Memenangkan Hati Prita Kemal Gani
Ia sungguh percaya bahwa memberikan kebahagiaan bagi orang lain adalah jalan menganyam kebahagiaan untuk dirinya sendiri
Kehangatan suasana terasa sungguh di ‘kantor’ Prita Kemal Gani, pendiri London School of Public Relations Jakarta (LSPR). Sebuah ruang makan nyaman dengan sepiring macaroon warna warni di atas meja. Di meja panjang samping tangga, sepanci bakso yang kuahnya masih mengepul, siomai, lontong, dan sate ayam diletakkan. Sejurus mata memandang adalah bunga Lili warna-warni yang membaurkan aroma wangi, foto-foto keluarga, serta perabotan yang didominasi warna cokelat. Hangat. Mengingatkan pada kehangatan rumah di mana ada sentuhan ‘ibu’ di dalamnya.
Prita tersenyum tatkala kata “Ibu” disebut. Ia menyukai segala hal yang dikaitkan dengan sifat keibuan: menata rumah, memasak, atau mengurus anak. Meski demikian, kecintaan tersebut tidak menghalanginya untuk meraih Outstanding Entepreneur Award 2009 dari Asia Pacific Entepreneur Award, setelah sempat menjadi finalis Ernst & Young Entepreneur of The Year 2008. Nama Prita senantiasa dikaitkan dengan lahirnya lebih dari 10 ribu sosok Public Relation (PR) profesional dan berdedikasi di Indonesia yang dicetak dari sekolahnya. “Saya bersyukur bisa membuat sesuatu yang beda di negara ini, profesi PR kini sangat dibutuhkan. Saya bisa memberikan kontribusi pada negara, semoga hal ini bisa membanggakan Ibu saya,” ucapnya.
Ibu. Lagi-lagi Ibu. Nama itu terus disebut sepanjang perbincangan, di antara ketegaran dan sirat kebanggaan, meski kadang terasa di antara nada bicara yang tercekat, mengingat rindu yang kini tak lagi berbalas. Berbagai cerita pahit yang terselip diucapkan dalam nada datar. Pun termasuk airmata yang meleleh pelan, tak terlihat ada perubahan pada gestur tubuhnya. “Saya adalah produk dari Ibu bekerja,” katanya kemudian, menyadari bahwa perbincangan ini terjadi tak lepas dari achievement yang telah dibangunnya.
Pengalaman hidupnya selama ini telah membawanya pada satu simpulan: behind every great woman there’s a great mom. Kisahnya dimulai saat ayahnya meninggal dunia. Saat itu ibunya – biasa dipanggil Mami – adalah seorang ibu rumah tangga, berusia 29 tahun, dengan empat anak yang masih belia dan satu dalam kandungan. Kejadian mendadak ini jelas mendatangkan berbagai kesulitan. Setelah berbagai usaha ditempuh, akhirnya Mami menyerah. Pada satu titik masa, Mami pun memutuskan bekerja pada ayahnya di Padang, dengan konsekuensi ia harus meninggalkan anak-anaknya tetap di Jakarta dan dititipkan terpisah-pisah di rumah saudara dari pihak almarhum suaminya.
Prita adalah anak ke dua, dan waktu itu umurnya belum genap 6 tahun. Ada sebuah peristiwa yang amat dikenang Prita. Beberapa malam sebelum perpisahan itu, ibunya mengumpulkan keempat anaknya dan memberikan pemahaman seolah mereka telah dewasa. “Mami harus bekerja untuk membiayai kalian. Kita berpisah untuk sementara. Kalau libur, Mami akan datang,” Prita menirukan kata-kata yang suatu kelak akan diturunkan pada anak-anaknya. Kalimat itu, tutur Prita, disampaikan dalam bahasa yang riang da nada nada optimis yang tertuang.
Tak mudah menjalani masa-masa sulit ini. Namun ia merekam ketegaran bundanya. Satu hal yang ditandaskan Mami, sebagai satu-satunya anak perempuan, ia harus bisa memenangkan hati pemilik rumah yang ditinggalinya. Prita kecil patuh pada saran Mami. Di rumah saudara ayahnya itu, ia setiap hari membantu membersihkan meja, kursi, dan kristal. Segala pekerjaan yang dilakukan sepenuh hati itu rupanya mencuri perhatian keluarga yang ditinggalinya. “Saya benar-benar belajar dari peristiwa itu,” ujar Prita.
“Jangan tanya perasaan saya. Perpisahan itu sangat menyakitkan. Tapi perpisahan itu pula yang membuat saya jadi kuat,” ujarnya. Sedih, pasti. Apalagi ia berpisah dengan ibunya di usia sangat muda. Waktu awal perpisahan, ia sering melingkari kalender, menanti hari perjumpaan dengan ibunya, dan mendengarkan kembali suara jernih ibunya menyanyikan lagu Soleram atau You are My Sunshine. “Meski jauh, saya merasa selalu dekat, karena Mami selalu menulis surat,” tuturnya berbinar-binar. Surat-surat itu disimpannya.
