From zero to hero, from hero to zero. Inilah kisah tentang dia. Miranda Goeltom.
Bahkan ketika kali pertama kali menuju Gedung KPK, hati saya sudah berdegup kencang. Keringat dingin muncul. Aneh memang, padahal, semestinya perasaan itu tak ada, karena (semoga) saya tak ada urusan dengan KPK. Mungkin karena nama besar KPK yang selama ini memiliki reputasi sebagai institusi yang paling tegas terhadap penegakan hukum.
Namun rupanya degupan kencang itu beralasan. Ketika mobil berhenti di dekat lobi, sejurus mata memandang pada kedatangan saya. Klik klik, saya merasa mendengar jepretan kamera, terdengar ragu. Suasana ini membuat saya kagok. Apalagi ketika saya sedang duduk, ada kamera menyorot. (Belakangan saya tahu, pada hari itu rencana ada pemeriksaan terhadap salah satu istri muda seorang tersangka)
“Mau bertemu … ?” Suara itu memecah ketakutan yang sejak tadi menemani saya.
“Bu Miranda Goeltom,” jawab saya.
“Sudah ada janji dengan Bu Miranda?”
Saya memang punya janji melalui putri Miranda, Winda, untuk datang hari itu. KTP ditinggal. Punggung tangan diberi cap warna merah bertuliskan Rutan KPK. ID card pengunjung tamu rutan diberikan.
“Duduk dulu ya, tunggu jam-nya.”
Saya duduk di deretan terdepan kursi-kursi. Sendirian. Sepertinya kepagian, baru sekitar pukul 9.15 wib, sementara jam buka masih 45 menit lagi. Di luar pintu kaca, saya masih melihat puluhan kamera berjajar, serta puluhan wartawan tulis atau fotografer berada di tangga dan samping pintu masuk lobi KPK.
“Ibu Miranda.. silakan…” kata petugas berseragam itu. Maksudnya, tentunya, siapa yang mau menengok Miranda dipersilakan menuju ruang pertemuan (ruang kunjung). Ruang itu terletak di basement. Untuk menjangkaunya, kita harus ke luar melewati lobi dan berjalan kaki melewati jejeran wartawan-wartawan itu lagi, menuruni jalan hingga sampai sebuah pintu baja. Karena pintu belum dibuka, saya dan beberapa orang menunggu berdiri di luar. Hingga akhirnya, saya masuk dan bertemu Miranda, setelah menitipkan segala alat komunikasi pada petugas jaga.
Pertemuan ini membawa kesan bahwa KPK adalah lembaga yang bergigi. Punya aturan tegas. Jam kunjung terbatas dan selalu “on time”. Saya membayangkan, reputasi KPK yang begitu tegas, apalagi bagi orang yang berada di dalam Rumah Tahanan. Itulah yang membuat saya tertarik untuk merekam kehidupan di dalam Rutan KPK.
***
Awalnya memang karena “penjara” atau rumah tahanan. Saya selalu tertantang untuk memotret pergulatan hidup manusia di balik penjara. Saat menjadi reporter harian Media Indonesia, saya pernah melakukan reportase investigasi Kehidupan Dalam Penjara LP Sukamiskin, Bandung. Reportase ini memotret keseharian Huzrin Hood, mantan Bupati Kepulauan Riau yang tersandung kasus korupsi APBD. Tulisan dan esai foto itu pernah dipublikasikan sebesar satu halaman di Media Indonesia. Saya juga sempat beberapa kali menengok narasumber yang juga dipenjara di LP Sukamiskin, Rutan Salemba, Lapas Cipinang. Mereka antara lain Abdullah Puteh (mantan Gubernur Aceh), John Hamenda (kasus BNI 46), Teungku Lampoh Awe (Gerakan Aceh Merdeka). Berbagai pengalaman ini memberikan sebuah pelajaran tentang hakikat pertemanan dan misteri roda kehidupan manusia.
***
Miranda… ya mengapa Miranda Goeltom?
Saya pernah mengenalnya secara pribadi, dan pernah menulis profilnya sepanjang 4 halaman di majalah dewi. Saya pernah mewawancarai keluarga, suami, anak, dan sahabat-sahabatnya. Ia juga punya sejumlah pelajaran kehidupan yang menarik.
Miranda merenda namanya mulai dari karier terbawah hingga berada di pucuk karier sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI). Ia adalah perempuan pertama yang menempati posisi bergengsi ini. Keberhasilan ini dimulai dari nol. Ketika terlibat di BI, dia berada pada saat krisis menghantam Indonesia, sehingga apa yang dibicarakan tentang BI adalah sebagian sejarah tentang Indonesia. Selama ia menjabat ia dikenal intens dan hands on terhadap apapun yang dijabatnya. Selain sebagai pejabat, ia juga banyak dan terlibat dalam berbagai aktivitas. Itu sebabnya wajahnya sering muncul di berbagai majalah gayahidup sebagai sosialita, sepopuler pemberitaannya sebagai seorang pejabat di berbagai media ekonomi atau berita.
