Menebas Batas
Sensitivitas perasaan telah membawanya pada aktivitasnya yang begitu peduli pada nasib orang-orang yang disingkirkan ataupun tersingkirkan.
Ketegangan langsung pecah tatkala Nafsiah Mboi menyambut dengan tawa lepasnya. Menteri Kesehatan ini terlihat rileks dan santai meski sekitar 10 ribu buruh berdemo di depan kantornya terkait pelaksanaan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. “Persoalan sudah diselesaikan Dirjen, saya sendiri sedang melepas 130 dokter muda untuk diberangkatkan menuju daerah-daerah perbatasan. Saya tahu mereka pasti berangkat dalam suasana ketakutan dan kekhawatiran, itu sebabnya saya harus di sana,”ucap Naf yang selama ini selalu menerima perwakilan demontrasi yang terjadi.
Memang bukan kali ini saja kementerian yang dipimpinnya didemo massa. Naf hanya perlu sepekan setelah dilantik menjadi buah bibir. Menteri Kesehatan yang juga aktivis penanggulangan HIV/AIDS, ini dianggap mengeluarkan kebijakan yang dianggap kontroversial, yakni Harm Reduction (strategi untuk mengurangi dampak buruk dari kegiatan atau perilaku berisiko). Naf menyadari bahwa pengguna sulit menghentikan. Jika tidak disuplai dengan jarum bersih, maka pengguna pasti akan mati atau terkena HIV/AIDS. Sementara itu berkaitan dengan HIV/AIDS, ia menyarankan menggunakan kondom bagi para pelaku yang tidak bisa menghentikan perilaku berisiko tersebut.
Hanya dalam waktu singkat wawancara yang tidak dikutip utuh oleh media tersebut mendapat respon yang luar biasa. Ia dianggap sebagai menteri seronok, dipanggil Anggota Dewan, namun semua ditanggapi dengan kepala tegak. Ia menyelesaikan pemberitaan yang tak utuh dan menyebar cepat di media sosial itu dengan menggunakan Youtube. Dalam waktu relatif singkat, situasi mereda. Usia memang boleh 72, katanya, tapi semangat terus membara. Ia tidak gagap teknologi. “Tidak ada istilah terlambat untuk belajar kan?,” ujar Naf yang juga dihadang demo ribuan orang yang menolak RUU Tembakau di kantornya. Bagi Naf, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas Perempuan dan pendiri Komnas Perlindungan Anak Indonesia, tembakau memiliki dampak negatif untuk anak dan perempuan. Ia memang berani bersikap.
Keberanian ini tidak datang saat ini. Dalam memoar suaminya, Ben Mboi, Memoar Seorang Dokter, Prajurit, dan Pamong Praja, banyak cerita mengenainya. Misalnya ketika bertugas sebagai Kepala Rumah Sakit, ia menegur Komandan Kodim yang bertindak berlebihan pada waktu kontra Partai Komunis Indonesia (PKI). Katanya, “Kalau semua wanita dan anak-anak Kota Ende mengalami histeria karena menonton dua kepala orang tanpa badan, siapa menangani dan bertanggung jawab? Apa hebatnya membunuh orang dan pamerkan dan pajangkan kepalanya di tengah kota?.” Lalu peristiwa lainnya, Naf berdiri di depan buldozer, mewakili suaminya yang sakit, ketika rumah dinas dirampas paksa demi sebuah lot parkir. “She is a good woman, and she is a good wife,” Ben Mboi mengomentasi Naf.
Karakter berdaya itu dibangun dari riwayat keluarga. Naf berasal dari keluarga bangsawan Sulawesi Selatan, seorang Andi. Ayahnya yang berprofesi Hakim adalah Raja di Sengkang. Kakeknya dari pihak ibu adalah Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Sonda Daeng Mattayang – yang memiliki pendapat bahwa perempuan harus sekolah sama tingginya dengan lak-laki. Ibunya adalah wanita Bugis Makasar pertama yang menamatkan pendidikannya di luar Sulawesi. Naf sendiri merupakan sulung dari 6 bersaudara yang mengalami masa menyenangkan dan berkecukupan.
