Mengurai Mimpi Riri Fitri Sari
Hidup ini seperti de javu dari mimpi-mimpi masa kecilnya/Isi-isi buku masa kecilnya itu kini seperti melayang-layang dan menjadi nyata pada dirinya
Pada akhirnya penghargaan internasional pada bidang sains itu tiba pada seorang perempuan Indonesia. Ia adalah Prof. Dr. Riri Fitri Sari MM MSc, 42 tahun, peraih WIE Most Inspiring Engineer Award dari Institute of Electronic and Electrical Engineers (IEEE) Asia Pasific, pada pertemuan region 10 di Kalkuta India, beberapa waktu lalu. Penghargaan ini diterima atas dedikasinya dalam mengembangkan perangkat teknologi informasi dan komunikasi di kalangan nasional dan internasional. UI Green Metric, pemeringkatan kampus berdasarkan kampus hijau adalah prestasi terbesar yang diakui dunia. Riri sendiri merupakan guru besar wanita termuda di Universitas Indonesia, professor Teknik Komputer di Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia (UI), sekaligus Kepala Pengembangan dan Pelayanan Sistem Informasi seluruh UI.
Berkecimpung dalam bidang teknologi informasi yang berurusan dengan jejaring rumit ternyata tidak mengubah Riri menjadi sosok yang kaku, serius, dan misterius. Sebaliknya, ia ramah, hangat, dan menampakkan wajah gembira. Kalimat-kalimat yang disampaikannya tidak kaku. Bahasanya teratur dan mudah dimengerti. Ia juga berpikiran terbuka. Seperti ketika ia berkisah tentang pengalamannya saat singgah di kediaman Bunda Teresa di Kalkuta seusai menerima penghargaan. Tempat tidur sederhana dan sebuah meja kayu tempat Bunda Teresa menuliskan surat-surat penting untuk dunia rupanya menjadi perhatian terbesarnya. “Perempuan yang tangguh itu perempuan yang menulis, seperti Ibu Kartini,” ia menegaskan. Kisah perempuan-perempuan berdaya selalu menjadi magnet perbincangannya.
“Saya mengenal Ibu Kartini sejak kelas 4 SD lewat eksplorasi tulisannya dan saya sudah merasa seperti berteman,” katanya. “Ibu Kartini itu luar biasa. Ia bisa melihat masalah secara komprehensif. Keluh kesahnya jelas. Harapannya mendatang bisa dimengerti,” ujarnya, dan agak mengejutkan karena tiba-tiba genangan terlihat di matanya. Ia beranggapan bahwa persoalan yang dialami perempuan masih sangat besar. “Walau kini sudah banyak perempuan yang muncul di permukaan, namun sesungguhnya bebannya masih luar biasa,” katanya, tak menjelaskan apakah analisis ini berasal dari pengalaman pribadinya.
Sambil mengusap air mata, antara haru dan tersipu malu, ia berujar, “Orang teknik sering dianggap tak ada urusan dengan rasa ya..”. Menurutnya, kesuksesan dalam bidang apapun akan lebih baik bila disertai keseimbangan antara kepekaan perasaan dan logika. “Musik membuat sensitivitas saya terus ada,” ungkap Riri yang menekuni piano klasik sejak usia belia. “Musik membantu keseimbangan bagi orang yang mau bertahan di dunia teknologi informasi. Sebagai programmer, kalau tak ada keseimbangan otak kanan dan kiri, dia akan berada di dunianya sendiri,” ujar Riri yang juga mendapat gelar master dari bidang Sumber Daya Manusia, selain Elektro dan Teknologi Informasi. “Tesis master saya bicara tentang Parallel Processing (pengolahan data secara paralel), mungkin juga dalam tubuh saya sudah ada parallel processing antara yang peka dan logika,” ia kembali tertawa.
Merangkum perjalanan kesuksesan Riri, ia seperti bentuk nyata pernyataan filsuf Spanyol, Ortega y Gazzet: Aku adalah diriku dan lingkunganku. Setiap langkah kehidupannya senantiasa didukung oleh lingkar semesta keluarga terdekat yang menjadikan Riri sebagai sosok pekerja keras, penakluk tantangan, berkemauan kuat, ambisius dalam arti positif, di balik sikapnya yang amat kalem. “Saya bukanlah perempuan cerdas atau genius, tapi nekat dan telaten. Kuncinya, saya bertahan 30 menit lebih lama dibanding orang lain, dan saya selalu mengerjakan setiap hal dengan hati, “ujarnya jujur.
