Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘seniman kontemporer’

Kompromi dalam Dunia Tanpa Kompromi

aditya novali

Keuletan dalam menghadapi tantangan dengan damai telah mengisi dan memperkaya kreativitasnya

 

Nama Aditya Novali meramaikan cerita dalam dunia seni kontemporer Indonesia. Dua pameran tunggal yang digelar di dua tempat berbeda dalam dua tahun terakhir ternyata cukup menarik perhatian khalayak. Banyak pecinta seni yang mengungkapkan bahwa ide karya yang dibawanya segar dan kontekstual, diramu dalam sebuah kreasi yang menyenangkan, seolah siap dimainkan dan diapresiasi oleh siapapun. Karya bukan dibuat hanya untuk segelintir manusia, atau usia. Isu interdisipliner sangat terasakan di dalamnya.

Pada pameran Indoscape: A “Geo-History” di Canna Gallery Jakarta, 2011, ia membuat kreasi berupa peta Indonesia yang dibuat dari beberapa elemen seperti lilin yang kemudian dilelehkan atau batang logam di dalam akuarium air. Karya yang mengingatkan kondisi (perpecahan) geografi Indonesia itu dikemas dalam bentuk menarik tanpa meninggalkan unsur kontemplatif dan fun.  Demikian pula pada The Wall: Asian (un) Real Estate Project, Project Stage for Artstage 2012 di Singapura, Januari lalu. Ia memunculkan partisi berbentuk apartemen mungil yang bisa diputar-putar, masing-masing ruang bercerita, sekaligus mengingatkan pada konsep hybrid. (more…)

Read Full Post »

Persembahan Kehidupan

  • Heri Dono

Ia serahkan hidupnya hanya untuk satu kata: seni, yang telah membebaskannya dari segala malabencana

Kenangan amat mengesankan menggenangi perasaan Heri Wardono. Kala itu ia melihat air danau kecoklatan perlahan-lahan berubah menjadi biru toska yang memberinya rasa damai dan sejuk. Ia bisa berenang, bahkan rasanya seperti terbang! Jauh di seberang, ia melihat kawan-kawannya menatap padanya. Dalam hati penuh kemenangan, ia bertekad menyeberangi lautan, membuktikan kekuatan. Setiap gerakan yang dilakukan seperti adegan slow motion film The Six Million Dollar Man. Pemandangan begitu indahnya. Begitu beningnya. Begitu heningnya. Pengalaman ini sungguh luar biasa.

“Mungkin pengalaman itu yang membuat saya menjadi seniman,” Heri Dono tersenyum, mengisahkan halusinasinya ketika tenggelam di danau Ancol, 40 tahun lalu, dan membuka percakapan mengenai dirinya sendiri pada suatu siang di Nadi Galleri, Jakarta. “Bapak hampir frustasi, sampai akhirnya menubruk tubuh saya yang sudah lemas,”katanya meneruskan. Waktu itu tipis sekali kemungkinan ia bisa bertahan dalam lumpur yang pekat. Tapi ia berhasil diselamatkan. Meski sesudahnya, ia harus banyak berurusan dengan obat-obatan dan…paranormal! (more…)

Read Full Post »

Mendekat Tanpa Jarak

Melati Suryodarmo by Rustika Herlambang    

 

Menengok kembali hal-hal yang ia tutupi dalam diri selama ini adalah bagian dari rahasia kesuksesannya kini

 

Di sebuah kursi panjang dari kayu, Melati Suryodarmo (42) bercerita tentang tentang dirinya. Seniman senirupa pertunjukan (Performance Art) perempuan asal Solo, Indonesia, yang kini bermukim di Jerman itu sudah mengambil posisi duduk yang nyaman: bertimpuh pada satu kaki, dan membiarkan kaki lainnya bebas bergerak. Di sekelilingnya terlihat aneka benda kuno yang pernah dipakainya dalam berkarya, koleksi sang ayah, Suprapto Suryodarmo, seorang penari dan seniman gerak (free movement) yang juga pemilik dan pendiri Padepokan Lemah Putih.

