Sebuah narasi tak tercatat
“Jika saya seorang psikoanalis, saya mungkin menyimpulkan bahwa saya berusaha, bukan untuk menyaingi ayah saya, tetapi melakukan sesuatu untuk diri saya sendiri.” George W Bush
(If I were a psychoanalyze, I might conclude that I was trying to,
not compete with my father, but do something on my own.” George W Bush).
Ada banyak memang misteri yang terjadi antara bapak dan anak lelaki. Karena itu jelas banyak kisah diantaranya, mulai dari kisah klasik Hamlet yang membunuh ayahnya hingga ulasan psikoanalis hubungan George Bush dan anaknya. Dan misteri itu kian menjadi-jadi, bila sang bapak adalah sosok ternama. Bagaimana mereka memosisikan dirinya masing-masing? Inilah petikan pengakuan Firman Ichsan-Fauzi Ichsan, Idris Sardi-Lukman Sardi dan Eros Djarot dan Banyu Biru.
Fauzi Ichsan – Firman Ichsan
Firman Ichsan (fotografer):
“Kami dibesarkan dalam kultur Jawa yang sangat kental, dimana hubungan anak lelaki dan bapaknya tidaklah begitu dekat. Semua ini dilakukan, menurut tradisi, untuk tetap menjaga rasa hormat terhadap Bapak. Karena itu, sejak kecil Fauzi lebih dekat dengan kakak saya atau adik saya. Memang agak susah. Tapi menurut pengalaman saya, anak yang dilahirkan dari keluarga terkenal, anak-anaknya menjadi kurang mandiri. Saya sengaja menjaga jarak itu, agar Fauzi menjadi lebih dewasa dan mandiri.
Hal yang saya ajarkan kepadanya adalah pandangan politik. Bagi saya, jadi apapun dia kelak, dia harus dia harus menyuarakan kebenaran. Ini terjadi sejak dia kecil. Saya siapkan fasilitas buku, peralatan menggambar, serta kamera, sebagai fasilitas untuk mengekspresikan dirinya. Maka saya tidak heran, ketika kelas 1 SMP di Inggris, dia sudah melukis tentang anti penindasan terhadap Afrika. (Terlihat raut Firman tersenyum-senyum, ada kebanggaan disana. “Saat itu, saya melihat dia seperti Harry Potter yang sekarang, dengan seragam kotak-kotak dan sekolah berasrama.”)
Memang selama ini, saya dipanggil “mas” sama Fauzi –seperti pula ia memanggil Oppy untuk ibunya. Secara psikologis mungkin baik, hubungan kami bisa lebih leluasa. Tapi disisi lain, saya sangat memahami bahwa pasti dia mengharapkan memiliki ayah dan ibu yang normal. Karena itu saya selalu mengajarkan kepada dia bahwa biarpun keluarga kami tidak utuh, tapi kita harus seolah-olah memiliki keluarga besar yang utuh.
Terakhir ini, hubungan kami justru kian harmonis. Mungkin karena kini dia telah menempati posisi sebagai seorang ayah, sama seperti posisi saya waktu itu. Dia sekarang sudah jauh dewasa, tidak punya masalah emosional lagi. Inilah beda antara kedekatan bapak dan anak lelaki, saat besar dia jadi sahabat.
Di mata saya, Fauzi adalah anak yang pintar. Meskipun dibesarkan dengan orang tua yang berbeda dalam pemikiran,dia sangat dewasa,mandiri dan bisa memilih jalan sendiri. Saya sangat hormat padanya. Apalagi, saat teman-teman saya berkomentar tentang Fauzi kepada saya, rasanya saya sangat senang. Tapi hal yang paling berkesan dari Fauzi sekarang, dia sering mengirimi saya puisi lewat sms. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya di masa kecil..”
***
Fauzi Ichsan:
(Anak tunggal pasangan Firman Ichsan dan Poppy Darsono ini sejak bayi diasuh oleh kakek nenek dari pihak ayahnya, karena kedua orang tuanya melanjutkan pendidikan ke Amerika. Ia baru mengerti bahwa ayahnya adalah Firman Ichsan, pria yang selama ini dianggap dan dipanggilnya “mas”. “Keadaan ini memang cukup mengguncang, apalagi setelah itu keduanya bercerai.” Meski demikian, Fauzi mengaku sangat beruntung. “di tengah keadaan yang tidak menguntungkan ini, saya tetap dapat peran kedua orang tua saya.”)
“Mas Firman adalah pendengar yang baik. Dia selalu menjadi spirit ketika saya kecil berkeluh kesah. Waktu itu hubungan saya dengan kakek seperti terhadap “bapak”, maka saya lebih suka terbuka dengan Mas Firman. Apalagi gap usia kami tidak banyak, hanya berbeda 17 tahun. Buat saya, Mas Firman adalah kakakku, bapakku, sahabatku dan spiritku.