Riri boleh beruntung karena lahir sebagai perempuan berdarah Bukit Tinggi, Sumatera Barat, yang menganut tradisi matrilineal. Sikap budaya ini rupanya amat memengaruhi sikap Riri dan keluarganya untuk terus mencapai batas tertinggi dalam segala bidang. Pesan yang amat melekat pada dirinya berasal dari sang Ibu, orang terdekat Riri: “Kalau perempuan mau sukses jangan pernah lihat mata orang lain. Kerjakan apa yang mau kita kerjakan. Tidak ada yang perlu ditakuti di dunia ini kecuali pada Allah.” Pernyataan ini memengaruhi perjalanan kehidupan Riri, sulung tiga bersaudara, di mana perempuan masih sering ditakuti oleh berbagai hal dan pembatasan.
Sulung dari 3 bersaudara yang dilahirkan 42 tahun lalu ini melalui masa kecilnya di berbagai kota di Indonesia, mengikuti penempatan tugas ayahnya, seorang pejabat Depot Logistik (Dolog). “Saya ini orang Indonesia asli karena merasakan tinggal di Bukit Tinggi, Manado, Lombok, dan Jakarta, ” ia menyebutkan kota-kota yang ditinggalinya. Ibunya adalah dosen di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN), dan beruntung karena selalu ada sekolah APDN di mana suaminya bertugas. “Akibatnya, karier Mama tak secemerlang bila terus tinggal di suatu tempat. Mama tak sempat menjadi guru besar. Sementara posisi terakhir ayah sebagai asisten menteri,” ia menjelaskan keadaan keluarganya.
Setiap hari sepulang sekolah, dengan mobil VW kodok berwarna hijau menyolok, sang ayah membawa anak-anaknya menuju toko buku saat berada di Manado. Karena masa itu tak banyak hiburan dan aktivitas yang ditawarkan, ia menikmati petualangan dari buku dan majalah-majalah yang membawa pikirannya mengelana dari ruang belajarnya. “Saya pikir kini saya menjadi ‘petualang’ karena novel-novel semacam Tintin yang saya baca waktu kecil,” celetuknya cepat. Namun tak hanya itu saja. Diam-diam seluruh buku yang dibacanya membekas dan menunjukkan arah kehidupan di kemudian hari.
“Saya belajar bahwa bekerja keras itu sangat penting dalam menjalani kehidupan dari novel dan film Little House on The Prairie, karya yang diinspirasikan dari kehidupan penulisnya, Laura Ingalls Wilder. Saya terobsesi ke Swiss karena novel Heidi karya Johanne Spyre. Saya ingin ke United Nation karena membayangkan suasana saat Sjahrir berpidato di sana,” ujarnya berapi-api. Dan begitulah, ia selalu membangun mimpi dari buku. Cita-citanya ingin menjadi Marie Curie, penemu radiologi, sekaligus pemenang dua nobel dari bidang fisika dan kimia.
Lalu mengapa masuknya ke teknologi komunikasi? “Ah, itu karena ayah saya penggemar gadget,”kata terus terang. Setiap pulang dari Jakarta, ayahnya selalu membelikannya peranti teknologi terbaru. Yang paling berkesan adalah sebuah komputer manual yang dibelikan ayahnya di tahun 1982. Saat itu, ia tinggal di Lombok dengan kondisi perkembangan teknologi belum sepesat saat ini. Alat canggih yang waktu itu masih dihubungkan melalui televisi telah memikat hati Riri. Jiwa petualangannya tumbuh untuk bisa mengenal dengan baik dunia komputer yang saat itu masih amat baru di Indonesia. “Sangat menantang. Saya mulai belajar program-program komputer dari buku-buku.”
Itulah jalan utama ia masuk dalam dunia teknologi informasi. Pertama-tama, ia mengambil pendidikan di Teknik Elektro di Universitas Indonesia. Atas saran ayahnya, ia mengambil magister Sumber Daya Manusia di Universitas Atmajaya Jakarta, demi mengimbangi dunia eksaktanya. Tak lama kemudian, ia mendapat beasiswa pendidikan master di Department Computer Science, University of Sheffield, Inggris, dan meneruskan pendidikan doktoralnya di School of Computing, University of Leeds, Inggris. Di antara banyaknya pilihan profesi, ia memilih menjadi dosen, seperti bundanya. “Kata Mama, paling enak untuk perempuan adalah menjadi guru. Saya menurut,” ungkapnya jujur.
