Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘art’ Category

Petualang Waktu

fadli zon

Ia ikuti segala peluang dan tawaran. Kehidupan baru ini menjadi sarana untuk terus menjelajahi rahasia waktu

Masa kini akan dimengerti apabila kita mengerti akan masa lalu. Masa depan adalah sebuah garis linear yang senantiasa terkait antara masa lalu dan masa kini. Pengalaman kesejarahan ini menjadi amat penting saat memahami Fadli Zon, budayawan, politisi, intelektual muda, pengusaha, dosen, sejarawan, dan mungkin masih banyak lagi. “Bukan berarti mau semua atau tidak fokus, namun bagi saya hari amat pendek. Saya harus mengisinya semaksimal mungkin dengan prestasi,”ujar Adi, nama akrab Fadli, yang ditemui di Fadli Zon Library, Jakarta, tepat pada hari ulang tahunnya ke-41: 1 Juni 2012.

Di ruang rapat lantai tiga yang dipenuhi dengan benda antik, lukisan, dan patung, ia perdengarkan lagu-lagu Indonesia masa 1950-1960an dari piringan hitam. Alunan lagu Di Wajahmu Kulihat Bulan dari Sam Saimun membuatnya bersenandung. “Seperti time travel. Membayangkan Indonesia yang molek, aman dan damai,” ujarnya tersenyum. Suasana ini mengikat hatinya, sehingga setelahnya pembicaraan terasa lebih santai, dan dilanjutkan di ruang kerjanya. Di sini, ia “ditemani” lukisan figur Tan Malaka, Raden Saleh, Mahatma Gandhi, sosok perempuan, dan keris Nogo Siluman (konon pemiliknya bisa menghilang!).

(more…)

Read Full Post »

Kompromi dalam Dunia Tanpa Kompromi

aditya novali

Keuletan dalam menghadapi tantangan dengan damai telah mengisi dan memperkaya kreativitasnya

 

Nama Aditya Novali meramaikan cerita dalam dunia seni kontemporer Indonesia. Dua pameran tunggal yang digelar di dua tempat berbeda dalam dua tahun terakhir ternyata cukup menarik perhatian khalayak. Banyak pecinta seni yang mengungkapkan bahwa ide karya yang dibawanya segar dan kontekstual, diramu dalam sebuah kreasi yang menyenangkan, seolah siap dimainkan dan diapresiasi oleh siapapun. Karya bukan dibuat hanya untuk segelintir manusia, atau usia. Isu interdisipliner sangat terasakan di dalamnya.

Pada pameran Indoscape: A “Geo-History” di Canna Gallery Jakarta, 2011, ia membuat kreasi berupa peta Indonesia yang dibuat dari beberapa elemen seperti lilin yang kemudian dilelehkan atau batang logam di dalam akuarium air. Karya yang mengingatkan kondisi (perpecahan) geografi Indonesia itu dikemas dalam bentuk menarik tanpa meninggalkan unsur kontemplatif dan fun.  Demikian pula pada The Wall: Asian (un) Real Estate Project, Project Stage for Artstage 2012 di Singapura, Januari lalu. Ia memunculkan partisi berbentuk apartemen mungil yang bisa diputar-putar, masing-masing ruang bercerita, sekaligus mengingatkan pada konsep hybrid. (more…)

Read Full Post »

Persembahan Kehidupan

  • Heri Dono

Ia serahkan hidupnya hanya untuk satu kata: seni, yang telah membebaskannya dari segala malabencana

Kenangan amat mengesankan menggenangi perasaan Heri Wardono. Kala itu ia melihat air danau kecoklatan perlahan-lahan berubah menjadi biru toska yang memberinya rasa damai dan sejuk. Ia bisa berenang, bahkan rasanya seperti terbang! Jauh di seberang, ia melihat kawan-kawannya menatap padanya. Dalam hati penuh kemenangan, ia bertekad menyeberangi lautan, membuktikan kekuatan. Setiap gerakan yang dilakukan seperti adegan slow motion film The Six Million Dollar Man. Pemandangan begitu indahnya. Begitu beningnya. Begitu heningnya. Pengalaman ini sungguh luar biasa.