Ia juga yang meletakkan modal intelektual. Sejak saya kecil, ia sering mendongengkan cerita tentang perang dunia dua dan keadaan politik dunia. Mungkin karena dia seorang aktivis. Dari dia juga saya membaca Pramudya Ananta Tour di usia 14 tahun yang akhirnya menginspirasi saya menjadi seorang penulis. Kini saya menjadi wellround person. Meskipun saya seorang bankir, tapi saya tahu politik, background priyayi Jawa. Hidup saya jadi lebih komplit dan berwarna.
Saya tidak pernah menyesal dengan keadaan saya. Harapan saya, saya ingin orang tua saya bahagia. Satu hal yang menyatukan mereka adalah saya. Karena itu, pertemuan ini adalah sebuah berkah untuk saya. Saya cuti untuk bisa bertemu, berbincang dan berfoto bersama bapak saya. Walaupun dulunya kita ada masalah keluarga, sekarang sudah selesai. I wish..I wish my mother is here.. “(Rustika Herlambang)
Puisi untuk Ayah:
Remembering Father
I remember, so many, many years ago:
His enthusiasm to play games with me when I wanted to play;
His amazing stories about the world when I longed to learn;
His performance with the Spanish guitar when I was sick in bed;
His beautiful letters that I had waited for when I was far away and lonely;
His willingness to listen to my dreams, when I needed someone to listen;
And his sincere and unconditional help, whenever I longed for it.
And now, when I look back through those years of sorrow and joy, I thank God for my father.
I will tell my children and grandchildren, how good a man he is.
And I pray that I will be a loving best friend to my children, as much as he has always been a loving best friend to me. (Fauzi Ichsan)
***
Lukman Sardi- Idris Sardi
Idris Sardi:
“Sejak awal saya sudah tahu bahwa Affandi tidak bisa diganti. Idris Sardi tidak bisa diganti. Karena itu, saya harus mencari penerus. Lukman, yang saat itu berminat di bidang musik, saya mengajarkan padanya. Memang saya orangnya serius. Musik adalah soal rasa, kedekatan kita dengan Tuhan, tidak bisa belajar sambil main-main. Harus terus berlatih dengan disiplin. Saya akan merasa gagal kalau saya tidak berhasil menemukan penerus yang bisa mengalahkan saya.
Karena itu, saya sangat tegas dan disiplin dalam berbagai hal. Seperti saya tegur anak saya karena dia datang terlambat. Bukan soal dosa, tapi ini adalah soal bagaimana kita menghormati orang lain. Aneh memang, di zaman sekarang saya malah tersiksa karena didlolimin. Sudah saya datang duluan, orang yang terlambat malah mengatakan bahwa saya nggak tahu zaman. Sekarang kan macet. Menurut saya, karena saya sudah tahu macet seharusnya dia pergi lebih awal. Sikap ketegasan saya ini memang tidak disukai orang, termasuk Lukman. Tapi saya harus tegur dia, karena agama mengajarkan saya bahwa kita harus memberi tahu kesalahan orang lain.
Tapi sebenarnya saya bukan orang yang galak. Saya bisa bercanda habis-habisan setelah usai latihan. Lukman itu sejak kecil dekat sekali dengan saya. Dia itu bandel laki. Kalau diajak pergi ke toko atau ke bioskop, dia suka ngilang. Kesamaan saya dengan dia: suka makanan pedas, cuek, dan punya pede yang sangat tinggi. Cuma dia playboy, saya tidak. Coba kalau saya ganteng, pasti saya lebih playboy. Ha ha ha…
Buat saya, keberhasilan Lukman belum apa-apa. Prinsip saya, kejar Bapak! Dengan kerendahan hati, dengan semangat dan profesionalisme yang tinggi.”
Lukman Sardi :
(anak lelaki sulung dari perkawinan pertama Idris Sardi dengan Zerlita)
“Papa adalah seseorang yang aku kagumi, sekaligus aku benci. Sesuatu yang bertolak belakang, tapi itu kenyataan. Seseorang yang aku kagumi dengan prinsip-prinsip hidupnya dia, jalannya dia, kesuksesan dia yang dicapai dari bawah. Tapi kadang aku benci dengan beberapa dari dia yang kalau buat aku sebagai anak, terasa agak kaku. Kita sama-sama keras, jadi sering terjadi bentrokan yang seharusnya tidak terjadi. Tapi sebagai ayah, dia berhasil mendidik aku menjadi seseorang yang punya prinsip dan tanggung jawab.
Secara emosional, aku tak bisa mengharapkan terlalu banyak. Meskipun aku pengen punya bapak yang kayak temen. Tapi itu sudah nggak mungkin. Tapi paling tidak, sekarang hubungan kita lebih baik. Mungkin sekarang usiaku sudah kian bertambah. Ke depan, aku ingin Bapak terus berkarya, dan mengimplementasikan proyek idealismenya, bersama aku.”