Pengorbanan selalu membuahkan hasil. Ibunya pun akhirnya memiliki sebuah hotel kecil di Bengkulu. Sebagai perempuan berdarah Padang yang matrilineal, ibunya berharap banyak padanya untuk melanjutkan bisnis. Apalagi ia adalah satu-satunya anak perempuan. “Akhirnya saya melanjutkan ke Sekolah Manajemen Perhotelan Trisakti atas saran Mami. Meski sebenarnya cita-cita saya menjadi guru,” ia tersenyum. Keinginan untuk membahagiakan ibunya jauh lebih tinggi daripada cita-citanya sendiri. Kepasrahan selalu membawa kebeningan dalam berpikir. Wawasan pun terbuka. Waktu job training, ia ditempatkan di departemen PR hotel bintang lima Jakarta – dan itulah saat pertama ‘berkenalan’ dengan dunia PR yang langsung membuatnya jatuh cinta.
Prita melanjutkan pendidikan PR di London City College of Management Studies, Ingggris, setelah meyakinkan Mami mengenai dunia PR yang tak jauh dari bisnis hotel. Untuk melengkapi pengetahuannya, ia menuju Manila, mengambil gelar MBA-nya di International Academy of Management and Economies. Namun setiba di Indonesia, ia malah bergabung di perusahaan PR Clarck Hatch International di Jakarta. Lalu bagaimana dengan usaha ibunya? “Karena prospek kurang baik, kami menjualnya.”
Jodoh Membawa Bahagia
Kesibukan bekerja sedikit menelantarkan keinginan untuk mencari jodoh. Tapi nasib sebagai PR pula yang telah mempertemukannya pada Kemal Gani, seorang wartawan, profesi yang sama persis dengan almarhum ayahnya. Saat masih pacaran, keduanya acap membayangkan tentang masa depan. “Mas Kemal bilang, kalau kamu jadi PR, kerjanya sampai malam, stressnya tinggi. Sementara Mas Kemal pulangnya malam juga. Tak bisa kan kalau dua-duanya begini? Lalu Mas Kemal mengatakan, kenapa Prita nggak buka sekolah PR saja?,” dengan nada mesra Prita mengenang awal pendirian LSPR.
Usulan itu begitu cepat meresap pada diri Prita. Memang pada masa itu, ia acapkali kesulitan mencari PR karena sistem pendidikan komunikasi di Indonesia masih sangat luas, tidak spesifik PR. Dengan modal tabungan tang tak banyak, keduanya membangun kursus PR dengan menerobos situasi pendidikan masa itu melalui ‘branding’ sekolah internasional. Salah satunya dengan mengadakan kerjasama dengan lembaga yang bergerak di bidang ujian dan sertifikasi PR di London, Inggris, mencari tenaga pengajar asing yang berpengalaman, dan banyak menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris. Sekolah ini didirikan tahun 1992. “Di akte pendirian masih ada nama asli saya Prita Kania Sudaryono dan Kemal Gani,” kata Prita yang langsung mengubah namanya menjadi Prita Kemal Gani seusai menikah akhir tahun 1992.
“Tenaga asing ini adalah suami/istri pekerja ekspatriat yang terpaksa berhenti bekerja karena harus mengikuti penempatan suami/istrinya di Jakarta. Padahal mereka adalah profesional di bidang advertising. Akhirnya, mereka seperti relawan, senang sekali membantu kami,” ia tertawa, pandai mencari celah, menceritakan perihal tenaga kerja asing di sekolahnya. Awalnya, kursus ini dibuka untuk kaum profesional, namun sejak tahun 1999 ‘naik tingkat’ menjadi sekolah tinggi (setingkat universitas). “Itu semua petunjuk Tuhan. Karena pada saat krisis banyak orang tua tak bisa menyekolahkan anak di sekolah PR di London, dan pada saat inilah lahirnya sekolah tinggi PR. ”
Duabelas tahun terakhir, Prita berhasil mengendalikan bisnisnya dari rumahnya sendiri. Sebelumnya, ia mengajari rekan-rekan kantornya untuk bisa menjalankan perusahaan tanpa harus ada kehadirannya. Mungkin bukan perkara mudah untuk mendelegasikan pekerjaannya selama ini. Namun ia meyakini, teknologi mempemudah semuanya. “Saya selalu mengecek email dan memberikan tugas-tugas mereka,” ucap Prita yang mengakui bahwa keputusan ini bukan berarti dia akan bersantai-santai di rumah. “Bahkan saya biasa sampai jam satu menyelesaikan pekerjaan bila memang harus selesai saat itu juga. Karena sekali menumpuk pekerjaan, maka akan memengaruhi tugas-tugas berikutnya,” ujarnya tegas. Soal ini, ia amat disiplin.