“Mungkin pengalaman itu yang membuat saya menjadi seniman,” Heri Dono tersenyum, mengisahkan halusinasinya ketika tenggelam di danau Ancol, 40 tahun lalu, dan membuka percakapan mengenai dirinya sendiri pada suatu siang di Nadi Galleri, Jakarta. “Bapak hampir frustasi, sampai akhirnya menubruk tubuh saya yang sudah lemas,”katanya meneruskan. Waktu itu tipis sekali kemungkinan ia bisa bertahan dalam lumpur yang pekat. Tapi ia berhasil diselamatkan. Meski sesudahnya, ia harus banyak berurusan dengan obat-obatan dan…paranormal! (more…)

Read Full Post »

Keindahan yang Bersahaja

Ia tahu bagaimana menghadirkan keindahan dan cinta dari sudut pandang yang tidak biasa

Davy Linggar (37) memesan segelas es coklat untuk memulai perbincangan pada suatu pagi menjelang siang di sebuah kafe di Plaza Senayan. Lepas dari kesukaannya, mungkin ia perlu zat-zat serotonin dalam coklat untuk memberi rasa nyaman dan rileks. “Saya nggak bisa ngomong, jadi ngomongnya lewat motret, lewat visual,” ujarnya pendek, sedikit terpatah. Duduk satu meja dengannya, Jane Hufron, managernya, dan Seno, asistennya. Jiahara, anak lelakinya, tertidur pulas dalam kereta dorong.

Menemuinya bukan perkara gampang. Selain sibuk, seniman dan fotografer fashion terkemuka diIndonesia ini terbilang enggan dipublikasikan, terutama menyangkut dirinya sendiri. Alasannya, seperti tersebut di atas, merasa tak bisa bicara. Dan dalam perbincangan berikutnya, ia bukanlah tipe pria yang mengumbar cerita tentang pribadinya. Namun demikian, ia terlihat “cerewet” tatkala perasaannya nyaman karena berada pada waktu, suasana, tempat, dan “frekuensi” yang sama dengan lawan bicaranya. Setiap kalimat yang diucapkan pendek-pendek itu terangkum kecerdasan dalam memandang setiap hal, seperti karya lukis dan foto-foto yang diabadikannya. (more…)

Read Full Post »

Mencari Ruh Tari

Fajar Satriadi by Randy Pradhana

 

 

 

 

Ia seperti pendekar dalam mencari sumber pengetahuan demi sebuah darma kehidupan

Ingatan Fajar Satriadi masih begitu tajam. Standing Ovation itu kembali bergemuruh sepanjang akhir pertunjukan Matah Ati dua hari berturut-turut di Esplanade Singapura, Oktober lalu. Ia sangat bahagia bisa memberikan seluruh energi dan kemampuan sehingga bisa memberi “nyawa” dalam pertunjukan garapan Atilah Soeryadjaya itu. “Saya merasa bahasa tarian itu membius penonton lintas budaya. Pada saat itulah, saya bangga menjadi orang Indonesia. Ada kesadaran nasionalisme yang terungkap kembali,” ujar Fajar yang berperan menjadi Raden Mas Said dalam pergelaran akbar yang juga dipentaskan di Indonesia Mei lalu.