 

Performance Art atau senirupa pertunjukan (SP) merupakan pengembangan dari bidang senirupa yang menggunakan tubuh sebagai media seni,” ia mengawali perbincangan. Mungkin paham bahwa bidang seni yang dilakoni itu bukan termasuk jenis yang melayani selera kebanyakan. SP mewakili perjalanan sebuah pemikiran, konsep, dan pengkristalan suatu fenomena terpilih. SP tidak menyampaikan pesan secara verbal, melainkan berkomunikasi melalui bahasa tindakan. Penampilan disajikan kepada penonton secara interdisipliner, kadang mengunakan skenario, kadang spontan, dan  bukan sekadar soal improvisasi seperti halnya dalam teater. “SP, dalam sejarahnya, membongkar dan mendobrak aturan konvensional senipertunjukan dan senirupa,”katanya.   (more…)

Read Full Post »

Yang Berdiam di Dalam Kanvas                                                                                 Julius Ariadhitya Pramuhendra

pramuhendra

Pada setiap karya, ia selipkan sebuah cerita untuk seseorang yang tak pernah ada dalam kanvasnya

Julius Ariadhitya Pramuhendra adalah sebuah nama yang menjadi bahan perbincangan sepanjang 2010 dalam dunia senirupa Indonesia. Karya instalasi Ashes to Ashes yang digelar dalam Hong Kong Art Fair 2010 banyak mencuri perhatian. Di tengah pergulatan warna dan tema berbagai kreasi seni yang tampil dari berbagai galeri besar dunia, ia muncul dengan warna monokromatik hitam putih. Instalasi itu terdiri dari sebuah drawing foto realis, sebuah meja dan jam dinding terbakar. Dalam drawing, tampak sang seniman beserta keluarganya menikmati perjamuan makan yang mengingatkan pada lukisan Leonardo da Vinci, Last Supper.

Kekuatan karya dan kemampuan teknis yang dibawanya pada saat itu sempat membuat namanya disebut-sebut sebagai calon terkuat penerima penghargaan seniman pendatang baru terbaik. Sayangnya, kesempatan itu belum tiba. Meski demikian, beberapa galeri internasional melirik potensi pria yang baru genap berusia 27 tahun pada 13 Agustus itu. Paling tidak, sebuah pameran tunggal telah disiapkan di Taipei pertengahan tahun ini.  Ia juga menyiapkan satu pameran tunggal istimewa yg masih dirahasiakannya. Setelah itu, sebuah pameran tunggal istimewa yang masih dirahasiakan di Indonesia sudah menanti. “Tunggu tanggal mainnya, akan banyak kejutan!,” Hendra, sapaan akrab Pramuhendra, mencoba berahasia. (more…)

Read Full Post »

Sketsa Perjalanan


“Suatu hari, saya terbangun dan menjadi seniman.” Pramuhendra (26) tersenyum, mengerjap-ngerjapkan matanya yang indah, menggali kenangan atas perjalanan kreativitasnya hingga kini. Di sisinya, tergeletak kanvas besar berisi sosok diri dan keluarganya yang digambar dengan menggunakan arang, sebuah cara sederhana tapi meninggalkan pesona luar biasa, dan menjadi salah satu kekuatan berkaryanya. “Arang sangat filosofis. Semua akan kembali ke debu. Memori seperti debu. Suatu saat akan hilang. Hitam dan putih, dan di situlah dibutuhkan satu lapis imajinasi,” ia bertutur. Di sana, ada sentuhan dramatik dibangun. Gelap dan terang. Akting. Naskah. Penyutradaraan. Sebelum akhirnya jemari menggarapnya. (more…)

Read Full Post »

Mari Kuayun Tubuhmu dengan Sarungku

 

Dengarkan percakapan tubuh dengan sarung dalam pameran Teguh Ostenrik kali ini

Sosok-sosok tubuh dari besi bekas berjajar sepanjang ruang di Jakarta Art Distrik, Grand Indonesia, awal November lalu. Mereka seolah menggeliat, bergerak, acap terasa pasrah, namun dalam gestur amat indah bak menari dengan kain sarung yang tak hendak melepaskan dari dari tubuh yang diikuti. Pemandangan ini masih dikuatkan oleh sosok yang tertoreh di atas kanvas, menyatakan hal serupa. Suasana sedikit mengintimidasi di sini, di pameran tunggal Teguh Ostenrik berjudul Sarong, Identity?, dikuratori oleh Jean Couteau, yang diselenggarakan oleh Semarang Gallery.

