Menanti Titik Balik
Ia adalah orang yang memandang optimis terhadap kehidupan. Berbagai belit kesulitan justru membuka pintu-pintu kesuksesan.
“Saya sedang menanti titik balik ke tiga,” Melli Darsa SH, LL,M (46) tersenyum. Ia telah menyelesaikan kisah hidupnya dalam waktu yang cukup panjang di sebuah siang yang seharusnya sudah bersibuk dengan berbagai kegiatan. Perbincangan yang awalnya terasa formal berakhir happy ending. Melli mulai lebih dikenal publik saat tahun 2010 di mana ia menjadi satu-satunya perempuan yang lolos sebagai finalis dalam pemilihan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia adalah pendiri Firma hukum Melli Darsa & Co (MDC) yang kini menjadi salah satu firma hukum terbaik di Indonesia.
“Saya ingin lebih memberikan kontribusi kembali atas apa yang saya dapatkan kepada negara melalui bentuk public service dalam waktu dekat ,” ujarnya dengan nada tegas dan penuh optimis. Inilah yang ia tunggu sebagai titik balik ke tiga dalam kehidupannya. Keikutsertaan dalam pemilihan Ketua KPK adalah salah satu jalannya. Meski belum berhasil, ia tak patah semangat. Beberapa rencana sudah disiapkan seperti sedang menjajaki kerja sama dengan pihak asing agar MDC lebih siap menghadapi globalisasi. Ia juga sedang menjalankan program doktornya di Beijing. “Untuk merencanakan segala sesuatunya, saya harus kokoh dalam segala-galanya termasuk agar kantor saya siap, sehingga saya bisa fokus untuk berbakti pada negara ” ungkapnya saat ditemui di kantornya yang mewah, nyaman, wangi, dan tertata indah.
Sesungguhnya tak mudah mengajaknya bicara panjang lebar tentang dirinya dan perjalanan kesuksesannya hingga sampai di sini. Perlu waktu dan kesabaran hingga ia ungkapkan sendiri segala kisah yang telah dilalui. Setiap markah selalu membawa catatan yang berarti. Ia menyebutnya, turning point (titik balik). Bila dulu ia merasa nestapa dengan peristiwa tersebut, kini ia merasa perlu berterima kasih pada berbagai lara yang berhasil dilewatinya. Mungkin ini yang disebut sebagai blessing in disguise, ia menyimpulkan.
Ia memulai cerita dari sebuah masa di mana ia merasa berada di puncak bahagia. Masa kecil yang amat menyenangkan; berpindah-pindah dari Jakarta, New York, Swiss, dan Amerika Serikat. Ayahnya, seorang diplomat, duta besar, dan Wakil Indonesia di kantor Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Swiss. Sebagai bungsu lima bersaudara, ia amat dekat dan dimanja ayahnya. “Ayah adalah contoh pegawai negeri yang baik. Bekerja keras luar biasa, dan tetap rendah hati,” kebanggaan tersirat dalam kata-kata. Ibunya seorang Ibu Rumah Tangga yang mau mendengar segala keluhnya. Melli kecil lebih meniru sang ayah: tak bisa diam dan suka mencari kesibukan. Setiap libur musim panas, ia magang di kantor United Nations (UN/PBB).
Segala keriangan itu terhempas manakala sang ayah, yang tengah menjabat sebagai Dubes di Swiss, meninggal dunia dalam usia 53 tahun. Kejadian mendadak ini sangat memukul kehidupan keluarga. Belum satupun anak-anaknya menyelesaikan kuliah. Kala itu Melli masih mengikuti pendidikan di Foreign Services (Hubungan Internasional), Georgetown University School of Foreign Service, Washington DC, Amerika. Seluruh keluarga harus kembali ke Indonesia, dan hidup dengan uang pensiun pegawai negeri yang tak akan pernah cukup membiayai kehidupan seperti sediakala. Kuliah Melli harus terhenti karena ketiadaan biaya.
“Saya tak bisa melihat Ibu saya sedih,” tutur Melli. Ia kemudian tergerak mencari penghasilan demi meringankan kehidupan keluarga, selain untuk mengubur kesedihan yang dialami. Setiba di Jakarta, ia langsung mencari pekerjaan di kantor PBB dengan bekal kemampuan bahasa dan sedikit pengetahuan tentang politik. Pekerjaan gagal didapatkan, namun seorang pria yang ditemui di kantor tersebut memberinya informasi adanya peluang di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta. Lembaga tersebut membutuhkan editor bahasa Inggris demi menyelesaikan proyek kerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), “Human Rights Forum”.