Dengan segudang prestasi dan gelimang kemewahan tersebut bagaimana ia bisa melalui periode konflik terbesar dalam kehidupannya selama ini? Itulah pertanyaan yang mengganggu saya. Bagaimana Miranda yang high profile itu berada di dalam tahanan KPK ya?
Setelah melewati waktu berpikir cukup lama, ia akhirnya mau bicara. Ia mau membuka diri untuk menceritakan secara mendalam bagaimana pengalaman raga dan rasa saat ia berada dalam Rutan KPK, menanti sebuah kepastian hukum yang dialamatkan padanya. Sebuah kejadian yang amat mendadak, dalam pemanggilan pertama sebagai seorang tersangka, dan langsung dimasukkan dalam tahanan. Hantaman itu seolah membalikkan sebuah kenyataan. Miranda yang memulai kariernya dari nol hingga berada di pucuk kesuksesan, dan ironisnya, pada saat di pucuk kesuksesan inilah ia dihempaskan. Ibarat cerita from zero to hero, from hero to zero.
Ada satu pernyataan Miranda dalam wawancaranya terdahulu. “Siapa pun harus tahu apa yang dinginkan. Namun tidak semua keinginan harus didapatkan. Selalu ada limit. Kalau sampai limit tidak bisa, kita hanya bisa berharap bahwa pilihan kita itu baik. Apakah itu pilihan kerja, seolah, ataupun hidup. Kalau kamu tidak pergi bersama perubahan, kamu akan tergerus, dan bakal menjadi problem,” tukasnya.
Dalam kondisi seperti ini, manakah yang ia pilih? Menjadi problem atau pergi bersama perubahan?
***
Proses pembuatan buku ini berlangsung singkat dan penuh keterbatasan. Sejak awal saya telah menyiapkan konsep sebagai sebuah buku yang lebih menitikberatkan pada sisi human interest. Dengan segala keterbatasan, saya menyiapkan ratusan pertanyaan untuk dijawab oleh Miranda. Jawaban Miranda menjadi pintu untuk pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Namun saya sungguh beruntung. Setiap satu pertanyaan, yang saya dapatkan adalah berhalaman-halaman jawaban dari Miranda yang sudah teratur rapi dan runtut. Ini yang membuat “pekerjaan” saya jadi jauh lebih ringan.
Energi Miranda luar biasa. Ini yang menyebabkan pembuatan buku bisa dipersingkat. Ia punya ingatan yang sangat detail, terutama terhadap angka-angka. Setiap peristiwa ia bisa jelaskan dengan masuk akal. Sehingga bisa dikatakan, seluruh buku ini ia sendiri yang menulisnya. Yang saya lakukan hanyalah memberikan “nyawa”, membuat cerita mengalir, memolesnya sedikit saja, dan melakukan edit bahasa, karena Miranda secara gramatikal pun sudah menguasainya.
Miranda lebih banyak menceritakan semua fakta yang ada, namun acapkali kurang mengemukakan suasana batinnya. Selain terus bertanya tentang pengalaman batinnya, kadang saya dibantu oleh teman-teman Miranda atau keluarga saat bercerita tentang perasaan Miranda. Tambahan wawancara kemudian saya tuliskan dan kembangkan. Hasil kolaborasi ini kemudian dibaca ulang oleh Miranda.
Ketika proses pembuatan buku terjadi, suasana hati Miranda mungkin masih banyak bergejolak. Saat itu, ia terus melakukan banding ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi, dan mendapati kenyataan hukum yang diterima tak sesuai dengan keinginan, hingga akhirnya kasasinya ditolak Mahkamah Agung. Ia seperti berada di jalan buntu. Kadang dalam tulisan ia terlihat kekanak-kanakan, cengeng, tapi kecerdasan telah banyak menutupinya. Boleh dikatakan, ia jarang mengeluh tentang dirinya sendiri, lebih banyak mengutarakan fakta. Ada memang sedikit emosi terasa ketika ia bicara hukum, namun nyata sekali ia berusaha mengendalikan dirinya.
Selain melalui tulisan, wawancara dengan lingkungan sekitar, riset, tak kalah penting adalah “membaca” gesture tubuh Miranda. Sesekali merasakan berada di dalam lingkar Miranda. Membaca pergerakan emosi melalui tulisan-tulisannya. Akhirnya dalam meracik buku ini, saya terus membaca berbagai penanda yang disampaikan Miranda. Mungkin saja “pembacaan” saya salah, namun wacana Miranda juga memberikan saya seluas mungkin makna.
Berhadapan dengan Miranda, saya seperti masuk dalam sebuah penanda yang harus saya rangkaikan dan intepretasikan. Inilah misteri dalam kehidupan seorang manusia.
Riwayat hidup seorang perempuan Indonesia yang bisa menjadi bahan pelajaran dan perenungan. Bukan hanya sekadar pelajaran moral, namun juga ilmiah, karena di dalamnya terdapat 1001 dimensi kehidupan dalam suatu zaman.
Kemanggisan, 10 Juni 2013
Rustika Herlambang
Leave a Reply