 

“Belajarlah dari puisi,” ucap Teguh Ostenrik menanggapi kuratorial yang menyatakan bahwa berbagai karya tersebut bercerita mengenai metafor pemberontakan yang dilakukannya. Seperti terlihat nyata, sosok-sosok yang dibangkitkan Teguh terasa berada dalam situasi dialog dengan sarung-sarungnya dalam media tiga dimensi dari bahan besi bekas maupun di atas kanvas. (more…)

Read Full Post »

Nyanyi Sunyi Nasirun

nasirun

Maka kita akan mengerti mengapa Nasirun menikmati hidup dengan nyaman di kediamannya yang seperti surga untuknya. Karena di situlah ia terus “bertapa”

Maafkan. Kali ini Nasirun tak tertawa. Ia sedang bercerita tentang masa lampaunya. Ia bahkan lebih banyak diam. Suaranya serak. Kepulan asap rokoknya lebih banyak. Nafasnya memberat. Nasirun, seniman kontemporer yang juga sufi itu, tampak mempertimbangkan segala hal yang akan diungkapnya. Mungkin ini aib, ujarnya kemudian. Tapi dari peristiwa inilah segala perjalanan artistik kehidupan yang membentuk karakter dan kepribadiannya dimulai. “Mungkin saya punya selera humor. Slengekan. Tapi semua itu saya lakukan untuk menutup masa lampau saya. Saya tidak ingin merasa kecil ketika melihat orang besar, dan tidak merasa besar ketika melihat orang kecil.”

Baru kali ini melihat Nasirun tanpa tawanya yang khas, bebas, merdeka, yang tak pernah lepas dari dirinya. Sebaliknya, ia amat serius. Dahinya berkerut. Perbincangan ini terjadi di siang hari – waktu yang biasanya digunakan mengaso secara teratur – hanya dewi dan dirinya di kediamannya yang asri di Yogyakarta. Semalam, ia mengadakan pameran tunggal pelukis senior Soenarto PR, sebagai wujud baktinya pada senior-seniornya. Sementara itu, setelah menyelesaikan pameran tunggal dan akbar Salam Bekti akhir 2009 lalu, ia telah menyelesaikan 1200 karya kecil yang rencana dipamerkan menyambut ulang tahunnya ke empat puluh lima Oktober ini, serta 100 karya lainnya dalam satu tema. Saat ini beberapa karyanya sedang dipamerkan di Jakarta, Yogyakarta, dan Shanghai. (more…)

Read Full Post »

Nyanyi Sunyi Nasirun

Nasirun by Wahyu Tantra

Maka  kini kita  akan mengerti mengapa Nasirun menikmati hidup  dan terus “bertapa”

Maafkan. Kali ini Nasirun tak tertawa. Ia sedang bercerita tentang masa lampaunya. Ia bahkan lebih banyak diam. Suaranya serak. Kepulan asap rokoknya lebih banyak. Nafasnya memberat. Nasirun, 45 tahun, seniman kontemporer yang juga sufi itu, tampak mempertimbangkan segala hal yang akan diungkapnya. Mungkin ini aib, ujarnya. Tapi dari peristiwa inilah segala perjalanan artistik kehidupan yang membentuk karakter dan kepribadiannya dimulai. “Mungkin saya punya selera humor. Slengekan. Tapi semua itu saya lakukan untuk menutup masa lampau saya. Saya tidak ingin merasa kecil ketika melihat orang besar, dan tidak merasa besar ketika melihat orang kecil.”