***
Banyu Biru – Eros Djarot
Eros Djarot:
“Hubungan kita adalah hubungan yang resiprokal, saling mengisi dan menunjang. Sejak kecil saya tidak pernah memperlakukan dia seperti anak kecil, saya selalu mengajak dialog. Bahkan waktu dia umur 3 tahun, dia sudah menanyakan kepada saya soal Tuhan. Ini pertanyaan yang sangat serius, karena itu saya menjawabnya dengan serius. Saya buatkan lagu untuk menjawab pertanyaan dia.
Hubungan kami sangat dekat. Saking dekatnya, apa yang belum dia ucapkan, saya sudah tahu. Begitu juga dengan saya. Saya melihat diri saya di dia. Mungkin karena sejak baru lahir, dia selalu saya letakkan di dada saya. Dari sisi kultural saya seorang bapak, tapi dalam struktur kemasyarakat adalah teman. Kultur saya juga bukan senior junior. Kadang saya juga belajar banyak dari dia. Saat saya kesepian, i need him.
Kesamaan kami, adalah menyukai hal-hal yang indah. Bedanya, dia bisa mengekspresikan dirinya secara cool, karena dia dibesarkan di gedung-gedung. Sementara saya dibesarkan di jalanan. I am street boy. Jadi beda kulturnya. Selain itu, kami sering melakukan dialog pemikiran. Dulu memang sama-sama bermusik, tapi belakangan sudah mulai jarang.”
Banyu Biru:
(anak sulung dari Eros Djarot)
“Boleh dibilang hubungan kami harmonis. Papa adalah orang yang romantis, fun loving, egaliter dan selalu membangun kultur dialogis. Dia juga teman dialog yang paling menyenangkan. Selain itu, dia juga jagoan masak. Ini yang membuat saya betah berdekatan dengannya. Kalau lagi begadang, dia selalu memasakkan apa saja untuk saya. Yang selalu bikin kangen, sambelnya!
Karena sejak kecil saya selalu disadarkan bahwa tidak ada dua John Lennon, saya tidak pernah merasa iri dengan kepopuleran Papa. Justru saya diuntungkan karenanya: dapat banyak teman.
Pesan papa ke saya: Be the best for what you do, be the best for yourself. Oh ya, selalulah mengerjakan sesuatu dengan cinta. Wah itu papa banget! Inilah prinsip yang saya pegang untuk mengarungi kehidupan ini. ”
(Rustika Herlambang)
seharusnya, tiap anak menjadi dirinya sendiri. jangan terpengaruh dengan kebesaran nama ayahnya. Ali bin Abi Thalib bilang, “Seorang lelaki bukan yang berkata ini ayah saya, akan tetapi yang berkata ini saya!”
artinya, kita harus menjadi diri sendiri. adapun orang tua, cukuplah itu sebagai motivasi berharga, agak kelak di masa depan kita bisa menjadi lebih baik, lebih hebat, dan lebih dalam hal apa saja dari mereka.
harapan orang tua tentu itu. mereka ingin agar anaknya nanti nggak sekedar menjadi setara dengan mereka, tapi menjadi lebih dari mereka.
–postingannya bagus mbak.
dari situ kita bisa dapat pengalaman… ternyata jadi anak tokoh itu sulit juga yhaaa… jadi mending jadi orang biasa-biasa saja. he he he… komentar kok nggak mendidik yah/.
wah putraku Lovis itu seperti sahabat, bahkan “lover”…
gak ada yang tau ya kalo mama lagi nulis tuh, nyebelin banget !
Just read your “inspiring” article. Sometimes having a dialogue between dad/mom and oneself is a complicated job but worth-trying.
Special thanks for these words:
“Karena sejak kecil saya selalu disadarkan bahwa tidak ada dua John Lennon”
For mbak Rustika, your writing is so humane…
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata : ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yg diperintahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yg sabar.'” (QS 37:102)
Ya Allah, rahmatilah & berkahilah orang mukmin & keluarganya, sebaimana Engkau telah merahmati & memberkahi Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji, Maha Agung.
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata : ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yg diperintahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yg sabar.’” (QS 37:102)
+1
blog yg menarik sekali..
posting yang menarik…ada banyak (anak) laki-laki yg punya persoalan dengan bapaknya, mungkin gara-gara cermin kali ya?
kalau saya dari kecil sampai besar hubungan dengan ayah sangat jauh ,,, bicara aja jarang,.. walaupun ada waktu luang… entah knapa ? bisa dikatakan saya haus akan rasa kasih sayang seorang ayah,, padahal saya anak yang paling kecil….
: )
Figur ayah begitu “asing” bagiku, selain karena saya dari kecil tinggal bersama nenek dikampung, beliau juga menghadap Allah SWT pada usia yang sangat muda sekali.
Namun beliau tetap berkesan buat kami.
Ayahku orang kuat