Melli berusia 18 tahun, belum pernah menulis, namun menyanggupi pekerjaan sebagai editor. “Saya yakin, niat baik akan berbuah baik,” ia mengungkapkan pandangan. Segala kritik dari para penulis dijadikan sebagai sebuah pelajaran. Selain mengasah kemampuan menulis, mengedit, pekerjaan itu membuka wawasannya tentang dunia hukum yang selama ini tak pernah ada dalam pikirannya. Tantangan yang ditawarkan dunia hukum membuat ia tertarik untuk mengambil pendidikan di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Persentuhan dengan LP3ES dan LBH memberi banyak pengalaman baru. Ia dapati kenyataan yang jauh berbeda dari pengalaman sebagai anak diplomat. Situasi Indonesia tidak “seindah” yang dibayangkan sebelumnya. Aktivitasnya di LBH dan LP3ES – LSM terbesar Indonesia masa Orde Baru yang banyak menerbitkan jurnal untuk referensi kalangan akademisi, mahasiswa, dan pejabat pemerintahan, mempertemukannya dengan banyak kalangan aktivis. Di antaranya Gus Dur, Yap Thiam Hien, Adnan Buyung Nasution, dan Goenawan Mohamad. Sebagai anak diplomat, kedekatan itu juga dipandang sangat “berani” dalam konteks masa Orde Baru itu. “Saya beruntung. Dalam awal perjalanan karir, saya banyak dikelilingi oleh tokoh-tokoh reformasi Indonesia,” ujar Melli yang kemudian menikah dengan salah satu aktivis hak asasi manusia.
Sambil menyelesaikan kuliah, ia masih melanjutkan pekerjaan di LBH Jakarta, sebelum magang di Amir Syamsuddin & Associates, dan tetap bekerja sebagai penerjemah. Ia selalu tertantang untuk menjelajah wilayah-wilayah baru dan memelajarinya dengan serius. “Kamu adalah orang yang bisa kelak menjadi partner saya,” Melli mengutip pandangan Amir, mengapresiasi kesungguhannya. Pembelajaran selama bersidang mengikuti Amir justru meyakinkannya bahwa dunia litigasi tidak sesuai dengan dirinya. Ia berharap bisa bekerja di corporate law firm dengan bekal kemampuan berbahasanya.
Ia kemudian bergabung di Makarim & Taira S, sebuah corporate and finance law firm terdepan di Indonesia. “Hidup saya selalu terencana. Saya selalu punya rencana 5 tahun, 10 tahun, dan sebagainya,”ujar Melli yang bekerja sangat keras demi mewujudkan rencana-rencana tersebut. Melihat prestasi kerja yang baik, atasannya, Nono Anwar Makarim menyarankannya untuk mengambil pendidikan hukum di Harvard Law School, Cambridge, Amerika Serikat. Dan ketika diterima di sekolah hukum bergengsi tersebut, ia dilanda dilema. Saat itu, ia baru saja melahirkan anak pertama, dan yang terpenting, tidak jadi memperoleh beasiswa.
Kendatipun tidak memiliki biaya, dengan berbagai pertimbangan, ia memilih terus melanjutkan kuliah. Ia sadar banyak orang menganggapnya terlalu ambisius, tapi ia yakin bahwa penentu masa depannya adalah dirinya sendiri. Kata-kata dari Prof. Dr. Charles Himawan, Guru Besar Ilmu Hukum pada FH-UI, membesarkan hati. “Ingat bahwa kamu tidak selfish sama sekali Kelak menjadi keuntungan besar bagimu dan keluargamu,” Melli mengutip kata-kata yang sangat berkesan itu. Ia mengumpulkan biaya kuliah dari uang tabungan dan meminjam dari teman-temannya. Namun, jangan ditanya rasa meninggalkan anak yang masih bayi dan pernah tidak mengenali ibunya. Dalam kondisi tertekan, ia bisa bertahan, dan menunjukkan kemampuan. Lulus kuliah di Harvard, ia menjadi Associate di law firm Wilmer, Cutler & Pickering, Washington. “Tahun ke dua, saya memboyong anak dan ibu saya ke Amerika.”
Sekembali ke Indonesia, ia bergabung di kantor yang memberikan apresiasi terbaik untuknya: Hadiputranto, Hadinoto, & Partners (HHP), Jakarta – Baker & McKenzie. Kariernya melesat cepat. Usianya masih muda saat memegang jabatan sebagai International Partner. Lagi-lagi, ia memutuskan untuk keluar saat merasa ada perbedaan prinsip. Pilihan ini jelas mengejutkan banyak pihak. Namun Melli yang selalu yakin pada setiap keputusannya itu berkata tegas, “Kita harus berani mengatakan bahwa terlepas kemapanan tempat tersebut bahwa mungkin itu bukan tempat terbaik buat kita dan saat itu, kita harus berani memutuskan, walaupun berat,” itulah peristiwa yang ia sebut sebagai titik balik ke dua dalam kehidupannya.