Baru kali ini melihat Nasirun tanpa tawanya yang khas, bebas, merdeka, yang tak pernah lepas dari dirinya. Perbincangan ini terjadi di siang hari – waktu yang biasanya digunakan mengaso secara teratur – di kediamannya yang asri di Yogyakarta. Semalam, ia mengadakan pameran tunggal pelukis Soenarto PR, sebagai wujud bakti pada seniornya. Sementara itu, setelah menyelesaikan pameran tunggal dan akbar Salam Bekti akhir 2009, ia menyelesaikan 1200 karya kecil (rencana dipamerkan tunggal menyambut ulang tahunnya yang ke-45 Oktober lalu, tapi gagal), serta 100 karya lain dalam satu tema. Saat ini beberapa karyanya sedang dipamerkan di Jakarta, Yogyakarta, dan Shanghai. (more…)

Read Full Post »

Membingkai Memori     

galam zulkifli

Begitu mudahnya ia membingkai rahasia banyak wajah dalam kehidupannya, tapi tidak untuk dirinya

Sebuah siang di bulan Juni menjadi saksi pertemuan. Galam Zulkifli memberikan sela waktunya yang padat untuk berbincang. Tapi tidak di kafe atau keramaian, ia meminta dewi datang di studionya tempat bekerja. Sebuah ruangan yang terasa lapang, tak banyak barang. Hanya ada rak buku besar yang tidak terisi penuh, karpet dengan sisa-sisa abu rokok yang menempel, serta gelas bening yang masih menyisakan ampas kopi. Bersandar pada dinding kosong, 3 kanvas berukuran 2 x 2 meter “berisi” wajah dengan ekspresi sangat kuat. Sorot-sorot matanya tajam dan hidup, seolah menatap siapa saja yang ada di depannya.

Di ruangan yang bernama Bale Black Box inilah Galam membangun karya-karya gemilangnya. Ia lanjutkan kesuksesan pameran di Swiss dengan kreasi terbaru berjudul Dark Side of The Earth vol.1-3. Karya sebesar 200 x 1400 cm tersebut dipamerkan di Ciputra Art World beberapa waktu lalu dan menuai puji karena teknik yang digunakan. Dalam satu kanvas ia membuat dua lukisan yang sama sekali berbeda bila diletakkan dalam cahaya dan tanpa cahaya. Eksperimen ini seperti mendebat pandangan modern mengenai perbedaan picture dan painting yang terletak pada konsep. Galam menunjukkannya juga pada cahaya. (more…)

Read Full Post »

Jembatan Dua Cinta

heri pemad

Ia selalu mencari cara membahagiakan orang lain, tapi belum pada cintanya.

 

Celoteh kisah dalam bahasa Jawa kental terasa begitu kontras di tengah alunan musik jazz di Loewy Restaurant, Mega Kuningan, Jakarta. Kisah yang begitu serunya, sehingga beberapa pasang tatap mata menoleh pada Heri Pemad, sang pemilik suara. Siang terik itu, ia tampak asyik berbincang menyantap grill escargot dari bistro Perancis dengan sesekali membetulkan letak kacamata. Ia menyelinap sejenak dari aktivitasnya memantau pameran Space & Image yang digelar di Ciputra Art World. Di ajang pameran seni akbar tersebut Heri Pemad Art Management miliknya bertidak sebagai event organizer.

Tapi perbincangan waktu itu sama sekali tak menyentuh kesuksesan pameran di Art Paris, persiapan Jogja Art Fair #3, atau konsep pameran dalam rangka pembukaan museum pribadi seorang kolektor besar Indonesia awal tahun 2011. Pikirannya masih tertambat pada seperangkat gamelan Jawa yang baru saja dipersembahkan pada warga di kampung masa lampaunya di Sukoharjo. Ia bercerita bahwa di luar kegiatan padat membuat pameran-pameran besar di berbagai kota dan negara, sengaja ia kosongkan waktu hampir setiap minggu demi menikmati alam pedesaan sambil melihat anak-anak kecil memelajari gamelan. “Rasanya senang bisa menyenangkan orang banyak,” ujarnya. (more…)

Read Full Post »

Older Posts »