Sebentar lagi, Matah Ati akan melakukan tur keliling ke Asia dan Eropa. Pertunjukan ini kian menambah panjang pengalamannya bekerjasama dengan para maestro tari Indonesia sejak tahun 1990. Di antaranya Sardono W. Kusumo, Miroto, Retno Maruti, Elly D. Luthan, dan Atilah Soeryadjaja. Tak hanya untuk kapasitas lokal, tapi juga berbagai event tari internasional, seperti di Jerman, Brazil, Jepang, Amerika, dan Inggris. Sementara sepanjang 2009 lalu, ia berkeliling beberapa kota di Inggris untuk mementaskan karya sendiri, Suara-Suara dan Tiga Karakter Topeng. Ia juga memberikan workshop tari di dalam negeri dan di Iuar negeri. (more…)

Read Full Post »

Perempuan dalam Tari                                                                                     

Retno Maruti

Apakah pencarian identitas diri perempuan dalam karya-karya yang diciptakan adalah bagian dari luapan kegelisahan dirinya sendiri?

Di teras itu, Retno Maruti menari. Angin berdesir, menyentuh dedaunan pohon tinggi yang rindang, menggesekkan irama alam, membuat sepotong gerakan tarian itu menyatu dengan alam sekitarnya. Ia terus menari, seolah kilatan kamera yang mengambil gambarnya adalah bagian dari pementasannya. Siang terik terasa sejuk tepat di teras rumah kediaman Maruti di Jakarta Timur. “Maruti itu artinya angin,” kata Maruti, di sela-sela kesibukannya mempersiapkan pementasan bertajuk Sawitri di Gedung Kesenian Jakarta, akhir Mei.

Pementasan Sawitri  merupakan syukuran 35 tahun berdirinya Padnecwara, padepokan tari yang dipimpinnya. Berkisah tentang kesetiaan dan perjuangan seorang perempuan untuk mendapatkan cinta sejatinya – sebuah perjuangan yang mengingatkan pada diri Maruti. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan penuh keteguhan hati dan perjuangan, untuk meraih cintanya dalam dunia tari. “Menari adalah kebutuhan jiwa. Membuat fisik sehat juga perlu, tapi yang lebih penting, saya bisa merasa tenteram dan damai ketika menari,” ia memberi alasan. Senyum membayangi wajahnya. (more…)

Read Full Post »

Yang Berdiam di Dalam Kanvas                                                                                 Julius Ariadhitya Pramuhendra

pramuhendra

Pada setiap karya, ia selipkan sebuah cerita untuk seseorang yang tak pernah ada dalam kanvasnya

Julius Ariadhitya Pramuhendra adalah sebuah nama yang menjadi bahan perbincangan sepanjang 2010 dalam dunia senirupa Indonesia. Karya instalasi Ashes to Ashes yang digelar dalam Hong Kong Art Fair 2010 banyak mencuri perhatian. Di tengah pergulatan warna dan tema berbagai kreasi seni yang tampil dari berbagai galeri besar dunia, ia muncul dengan warna monokromatik hitam putih. Instalasi itu terdiri dari sebuah drawing foto realis, sebuah meja dan jam dinding terbakar. Dalam drawing, tampak sang seniman beserta keluarganya menikmati perjamuan makan yang mengingatkan pada lukisan Leonardo da Vinci, Last Supper.

Kekuatan karya dan kemampuan teknis yang dibawanya pada saat itu sempat membuat namanya disebut-sebut sebagai calon terkuat penerima penghargaan seniman pendatang baru terbaik. Sayangnya, kesempatan itu belum tiba. Meski demikian, beberapa galeri internasional melirik potensi pria yang baru genap berusia 27 tahun pada 13 Agustus itu. Paling tidak, sebuah pameran tunggal telah disiapkan di Taipei pertengahan tahun ini.  Ia juga menyiapkan satu pameran tunggal istimewa yg masih dirahasiakannya. Setelah itu, sebuah pameran tunggal istimewa yang masih dirahasiakan di Indonesia sudah menanti. “Tunggu tanggal mainnya, akan banyak kejutan!,” Hendra, sapaan akrab Pramuhendra, mencoba berahasia. (more…)

Read Full Post »

