Kisah Sebuah Nama
Perjuangan ini bukan hanya untuk diri ataupun untuk negeri, melainkan untuk seseorang telah yang membentuk jiwa dan hatinya
Faisal Basri adalah sebuah kisah, tidak hanya sekadar sebuah nama. Simpulan pernyataan ini terasakan benar seusai ia menyelesaikan wawancaranya. Puzzle kehidupan yang diserakkan di atas meja perbincangan kian menemukan bentuknya. Perjalanan hidupnya tidak serta merta. Ada beban (baca: perjuangan) yang disandang, meski mungkin ia tak menyadari atau bahkan memikirkannya. Beban itu adalah nama. “Saya gunakan nama Faisal Basri, bukan untuk menghilangkan identitas, melainkan untuk ayah saya…,”ia berucap pelan. Sebuah gumpalan terlihat melintasi kerongkongan. Inilah sebuah perjuangan.
Pernyataan itu menjadi catatan pengantar untuk memahami sosok Faisal Basri. Selama ini, ia hanya dikenal karena prestasi-prestasinya sebagai analis ekonomi, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), aktivis, dan politisi yang dikenal memiliki integritas tinggi, namun tidak menyentuh perjalanan kehidupannya menjadi kini. Saat ini, ia mengajukan diri sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta dari jalur independen. Langkah ini menaburkan harapan masa depan Indonesia. Ia perjuangkan alternatif praktek melawan politik yang tidak sehat, dan mengembalikan tradisi politik yang bermula dari ide, kemauan melayani publik, yang lebih penting dari kesiapan biaya. Ia bangunkan semangat masyarakat untuk merebut hak politiknya, meski menyadari bahwa ia tidak berhadapan dengan persona semata, tapi sistem politik yang sudah menggurita.
“Perlawanan” tersebut dilakukan dengan cara yang simpati, bersih, demokratis, dan rela menempuh berbagai persyaratan yang tidak mudah: mengumpulkan hampir 500 ribu Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan surat dukungan rangkap dua yang ditandatangani. Terobosan besar yang ia lakukan adalah upaya penggalangan dana kampanye mandiri, terbuka, transparan. Kendati menyadari bahwa biaya kampanye supertinggi, ia meletakkan batas pemberian maksimal, sehingga diharapkan partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri dan memutus ketergantungan terhadap partai politik. Meski mengalami berbagai tekanan, ia selalu memompa semangat. “Kelelahan selalu terobati saat melihat antusiasme masyarakat. Bermacam-macam cara mereka mendukung saya. Saya merasa ada denyut yang menghentak-hentak,”ujarnya.
Di sebuah meja kayu panjang, di sela-sela diskusi dengan anak-anak muda, relawan, yang hadir di kediamannya: sebuah rumah dua setengah lantai di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta – yang sudah bukan lagi miliknya, ia bicara tentang keberlangsungan bangsa. Energinya meluap-luap. Suaranya yang serak-serak terdengar berapi-api bila bicara tentang kedzaliman berseling dengan suara gemericik air dari taman kecilnya. Ia memukul-mukulkan jari tangan ke meja pada setiap pernyataan yang ditegaskan. Sesekali sambil menghisap sigaret. Gaya bicaranya tak berbeda dengan analisis ekonominya yang tersebar di berbagai media lokal maupun internasional. Jernih, tajam, berbobot, kritis, dan berani melawan arus sekiranya menurutnya benar.
Bila ia selalu terlihat spontan saat berbicara tentang ide-idenya, tidak demikian saat bercerita tentang kehidupan pribadinya. Spontanitas itu hilang. Ia ekstrovert untuk pemikirannya, tapi introvert untuk masa lalunya. Jawaban yang diberikan amat lamban, lebih banyak diseling hisapan sigaret. “Saya dibesarkan oleh keluarga yang berkekurangan dan merasakan sendiri perlakuan terhadap keluarga miskin seperti kami,” tuturnya pelan. Dilahirkan di Bandung pada 6 November 1959, dengan nama Faisal Batubara, ia adalah sulung dari 4 bersaudara, dari pasangan Hasan Basri dan Saidah
“Ayah adalah orang biasa yang pekerjaanya ‘hit and run’,” ia mengisahkan. Sejak kecil, sang ayah sering meninggalkan keluarga selama berbulan-bulan untuk bekerja di luar kota dan berpindah-pindah. Di antara satu pekerjaan dan pekerjaan lain, ayahnya menganggur, bahkan pernah sampai 3 tahun. Untuk mencukupi periuk nasi, sesekali ayahnya menjual koleksi buku-buku Belanda. “Ayah adalah sosok yang hangat, selalu punya cara menyenangkan anaknya, seperti menonton bola. Saat menganggur, ia mengajak kami sholat Jumat di berbagai masjid, termasuk di masjid Istana,” ujar Faisal. “Percaya diri dan sekolah yang baik, hanya itu yang bisa mengangkat derajat kamu.” Pesan ini yang membuat ia tumbuh tanpa perasaan rendah diri.
