Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘penulis’ Category

Menuju Ke Akar Yudi Latif

Ia menemukan diri dengan cara menziarahi akar genetik dan sosial budaya yang telah menjadikannya

yudi latif

“Dalam kebimbangan arah hidup, jalan terbaik pulang ke akar.” Sebuah ungkapan Yudi Latif di laman twitter seperti memberi jalan untuk mengenalnya dengan lebih baik. Berbagai peristiwa dan sekaligus sejarah dirinya dalam memberi warna dalam percaturan intelektual di Indonesia pun tak lepas dari pernyataan ini. Aktivitas terakhirnya ialah ketika ia meluncurkan buku terbarunya: Negara Pancasila (NP). Di tengah situasi sosial politik Indonesia saat ini, kelahiran buku yang mengupas tuntas mengenai Pancasila menjadi jawabannya: mengembalikan Indonesia pada tempatnya, akarnya, jiwanya.  (more…)

Read Full Post »

Kepompong Kenyamanan

djenar maesa ayu

djenar maesa ayu

Kendati karyanya penuh pendobrakan, dalam keseharian ia ádalah orang yang enggan dengan perubahan

Djenar Maesa Ayu (36)  dalam keseharian adalah seorang ibu muda, beranak dua, berdaster batik ria saat di rumah, memasak, membersihkan rumah berlantai tiga dan mengurus anak-anaknya. Sendirian. Tidak ada pembantu, meski tinggal di rumah gedongan pinggiran Jakarta Barat. “Saat seperti inilah saya merasa “kaya”. Tanpa pembantu, saya bisa memaksimalkan peran saya sebagai ibu,” kata Djenar sambil menatap mesra wajah anak bungsunya, Bidari Maharani (8) yang terlelap di atas pangkuannya. Sulungnya, Banyu Bening (17), baru saja pamit untuk nonton basket dengan pacarnya, berbekal nasi dengan ayam goreng yang disiapkan Djenar sebelumnya. Inilah gambar suasana di rumah Djenar ketika dewi bertandang ke rumahnya sehari itu.

Di luar sana, eforia belum saja usai. Film perdananya “Mereka Bilang, Saya Monyet!” meraih prestasi sebagai film terbaik versi Majalah Tempo, juga mengukuhkannya sebagai tokoh seni 2008. Film yang diangkat dari judul buku kumpulan cerpen pertamanya ini sekaligus membuka kiprahnya di berbagai festival film internasional seperti Berlin Asian Hot Shots Film Festival  dan Singapore Film Festival. Keberhasilan ini seolah melanjutkan berbagai prestasi yang diperoleh dari kumpulan cerpen dan novelnya yang lain, seperti “Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), “Nayla”, “Cerita Pendek tentang Cerita Pendek”, yang berhasil meraih penghargaan dari Khatulistiwa Literary Award. Karya-karyanya banyak dibicarakan karena keberaniannya dalam menyuarakan problem seksualitas dalam diri manusia.

Dua belas tahun lalu, sebelum ia memiliki hasrat untuk menulis, ia tak lebih dari seorang ibu rumah tangga biasa. (more…)

Read Full Post »

Petualang Kehidupan

ugo untoro

ugo untoro

Bagi Ugo, seni tidak hanya diukir di atas kanvas atau obyek, tapi juga di hati, perasaan dan kehidupannya

Satu halaman buku saja tidak akan pernah cukup untuk menuliskan Ugo Untoro. Seniman eksentrik yang kini bermukim di Yogyakarta ini memang menarik dikupas dari berbagai sisi. Dari penampilan hingga karya seni yang dilahirkan seolah menunculkan petanda-petanda yang bebas diinterpretasikan oleh siapapun. Itu sebabnya penulis, sastrawan yang juga sahabat Ugo, Omi Intan Naomi sanggup menghabiskan 483 halaman untuk membukukan kisahnya: The Sound of Silence and Colors of the Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter (17 Years of Ugo Untoro’s Fine Arts, 1989-2006). Buku yang dibuat dalam waktu sepuluh hari itu diluncurkan Desember lalu di Jakarta.

Seorang seniman kontemporer Indonesia yang namanya terus menanjak -sayang dia enggan disebut namanya-mengakui bahwa Ugo adalah sosok legenda dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia yang sangat total dalam berkarya. Ugo-lah yang membawa gaya corat-coret di atas kanvas sejak 15 tahun lalu, yang kini baru disadari, seperti dikatakan kurator Hendro Wiyanto, bahwa apa yang dilakukan itu dimaksudkan untuk “menghancurkan” gaya (seni lukis) di akademi seni rupa Yogyakarta yang sarat berpegang pada mutu keastistikan sapuan kuas dan garis. Tiga penghargaan bergengsi dalam dunia seni, Philip Morris Award sempat direbutnya pada tahun 1994, 1998, dan kemudian memenangkan 5 Best Asia Philip Morris Award di Hanoi, Vietnam. Ia juga ditasbihkan menjadi Tokoh Seni Rupa Tahun 2007 versi Majalah Tempo. (more…)

Read Full Post »

Menapak Jalan Tanpa Peta

dewi lestari

dewi lestari

Mengungkap kejatidirian adalah hal terpenting dalam kehidupannya kini

Dewi Lestari masih saja disibukkan oleh diskusi buku terakhirnya, Rectoverso, ketika akhirnya ia menyanggupi untuk bisa diwawancara oleh dewi. Tentu saja dalam waktu yang sangat singkat, karena jadwal acaranya sangat padat menjelang akhir tahun 2008 lalu. Sementara itu, salah satu lagu ciptaannya yang berjudul Malaikat Juga Tahu, diambil dari album yang sama dengan buku barunya itu, juga sedang diputar dimana-mana. Ini juga membuat jadwal manggungnya ketat. Bisa dibilang, ia menuai sukses besar dengan percobaan yang dilakukannya kali ini: menggabungkan antara kumpulan cerita pendek dan lagu.

“Terus terang, aku nyaman dengan format ini. Tapi aku tak mau memastikan apakah mau melanjutkan atau tidak. Akan jadi beban bila harus memastikan,”katanya terbuka. Ia rupanya tak mau diganggu dengan berbagai hal yang kiranya akan mengganggu konsentrasinya tahun ini: melanjutkan Supernova, novel yang melambungkan namanya hingga kini, setelah empat tahun tertunda. “Itu adalah pertanyaan yang paling membuat aku stress. Sebenarnya jawabannya simpel, belum waktunya. Karena satu karya lahir butuh proses pematangan. Seperti bayi, bila belum saatnya ia akan menjadi prematur. Dan kurasa, sekarang ini saat memikirkannya,” kisah Dewi yang biasa dipanggil dengan nama kesayangannya: Dee. (more…)

Read Full Post »