Sketsa Perjalanan


“Suatu hari, saya terbangun dan menjadi seniman.” Pramuhendra (26) tersenyum, mengerjap-ngerjapkan matanya yang indah, menggali kenangan atas perjalanan kreativitasnya hingga kini. Di sisinya, tergeletak kanvas besar berisi sosok diri dan keluarganya yang digambar dengan menggunakan arang, sebuah cara sederhana tapi meninggalkan pesona luar biasa, dan menjadi salah satu kekuatan berkaryanya. “Arang sangat filosofis. Semua akan kembali ke debu. Memori seperti debu. Suatu saat akan hilang. Hitam dan putih, dan di situlah dibutuhkan satu lapis imajinasi,” ia bertutur. Di sana, ada sentuhan dramatik dibangun. Gelap dan terang. Akting. Naskah. Penyutradaraan. Sebelum akhirnya jemari menggarapnya. (more…)

Read Full Post »

Mari Kuayun Tubuhmu dengan Sarungku

 

Dengarkan percakapan tubuh dengan sarung dalam pameran Teguh Ostenrik kali ini

Sosok-sosok tubuh dari besi bekas berjajar sepanjang ruang di Jakarta Art Distrik, Grand Indonesia, awal November lalu. Mereka seolah menggeliat, bergerak, acap terasa pasrah, namun dalam gestur amat indah bak menari dengan kain sarung yang tak hendak melepaskan dari dari tubuh yang diikuti. Pemandangan ini masih dikuatkan oleh sosok yang tertoreh di atas kanvas, menyatakan hal serupa. Suasana sedikit mengintimidasi di sini, di pameran tunggal Teguh Ostenrik berjudul Sarong, Identity?, dikuratori oleh Jean Couteau, yang diselenggarakan oleh Semarang Gallery.

 

“Belajarlah dari puisi,” ucap Teguh Ostenrik menanggapi kuratorial yang menyatakan bahwa berbagai karya tersebut bercerita mengenai metafor pemberontakan yang dilakukannya. Seperti terlihat nyata, sosok-sosok yang dibangkitkan Teguh terasa berada dalam situasi dialog dengan sarung-sarungnya dalam media tiga dimensi dari bahan besi bekas maupun di atas kanvas. (more…)

Read Full Post »

Nyanyi Sunyi Nasirun

Nasirun by Wahyu Tantra

Maka  kini kita  akan mengerti mengapa Nasirun menikmati hidup  dan terus “bertapa”

Maafkan. Kali ini Nasirun tak tertawa. Ia sedang bercerita tentang masa lampaunya. Ia bahkan lebih banyak diam. Suaranya serak. Kepulan asap rokoknya lebih banyak. Nafasnya memberat. Nasirun, 45 tahun, seniman kontemporer yang juga sufi itu, tampak mempertimbangkan segala hal yang akan diungkapnya. Mungkin ini aib, ujarnya. Tapi dari peristiwa inilah segala perjalanan artistik kehidupan yang membentuk karakter dan kepribadiannya dimulai. “Mungkin saya punya selera humor. Slengekan. Tapi semua itu saya lakukan untuk menutup masa lampau saya. Saya tidak ingin merasa kecil ketika melihat orang besar, dan tidak merasa besar ketika melihat orang kecil.”

Baru kali ini melihat Nasirun tanpa tawanya yang khas, bebas, merdeka, yang tak pernah lepas dari dirinya. Perbincangan ini terjadi di siang hari – waktu yang biasanya digunakan mengaso secara teratur – di kediamannya yang asri di Yogyakarta. Semalam, ia mengadakan pameran tunggal pelukis Soenarto PR, sebagai wujud bakti pada seniornya. Sementara itu, setelah menyelesaikan pameran tunggal dan akbar Salam Bekti akhir 2009, ia menyelesaikan 1200 karya kecil (rencana dipamerkan tunggal menyambut ulang tahunnya yang ke-45 Oktober lalu, tapi gagal), serta 100 karya lain dalam satu tema. Saat ini beberapa karyanya sedang dipamerkan di Jakarta, Yogyakarta, dan Shanghai. (more…)

Read Full Post »

Older Posts »