Kemal Gani memuji istrinya tanpa basa-basi, “Ia adalah wanita yang lengkap. Entepreneur yang tekun dan inovatif, namun juga ibu rumah tangga yang luar biasa.” Di rumah, ia selalu punya energi luar biasa untuk melakukan segala hal, apakah pekerjaan ataukah untuk ketiga anak dan suaminya. “Energi itu lahir dari dalam. Dia punya passion pada pendidikan, keluarga, dan anak-anaknya,” tambah Kemal. “Dan lebih dari itu, dia juga seorang leader yang efektif dan ‘keibuan’ di LSPR. Banyak masalah pribadi staf, misalnya, juga menjadi perhatiannya. Dan Prita juga sangat piawai dan santun dalam membangun dan merawat pertemanan.” Sementara itu, Prita kembali katakan hal serupa dengan ibunya dulu. “Kini giliran saya katakan pada anak-anak saya. Bukan berarti ayah tak bisa membiayai kita semua, tetapi mama bekerja karena mama ingin memanfaatkan ilmu yang eyang sudah berikan pada mama, dan mama pun bisa bermanfaat buat orang lain.”
Selalu Ada Pesan di Balik Setiap Peristiwa
Di puncak kesuksesan, ia kembali menyebut nama Ibunya, “Saya merasa keberhasilan anak itu karena doa Ibu. Apa yang saya lakukan hanya meniti kata-kata Mami,” ujarnya. Ia terdiam sejenak.
“Hidup taklah semanis macaroon,” katanya. Ada suatu masa ketika ia berada dilanda kerisauan. Hal itu terjadi tatkala anak bungsunya didiagnosa Autis. Waktu itu, ia sering mendapat masukan yang mengatakan bahwa situasi itu terjadi karena ia terlalu banyak naik pesawat saat hamil, terlalu banyak minum wine, dan segala hal yang seolah menyudutkan posisinya sebagai wanita karier. Bahkan terbersit beban kehidupan ini sebagai karma baginya. “Selama setahun saya mengalami masa tak bahagia.”
Pertanyaan demi pertanyaan menghantui diri. Lalu sosok ibunya muncul lagi dengan nasehatnya. “Coba introspeksi. Kalau memang kalian tak ada masalah, mungkin ada pesan Tuhan yang dititipkan,” Prita kembali mengutip kata-kata ibunya. Ia kembali berlapang dada saat menyadari bahwa hadirnya putri bungsunya itu adalah sebuah pesan dari Tuhan. “Anak saya sampai sekarang tak bisa ‘bicara’. Hal ini seperti mematahkan berbagai spesialiasi yang ada di dalam sekolah yang saya dirikan. Saya punya ahli komunikasi, speech therapy, speech clinic, tapi tak satupun yang bisa membuat anakku bisa bicara,” ujarnya. Pemilik sekolah yang menciptakan ahli komunikasi ini disadarkan bahwa ia tak bisa memaksa pengetahuannya pada setiap orang. Orang itu bukanlah orang lain, melainkan anak kandungnya sendiri. Ia belajar bahwa ada orang yang tak bisa dilatih, sesuatu yang sebelumnya tak pernah ada dalam benaknya.
Kepasrahan ini kembali membangkitkan semangat untuk berbagi pengalaman yang sungguh teramat berat baginya. Ia meyakini, jembatan komunikasi antar orang tua yang memiliki anak autis sangat penting dan bisa saling menguatkan. “Tak banyak orang memahami anak autis. Kadang anak-anak itu dianggap bandel, bodoh, idiot, itu karena mereka tak paham sama sekali. Apalagi masih ada anggapan bahwa anak autis adalah kutukan. Tidak, sama sekali tidak,” ujarnya menegaskan. Ia pun segera membuka London School Autism Awareness Center (LSAWC). Tidak main-main, ia mendatangkan berbagai pakar dari berbagai negara. “Anak saya kini jago berkuda!,” Prita memamerkan kebanggaannya.
Sejalan dengan bisnisnya yang terus berkembang, kepeduliannya melalui LS AWC semakin membesar. Hasrat terbesarnya adalah menciptakan recruitment agency untuk anak berkebutuhan khusus seperti yang ada di negara-negara lainnya. Dia mengisahkan bahwa di negara-negara tertentu, perusahaan yang mau menampung anak berkebutuhan khusus akan dikenai pengurangan pajak. “Banyak loh anak autis yang genius dan bekerja dengan baik, salah satunya adalah penemu London Eyes,” katanya menggebu-gebu sambil menyebutkan beberapa nama besar lainnya.
Kebahagiaan dan kebanggaan terpancarkan dari kata-katanya. Ia kini percaya, setiap masalah pasti ada jawabannya. Seberapapun berat yang akan ditanggungnya, ia yakin, akan sebanding dengan kebahagiaan yang akan diterimanya. (Rustika Herlambang)
Stylist: Aldi Indrajaya. Foto: William Chandra. Rias: Roseline
Leave a Reply