Konsekuensi pilihan ini tidak ringan manakala menyadari bahwa sulit menemukan kantor baru yang bisa menjalankan prinsip-prinsipnya. Maka tiada alternatif lain selain mendirikan kantor sendiri. Tanpa bakat dan pengalaman mendirikan usaha, ia mencari jalan untuk mewujudkan ambisinya. “Saya beli buku dari American Bar Association tentang membuka firma hukum, membaca, dan menerapkannya langsung,” ujarnya. Hanya perlu satu setengah bulan setelah keluar dari HHP, Melli sudah membuka kantor barunya: Melli Darsa & Co (MDC). Ia memang ekstrim pekerja keras, seperti diakuinya. Umurnya 36 tahun. Dengan reputasi dan pekerjaan yang selalu excellent, ia meyakini prospek bisnisnya. “Dalam law firm, work is very personal.” Saat itu, ia merasa sendiri.
“Saya tak pernah terpikir untuk gagal,”ujarnya percaya diri, sekaligus menguraikan sifat suka mendominasi dan suka mengatur yang cukup besar. Sejak awal, ia sudah menegaskan arah firmanya agar tetap pada jalur yang dikuasainya. Kendati kantor baru dan kecil, ia sama sekali tidak mau menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesialisasinya selama ini. Dengan segala strategi, ia berhasil menggaet klien-klien besar yang pernah menjadi mitranya. Usaha itu berhasil. Empat tahun kemudian, firma kecil itu menjadi salah satu firma terbaik di Indonesia. Ia terus menjaga kualitas kerjanya dengan sungguh-sungguh. Berbagai penghargaan internasional diterima kantornya dan dirinya sendiri.
“Saya bisa mengerjakan banyak dan saya bekerja keras sekali sampai beberapa tahun untuk bisa menjelaskan pada anak buah. Saya bukan orang yang bisa mengajar seperti guru, tapi cara saya menunjukkan bagaimana mengerjakan, dan menjadi role-model,” ujarnya. Ia tersenyum mengingat masa-masa ketika ia hanya hanya fokus kerja, tak senang basa-basi, buang waktu tidak produktif, tidak sempat memanjangkan rambut, ataupun memoles wajah. “Ibu saya sampai berkata, ‘kamu kerja begini untuk apa? Jangan sampai kamu seperti ayahmu’,”ujarnya.
“Saya tidak merasa sacrifice. Saya mengikuti kehidupan sebagai wanita modern dan saya juga tidak selalu memenangkan setiap pertandingan. Tapi pada akhirnya merasa bersyukur, saya menjadi apa yang saya inginkan,” ia menuturkan. Ia juga tak menampik kenyataan pahit yang pernah dialaminya, termasuk pada perkawinannya. Meski mengaku sempat tertekan, kini ia sudah bisa melewati semua dengan baik. “Untung ada ibu saya yang selalu mau menerima telepon saat saya menangis dalam stress,” ibu dua anak ini menyebut nama ibunya yang menjadi berkah terbesar dalam hidup. Satu hal terpenting baginya adalah: “saya harus bisa memberikan kebanggaan untuk dua anak saya.”
“Kebahagiaan saya adalah ketika saya bisa sibuk, ada sense of achievement, sense of purpose, tapi juga menikmati kemewahan dengan membeli sesuatu yang kita inginkan tanpa berpikir banyak,” ujarnya. Ia mengaku memiliki kebahagiaan dengan caranya sendiri. Bila orang lain bisa merasakan kebahagiaan saat duduk di pantai dan menikmati semilir angin, sebaliknya ia. Ia harus menyibukkan dirinya. Salah satunya adalah menuju Beijing setiap akhir pekan untuk menyelesaikan pendidikan doktoralnya. “Buat saya tidak berat. Waktu itu rasanya seperti karet. Ia bisa menyesuaikan diri asal kita disiplin dan bisa delegasi,” katanya tersenyum.
“Dulu saya serius banget. Rasanya sepeninggal ayah, hidup itu rasanya beban yang sangat berat. Namun sejujurnya, dalam beberapa tahun terakhir saya berusaha lebih baik sebagai orang untuk lebih rileks,” ia berujar. Pernyataan itu tampaknya tidak berlebihan. Setidaknya dalam wawancara siang itu, ia banyak melepaskan tawa melengking dengan cukup spontan. Ia kini sudah bisa berjarak dengan segala beban masa lalunya. Namun di tengah kenyamanan, ia sudah rindu menanti tantangan. Ia ingin membuat sejarah baru (lagi) dalam kehidupan. (Rustika Herlambang)
Stylist: Cempaka Asriani. Fotografer: Hakim satriyo. Busana & Aksesori: Max Mara. Tata rambut: Petersen wahyudi, w2 salon. Makeup: Eri Yu.
Leave a Reply