Ia bersyukur memiliki ibu yang menerima keadaan apa adanya. “Saya ingat, waktu itu untuk membayar hutang ayah, mesin jahit kesayangan Mak diambil, dan Mak menangis,” ia mengisahkan kondisi masa kecilnya. Untunglah, ada saudara yang kemudian memberikan ganti mesin jahit baru. “Orang tua saya memang berasal dari keluarga besar dengan kondisi perekonomian berbeda satu sama lain,”tambahnya. Meski bukan orang berpunya, setiap ayahnya punya sedikit uang, selalu diberikan pada orang lain yang dianggap hidupnya lebih susah. Kebiasaan itu, ternyata, mengalir pada dirinya. “Sifat ayah persis seperti nenek saya, Fatimah Sjam, dan Adam Malik,” tuturnya, menyebut nama adik neneknya yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
“Perlakuan “istimewa” kepada yang papa merupakan cara Adam Malik mengajarkan kepada lingkungan dekatnya untuk lebih peduli kepada yang berkekurangan,” katanya. Lalu ketika ayahnya meninggal saat dia baru masuk kuliah, ia diajak beribadah umroh bersama rombongan Adam Malik saat mengikuti konferensi Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Arab Saudi. “Supaya kamu bisa mendoakan ayahmu,” Faisal mengutip kata-kata Adam Malik. Perilaku ayah, nenek, dan Adam Malik menyentuh perasaannya. Kepedulian pada masyarakat papa berakar dari pengalaman pribadinya.
Apakah ketertarikan pada dunia ekonomi awalnya merupakan represi dari kehidupannya selama ini? Tak ada penjelasan mengenainya, kecuali alasan bahwa ia terpikat pada perdebatan teori-teori pembangunan semisal dependensia dari jurnal Prisma yang dibacanya waktu SMA. Teori yang lahir untuk mewakili suara negara-negara terpinggirkan untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya, dan intelektual negara maju tersebut amat menantangnya. Pemikiran ekonom seperti Soemitro, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sritua Arif, Sjahrir, dan Dawam Rahardjo membawanya pada langkah pasti: FEUI. Meski untuk itu ia harus berjuang untuk mendapatkan beasiswa demi membayar uang kuliahnya. “Saya kesal ketika aplikasi beasiswa ditolak karena dianggap saudara Adam Malik. Tahun berikutnya baru dapat beasiswa.”
Saat memasuki bangku kuliah tahun 1978, suasana politik di Indonesia sedang berkecamuk. Perlawanan mahasiswa UI terhadap Orde Baru memuncak. Situasi ini segera saja menempatkan Faisal di berbagai aktivitas diskusi dan mengelola majalah kampus. Aktivitas ini terhenti manakala ia harus bekerja sebagai asisten peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI. Kemudian, ia selesaikan pendidikan S2-nya di Vanderbilt University, Nashville, Tenesse, Amerika Serikat tahun 1988. Aktivitasnya sebagai peneliti tak pernah berhenti, membuat ia selalu lekat dengan kehidupan masyarakat secara nyata.
Pertemuan dengan masyarakat membuat ia bisa meresapi kecemasan yang terjadi saat krisis moneter melanda negeri. Tahun 1997 telah memaksa akademisi ini turun dari menara gading. Ketika kata-kata dan tulisan sudah tak cukup lagi, ia mulai berorasi di panggung-panggung demontrasi. Sebagai informasi, ia adalah dosen yang pertama di UI yang berorasi pada tahun 1998 dan secara tegas menyatakan bahwa Soeharto sebagai sumber masalah. Persentuhannya pada dunia politik praktis terjadi sesudahnya, saat ia turut mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang menjadi cikal bakal Partai Amanat Nasional (PAN) pada awal reformasi 1998. “Dunia politik dan ekonomi itu senafas. Politik ekonomi dan ekonomi politik itu senafas. Dan saya kebetulan mengajarkan mata kuliah Ekonomi Politik bersama Pak Dorodjatun sejak matakuliah ini diperkenalkan,” mantan Sekretaris Jendral (Sekjen) PAN memberi argumentasi.
