegang pada mutu keastistikan sapuan kuas dan garis. Tiga penghargaan bergengsi dalam dunia seni, Philip Morris Award sempat direbutnya pada tahun 1994, 1998, dan kemudian memenangkan 5 Best Asia Philip Morris Award di Hanoi, Vietnam. Ia juga ditasbihkan menjadi Tokoh Seni Rupa Tahun 2007 versi Majalah Tempo. (more…)

Read Full Post »

Merajut Sejarah

Lukman Sardi

Lukman Sardi

Di sepanjang kehidupannya, dia selalu bergulat dan mencoba melepaskan diri dengan nama besar ayahnya. Namun pada akhirnya ia justru menemukan “ayahnya” dalam dirinya.

Nama Lukman Sardi kembali terangkat ketika film Indonesia bangkit dari mati suri. Pria yang pernah mendapat penghargaan sebagai artis cilik terbaik dalam Festival Film Indonesia awal 80-an ini memang tergolong produktif dalam berkarya. Bisa dibilang, setiap tiga bulan sekali, ia menyelesaikan satu film. Putra musisi Idris Sadri ini kini adalah salah satu sosok cemerlang dalam dunia perfilman Indonesia – dan memang, ada banyak kisah mengenai sang aktor dan ayahnya.

Di kalangan kritikus film, Lukman dinilai sebagai seorang aktor karakter yang handal. Bagaikan bunglon, ia berubah pada setiap perannya. Kadang terlihat keras dalam film “Mengejar Matahari” dan “Sembilan Naga”, atau lucu dan setengah menyebalkan sebagai seorang sopir poligamis dalam “Berbagi Suami”. Ia juga dapat menyentuh hati dengan memerankan seorang sahabat setia, seperti ketika ia bermain sebagai mantan aktivis Herman Lantan, sahabat dari tokoh legendaris Soe Hok Gie dalam film “Gie”. Lukman adalah aktor yang layak menjadi bintang karena bakat dan kehandalannya berakting dan bukan karena bermodal wajah tampan atau paling tidak berkulit putih karena kebetulan genetika. Lukman berhasil meraih penghargaan The Best Actor (Bali International Film Festival 2006). Selain itu, ia juga sempat dinominasikan sebagai Peran Pendukung Pria Terbaik di Festival Film Jakarta 2006 yang bermasalah itu, serta Most Favorite Actor dari MTV Indonesia Movie Award. (more…)

Read Full Post »

Kelomang Cinta

Rudi Mantofani

Rudi Mantofani

Bicaralah tentang karya, karena dia bisa. Tapi jangan bicara cinta padanya. Karena katanya, berbahaya!

Rudi Mantofani adalah nama yang terus menanjak dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Setelah 9 karyanya secara bersamaan terlelang di Christie’s Hongkong beberapa waktu lalu, popularitasnya meledak cepat, memenuhi pembicaraan di setiap sudut ruang pameran hingga perbincangan tak formal di kedai kopi multinasional. Kini, banyak kolektor, ruang pamer hingga balai lelang bergengsi macam Southesby, Singapura dan Christie’s Hongkong terus memburu karyanya. Berita terakhir, lukisan teranyarnya, Dunia Jatuh ke Bumi, terlelang hingga melewati angka 800 juta rupiah. Sebuah nilai yang fantastis!

Pendekatan Rudi dalam karyanya sejak awal memang sudah mencuri perhatian. Di atas kanvas, ia membalik-balikkan logika berpikir. Karya Pohon Apel misalnya. Ia menghantarkan hamparan padang rumput yang bergelombang dengan apel yang dipasang terbalik, dengan tangkai yang berada di bawah. Sederhana, memikat, tapi meninggalkan kesan yang dalam. Begitu juga dengan goresan warna-warnanya yang cerah membuat banyak orang menyukainya. “Karyanya orisinil. Rasional dan tidak ke bawah sadar. Dia mengembangkan konsep lansekap dan still life dengan semangat baru,” Kurator Enin Supriyanto memberikan komentar.

(more…)

Read Full Post »

Pamijen dari Solo

rahayu supanggah

rahayu supanggah

Cinta dan benci hanyalah sebatas benang tipis….

Bila kini musik tradisi Indonesia dikenal di seluruh dunia, ini barangkali karena perjuangan seorang seniman dari Solo, Jawa Tengah, Rahayu Supanggah. Selain telah berpentas ke lebih dari 40 negara, memberikan kuliah gamelan di Amerika dan Inggris, sejak setahun lalu dia juga membawa pulang piala kebanggaan sebagai komposer terbaik dari Festival Film Asia Pasific, Festival Film Indonesia, dan Asia Film Award melalui film garapan Garin Nugroho: Opera Jawa.

Rahayu lahir di Klego, sebuah daerah miskin -bahkan sampai saat ini-di wilayah Boyolali, Jawa Tengah, tepat pada saat geger pendudukan Belanda kedua (1949). Saat itu, kedua orang tuanya tengah dalam pelarian menuju tempat pengungsian. Dia sendiri masih di dalam kandungan saat ibunya berlari-lari menyelamatkan diri dari serangan yang bertubi-tubi. Berkali-kali ibunya jatuh tergulung-gulung yang menyebabkan dia lahir dalam kondisi darurat. Atas dasar itulah dia dinamakan Panggah Rahayu, yang artinya tetap selamat. (more…)

Read Full Post »

Older Posts »