Waktu usianya 12 tahun, keluarga pihak ayah menyarankan agar Naf segera dipingit, sesuai tradisi setempat, untuk segera dinikahkan setelah usai sekolah. Permintaan ini ditolak oleh ibunya, meski dalam hal ini Naf mengingat adanya perdebatan antara keluarga ayah dengan ibunya. “Ibu saya bersikeras. Ia mengikuti pandangan kakek,” tutur Naf yang tidak bisa membayangkan apa jadinya bila ibunya mengalah. Demi mewujudkan pandangan ini, bundanya memasukkannya ke sekolah Belanda terbaik. “Padahal ayah saya nasionalis,” tutur Naf yang sempat dititipkan di kediaman Raja Bone demi bisa sekolah saat orangtuanya pindah ke luar kota.
Naf kemudian mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi dokter, saat diterima di Jurusan Kedokteran Universitas Indonesia (UI), dan menjadi dokter wanita pertama Sulawesi Selatan. Ia kemudian memutuskan menikah dengan Ben, meski suaminya itu datang dari keluarga miskin, berbeda kepercayaan, dan kontras dengan kehidupannya.
Lulus kuliah, ia langsung ditempatkan di daerah asal suaminya, NTT, dan menjadi Kepala Rumah Sakit di Ende, dan menjadi satu-satunya dokter di propinsi tersebut. Di sinilah bermula kepedulian pada kaum papa. “Sebenarnya, kepedulian pada yang papa telah dicontohkan orangtua saya. Waktu saya kecil, saya sering melihat orang miskin datang ke rumah dan dilayani dengan baik. Namun yang paling berpengaruh dalam pemikiran saya adalah suami, kehidupan suami saya, dan terutama Ibu mertua saya.”
Ia terhanyut manakala berkisah tentang mertuanya: janda miskin yang menolak mengikuti tradisi Turun Ranjang begitu suaminya meninggal. Tradisi tersebut adalah menikah dengan saudara laki-laki suaminya. Akibatnya, mertuanya dikucilkan dari keluarga dan masyarakat. Meski demikian, perempuan tangguh itu tetap memberdayakan diri supaya bisa membesarkan ke lima anaknya. “Saya kagum pada perjuangan mertua saya. Meski miskin punya harga diri. Bersikukuh membesarkan anak-anaknya, tak mau poligami, dan hal itu berpengaruh bagi saya terutama setelah menikah,” ungkap Naf yang akhirnya sangat peduli pada dunia pemberdayaan perempuan dan anak-anak.
Itu sebabnya harapannya hanya satu: melanjutkan Spesialis Kebidanan. Sayangnya, Spesialiasi Kebidanan, masa itu, hanya diperuntukkan dokter laki-laki. “Perempuan tidak bisa masuk Spesialiasi Kandungan karena dianggap tidak mampu, takut hamil, dan sebagainya. Memang ada diskriminasi,”tutur Naf yang langsung mengambil Spesialis Anak.
Dari Jakarta, ia kembali ke NTT saat suaminya diangkat menjadi Gubernur. Meski dinikmati dengan segala dinamika, Naf sendiri hampir menyerah karena berbagai hal yang tidak mudah dilaluinya. Ia memasrahkan dirinya dengan bekerja sangat keras untuk masyarakat NTT sepanjang 1978-1988, membantu meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di NTT. Ketulusan membuahkan hasil saat pasangan ini mendapat Magsaysay Award dalam bidang pelayanan kepemerintahan, sebuah penghargaan tingkat internasional.
Kebanggaan ini membuat hidupnya lurus? Tidak. Bahkan ia ditolak kembali ke RS yang pernah membesarkan namanya. Ia diberi tempat di Palang Merah Indonesia oleh Menteri Kesehatan Prof. Satrio. “Saat itu saya langsung tanya, mengapa saya dokter anak ditempatkan di PMI? Prof. Satrio menjawab ‘karena saya butuh dokter yang berani!’ ha ha ha,” Naf tertawa mengingat kejadiannya. Rupanya masa itu terjadi percaloan darah, dan ia harus menyelesaikannya. “Saya mengalah. Karena Pak Satrio yang meminta,” tutur Naf yang dalam masa kepemimpinannya berhasil membenahi sistem peredaran darah, memberangus percaloan, bahkan surplus darah – sebuah sejarah baru di PMI, bekerja sama dengan Ali Sadikin, Gubernur DKI.