Hanya dua tahun ia bertahan sebagai politisi resmi di partai politik yang ia sendiri ikut membidaninya. Ia memandang masih belum cukup lapisan yang memungkinkan terjadinya perubahan itu. Sementara itu partainya mulai kehilangan roh untuk mengusung perubahan yang signifikan. Ia memilih mundur: hijrah keluar dari partai politik untuk tetap berpolitik. Ia lalu mendirikan Pergerakan Indonesia (PI), yakni sebuah organisasi terbuka, mandiri, yang berlandaskan pada penguatan kader melalui anak-anak muda sekaligus wadah pendidikan politik rakyat. Tak pernah ada penyesalan. “Ini adalah bagian dari perjalanan yang harus kita lewati.”
Struktur politik di Indonesia yang kian sumpek karena dikuasai oleh oligarki, membuat ia gerah. Sementara ia masih meyakini bahwa aktivisme itu harus bertransformasi merebut kekuasaan. Dengan kekuasaan, gagasan bisa diwujudkan dengan otoritas yang dimiliki. “Mewujudkan gagasan harus pakai partai baru, dan itu sangat mahal,” ungkap Faisal yang pernah mengajukan diri menjadi calon gubernur DKI tahun 2007 melalui partai lain. Saat itu ia dinilai kecakapannya bersama 4 kandidat lain dan mendapat nilai tinggi, namun yang dipilih justru kandidat lain. “Saya sudah melakukan segala sesuatunya melalui proses demokratik, dan saya sudah berusaha,” tuturnya kecewa. Ruang-ruang masuk menuju relung kekuasaan tertutup sudah, sampai terbit keputusan yang membolehkan calon mengajukan diri dari jalur independen. Melalui dukungan PI, ia memutuskan maju. “Kita maju sama-sama dengan komitmen penuh dari teman-teman. Terlalu egoistis apabila saya menolaknya,” ucapnya.
Perjuangan Faisal juga dilihat oleh sahabat-sahabatnya. “Republik kita harus punya orang-orang yang maju terus untuk orang banyak, “Goenawan Mohamad memberikan pendapatnya. “Bagi kami, politics is a sad duty. Masuk dalam dunia itu sebuah tugas, meski sebenarnya dilakukan dengan kesedihan. Karena dunia sekitar penuh ketidakadilan, dan harus ada yang mencoba menciptakan harapan. Meskipun hanya sebentar,” tambah Goenawan. Hal ini dirasakan benar oleh Faisal. Ia harus kehilangan privasi, berkorban lahir batin, dan meninggalkan seluruh zona kenyamanan. Yang terberat adalah kenyamanan pribadi. Ia merasa sering meninggalkan ketiga anak dan istrinya karena berbagai akvitasnya di berbagai daerah. “Saya berharap dengan kesempatan ini saya akan lebih banyak berada di Jakarta, bersama mereka.” Ia tersenyum. Lega.
“Ternyata saya juga tak romantis ya,” ungkapnya tiba-tiba, dan perasaan bersalah muncul belakangan. “Saya memang tidak punya keberanian untuk mengekspresikan diri. Saya tak punya banyak pengalaman pacaran, kecuali pada istri saya, Syahfitri Nasution, yang masih sepupu.Tapi saya senang membuat puisi,” katanya jujur. Beberapa waktu kemudian, ia mengirimkan beberapa puisinya. Berkisah tentang cinta. “Padahal saya ingin bisa sehangat Ayah..”
Ia terdiam beberapa saat. Kisah tentang ayahnya kembali membayangi, ketika banyak hal telah dilampaui. “Rasanya saya masih terus berhutang sama Bapak Ayah,” katanya kemudian. “Hutang” itu sebenarnya telah dibalas melalui peletakan nama ayahnya: Faisal Hasan Basri, yang kini disingkat Faisal Basri. Nama itu ia letakkan pertama kali ketika ia menulis untuk sebuah kolom di sebuah media nasional pada tahun 1980-an. “Saya menulis mengenai Reaganomics, dan saya cantumkan nama ayah saya Faisal Basri sejak itu. Semua ini saya lakukan untuk ayah…”
Hingga kini ia masih mencantumkan nama ayahnya, tentu tidaklah serta merta. Semoga jauh di atas sana, Ayah bisa merasakan balasan cinta dari putranya. (Rustika Herlambang)
Pengarah Gaya: Jo Elaine. Foto: Ifan Hartanto
Leave a Reply