“Saya memang penurut, dan saya pikir, tak ada yang salah,” katanya yakin. Bahkan pada kisah cintanya untuk seorang pria yang dijumpainya pada upacara 17 Agustus di Istana Negara, dalam sebuah pertemuan Mahasiswa Berprestasi Nasional, pun diserahkan pada bundanya. Pria tersebut adalah Dr Kusno Adi Sambowo, kini adalah Wakil Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Surakarta (UNS), suaminya. Ia bahagia ketika pria tersebut yang akhirnya menjadi suaminya, karena semangat dari bundanya. “Saya membayangkan tidak akan kesulitan saat membicarakan paper-paper saya, Mas Kusno sabar dan senantiasa memberi semangat” ia memberi alasan mengapa menyukai pria dari bidang yang sama. Keduanya dikaruniai tiga putri cantik: Almira, Naufalia, dan Laura. Saat ini mereka tinggal terpisah pada hari kerja, Riri di Jakarta, suaminya di Solo, demi mengembangkan prestasi masing-masing. Tahun 2009, ia menduduki peringkat tiga Dosen Berprestasi tingkat nasional. Riri tak pernah berhenti mengukir prestasi.
Tidak hanya orang tua, yang disebut-sebut Riri memengaruhi perjalanan hidupnya. Ada paman yang tak bisa dipisahkan darinya dan tradisi keluarga Sumatera Barat, seperti terungkap dalam pepatah “Anak dipangku kemenakan dijunjung. “Saya selalu berkonsultasi pada paman sebelum memutuskan sesuatu. Dia mengarahkan saya untuk jalan di arah yang benar. Saya merasakan peran paman punya kekuatan. Setiap pencapaian saya, paman saya selalu ikut bahagia,” ungkapnya tulus. Nenek juga punya arti besar baginya.. “Beliau punya panti asuhan di Bukit Tinggi. Saran beliau yang tak pernah saya lupakan adalah serahkanlah semuanya pada Allah, dan jangan lupa menulis. Nenek selalu menulis surat pada saya dengan tulisan tangannya. Tulisannya itu sangat menghangatkan semangat saya, terutama saat saya berada di Inggris,”kisahnya.
Hidupnya seolah mengalir lancar. Tak ada cerita duka yang terlintas dari bibirnya. Ujarnya, “Masa buruk tak pernah saya rekam. Tak ada beban dalam menjalani kehidupan ini.” Bilapun bicara masa terberat, masa itu adalah saat ia melahirkan putri sulungnya di tengah ia dan suami menyelesaikan pendidikan doktoralnya yang dianggapnya sebagai masa tersusah di dunia. Ia tak bisa menitipkan anak, tidak ada pembantu, dan harus menyelesaikan tugas kuliah siang dan malam dengan dana beasiswa terbatas. Ia mengurus semuanya sendirian. Ia bawa bayinya ke kampus, bahkan ketemu profesor. Tak ada pilihan selain harus dijalani. Sesekali, ibunya menemani pada saat ia kerepotan.
Namun ia tak pernah mengeluh. Ada alasan di balik semua hal yang dijalani dengan ikhlas. Katanya, “Saya menunggu selama bertahun-tahun kehadiran bayi itu.” Ia melemparkan senyum dengan matanya yang berbinar-binar. “Tuhan baik, karena kita benar-benar dipersiapkan untuk menginginkan sesuatu itu dengan luar biasa. Sehingga ketika kita mendapatkan kesulitan pun, kita menerimanya dengan senang hati karena memiliki bayi adalah impian kami.” Seberat apapun yang dialami ia menikmati hal tersebut sebagai bagian dari perjuangan kehidupan. Kebahagiaan itu juga dinikmati ketika ia menjadi dosen.
“Kehidupan yang telah saya lalui mengajarkan satu hal penting. Saya membuktikan bahwa setiap langkah keberhasilan itu bisa direncanakan. Kuncinya kerja keras dan perjuangan tanpa batas. Saya saat ini adalah mimpi-mimpi masa kecil yang sudah terwujud,” ucapnya tanpa mengesankan kesombongan. Ia pun menyebutkan berbagai mimpi yang telah dilaluinya. Seperti tinggal di CERN, salah satu lembaga penelitian teknologi informasi bergengsi di dunia di Swiss, selama beberapa bulan; sebuah keinginan yang dipicu oleh novel Heidi. Pengukuhan guru besarnya dihadiri oleh BJ Habibie, idolanya waktu muda. Ia bisa berada di kantor United Nation di Jenewa saat terpilih dalam program UN Graduate Study Program, dan sempat magang di UN New York. Tentu masih banyak lagi. Uniknya, perjalanan hidupnya dipenuhi tantangan yang dirujuk dari bacaan masa kecilnya.
“Dulu saya juga ingin menjadi scientist dan menulis. Saya ingin seperti Kartini, Laura Ingals dan Marie Curie karena menuliskan catatan kehidupannya,” lagi-lagi ia menyebutkan sosok-sosok dari buku yang dibacanya. Jadi itukah mimpi yang akan segera diwujudkannya? Ia tersenyum. Senyum itu penuh arti. (Rustika Herlambang)
Stylist: Cempaka A. Foto: Jane Djuarahadi. Rias wajah: Arlene
Leave a Reply