Aktivitas Naf terus bertambah dengan melanjutkan pendidikan masternya di bidang kesehatan masyarakat di Institute of Tropical Medicine, Antwerpen, Belgia (1990) dan menjadi research fellow untuk Takemi Program dalam kesehatan internasional di Harvard University, Cambridge, Amerika (1991). Saat di Amerika, wawasannya soal HIV/AIDS menjadi terbuka, terutama setelah bertemu dengan Jonathan Mann, Direktur Global Program on AIDS dari WHO yang menjadi pengajarnya di Harvard. “Setelah diperlihatkan sebuah film tentang situasi daerah yang terkena AIDS di Afrika, saya langsung tertegun.” Selalu ada peristiwa yang menggugah hati yang membuatnya langsung bergerak.
Puncak prestasi terjadi saat ia diangkat menjadi Ketua Komite Hak-hak Anak di PBB tahun 1997-1999. Ia adalah orang Asia pertama dan satu-satunya orang Asia yang menjadi ketua dan anggota. Prestasi ini berlanjut kemudian kala ia menjadi direktur Department of Gender and Women’s Health di WHO, Swiss, tahun 1999-2002. Ia-lah perempuan Indonesia pertama yang pernah menduduki jabatan ini, yang hingga saat ini belum pernah ada lagi. “Itulah achievement menarik untuk saya,” tutur Naf ketika kembali ke Indonesia menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas Perempuan. “Semua prestasi ini saya lakukan dengan cara saya bekerja sebaik-baiknya, selalu mempertahankan kredibilitas, akuntabilitas, selalu bisa dipertanggungjawabkan.”
Bekerja sebaik-baiknya seperti yang ia sebutkan, bukan berarti tanpa halangan. Dalam perjalanan tidaklah semulus terlihat di permukaan. Yang terberat terjadi saat ia menjadi Direktur di WHO. Ia pernah dianggap melakukan pelanggaran HAM dan diskriminatif terhadap koleganya yang berkulit hitam. Kisahnya berangkat dari pendapat kolega tersebut bahwa sunat perempuan adalah masalah kesehatan terbesar di dunia sehingga harus dijadikan isu. Sementara Naf beranggapan, bahwa prioritas utama kesehatan perempuan harus dilihat dari masalah kesehatan terbesar di seluruh dunia, seperti gender imbalance, gender issue. Sunat perempuan hanya masalah di beberapa negara di Afrika, jadi tidak menjadi prioritas utama. Akibat perbedaan pendapat tersebut, ia dianggap melakukan diskriminasi di badan dunia tersebut sehingga diserang. “Sedih rasanya, saya membela hak-hak perempuan di negara saya, tapi saya diserang oleh pembela hak-hak perempuan lainnya.” Persoalan akhirnya diselesaikan. “Saya panggil komisi Ombudsman untuk menyelesaikannya. Saya berani karena saya tahu, saya benar. Saya selalu evidence based, dan tidak diskriminatif, “katanya.
Naf tersenyum sejenak. Mengenang kehidupannya yang penuh warna. Tak banyak cerita perih yang terlihat di permukaan selama ini. Ia menikmati setiap perjalanan yang telah dilakukannya. Halangan, duka, cobaan, bukanlah hal yang perlu ditakuti, namun dihadapi. Menikmati apa yang didapat juga menjadi solusi. “Ternyata dalam kehidupan itu banyak pelajaran. Kita harus melihatnya keseluruhan dengan the positive outlook. Kesadaran ini juga membuat kita awet muda,” ia tertawa. Kesegaran tampak pada wajahnya. Menit-menit berikutnya ia sudah bercerita tentang banyak hal yang akan dilakukannya, demi meningkatkan derajat kesehatan, perempuan, dan anak di Indonesia. Tak habis-habisnya ia berkisah dengan nada optimis dan penuh rasa bahagia, sehingga lupa akan segala luka yang baru saja dikisahkannya.
Ah, ternyata bahagia itu harus dicari, meski dengan caranya sendiri. (Rustika Herlambang)
Foto: Hermawan Pengarah Gaya: Cempaka Asriani Rias wajah: Roseline
Ewah ewah… pepandai jer dia karang… tah betul tah tidak…
hehe gurau jer … best cerita nie .. thanks.