Petualang Waktu
Ia ikuti segala peluang dan tawaran. Kehidupan baru ini menjadi sarana untuk terus menjelajahi rahasia waktu
Masa kini akan dimengerti apabila kita mengerti akan masa lalu. Masa depan adalah sebuah garis linear yang senantiasa terkait antara masa lalu dan masa kini. Pengalaman kesejarahan ini menjadi amat penting saat memahami Fadli Zon, budayawan, politisi, intelektual muda, pengusaha, dosen, sejarawan, dan mungkin masih banyak lagi. “Bukan berarti mau semua atau tidak fokus, namun bagi saya hari amat pendek. Saya harus mengisinya semaksimal mungkin dengan prestasi,”ujar Adi, nama akrab Fadli, yang ditemui di Fadli Zon Library, Jakarta, tepat pada hari ulang tahunnya ke-41: 1 Juni 2012.
Di ruang rapat lantai tiga yang dipenuhi dengan benda antik, lukisan, dan patung, ia perdengarkan lagu-lagu Indonesia masa 1950-1960an dari piringan hitam. Alunan lagu Di Wajahmu Kulihat Bulan dari Sam Saimun membuatnya bersenandung. “Seperti time travel. Membayangkan Indonesia yang molek, aman dan damai,” ujarnya tersenyum. Suasana ini mengikat hatinya, sehingga setelahnya pembicaraan terasa lebih santai, dan dilanjutkan di ruang kerjanya. Di sini, ia “ditemani” lukisan figur Tan Malaka, Raden Saleh, Mahatma Gandhi, sosok perempuan, dan keris Nogo Siluman (konon pemiliknya bisa menghilang!).
Fadli Zon memang bukan nama baru dalam jagad intelektual Indonesia. Kiprah dalam bidang sosial, budaya, dan politik sudah dijejakkan sejak usia relatif muda.
Dalam catatan pengantar kumpulan puisi Adi, Mimpi-Mimpi yang Kupelihara (Horison, 2010), budayawan Jamal D Rahman menyampaikan bahwa Adi adalah seorang aktivis yang ambil bagian dalam berbagai masalah sosial politik yang krusial di negeri ini, memimpin lebaga kajian dan penelitian, mendirikan partai politik, dan kini menjadi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Adi menulis beberapa buku politik dan sejarah, salah satunya Politik Huru Hara Mei 1998. “Politik adalah kewajiban. Orang baik-baik harus ikut politik, karena politik menentukan berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan bahkan kebudayaan. Kalau orang baik-baik hanya jadi penonton, maka politik akan dikuasai preman-preman politik.”
Sementara baginya pribadi, segala hal berkaitan dengan sastra dan sejarah adalah gairahnya. Ia menjadi redaktur majalah Horison sejak tahun 1993, membangun Fadli Zon Library di Jakarta dan Rumah Budaya Fadli Zon di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat. “Kalau kita tidak tahu masa lalu, bagaimana kita tahu hari ini? bila kita tidak tahu hari ini bagaimana kita melihat masa depan?,” ujarnya memberi alasan. Ia adalah kolektor benda-benda bersejarah seperti buku-buku tua masa Hindia Belanda, koran berbahasa Melayu pertama di Indonesia, keris kuno(jumlahnya mencapai 900), perangko, kain-kain adat kuno, koin jaman kerajaan Sriwijaya dan Aceh, piringan hitam, perhiasan kuno, hingga kacamata tokoh-tokoh pendiri negara. Saat ini, ia sedang menulis biografi Idris Sardi.
Kecintaan Adi pada budaya semestinya menurun dari ayahnya, Zonwir Hakam, seorang guru seni yang membuat sukses membuat kelompok Randai, teater khas Minangkabau yang mengkombinasikan antara tari, musik, lagu, drama, dan silat, sebelum pindah profesi sebagai manajer di sebuah hotel di Bogor. Ayahnya mengajarkan seni baca puisi padanya dengan sangat keras. Ia sendiri pembaca buku-buku sastra dan biografi sejak kecil, sehingga menumbuhkan bakat seni dan sisi-sisi imajinasi. Ibunya, seorang ibu rumah tangga, yang banyak mengirim doa untuk keberhasilannya. Masa kecilnya menyenangkan: selalu juara umum di sekolah, aktif di kegiatan pramuka, dan menulis puisi di majalah-majalah remaja.
Namun segala keriangan itu terhempas pada dua momen penting dalam kehidupannya. Februari 1986, ia mengalami kecelakaan hebat sepulang dari acara pramuka. Ia sempat dinyatakan koma. Kakinya patah. Sepanjang tiga bulan ia teronggok di ranjang. Ia khawatir tidak lagi duduk sebagai juara kelas. Dalam puisi-puisinya terasa benar bagaimana kecelakaan yang mendekatkan pada maut itu amat membuatnya tersiksa. Tidak beraktivitas adalah hukuman terberat baginya.
Saat kondisinya membaik, sang ayah mengantarkannya untuk kontrol kesehatan kaki dengan menaiki sepeda motor. Hari itu di bulan Juni 1986, sehari setelah ulang tahunnya ke lima belas. Dalam kehangatan mendekap sang ayah, sebuah dump truck menghantam keduanya hingga terlempar sejauh 11 meter. Ayahnya meninggal di tempat. Sementara ia adalah sebuah keajaiban. “Situasi di sekeliling sangat tidak memungkinkan saya bertahan,” ia berusaha menahan suaranya agar tetap datar. Lagi, ia diberi kesempatan. “Bagi saya, hidup saya ini sudah bonus,” ia terdiam.
Kepergian mendadak sontak mengubah seluruh keadaan keluarga. Mereka meninggalkan rumah di Bogor karena sudah tak ada lagi sumber kehidupan, kembali ke Jakarta. Kehidupannya kemudian dibantu oleh keluarga dan orang-orang yang tak pernah disangkanya. (Itu sebabnya, ia selalu merasa berhutang untuk berbuat hal yang sama untuk orang lain). Sejak itulah, ia menulis kolom di media-media nasional demi membiayai hidup. “Saya pikir menulis pada saat itu adalah bagian dari perjuangan hidup,” ungkap Adi, sulung dari 3 bersaudara, harus mencari beasiswa demi melanjutkan pendidikan.
Tahun-tahun setelah ayahnya meninggal adalah masa terberat. “Seluruh perjuangan ini menyakitkan”, ia menuturkan dengan suara yang bergetar. Ia menyebutkan ayahnya meninggal pada usia 41 tahun, persis dengan usianya saat ini, membuat pembicaraan lebih menyayat. “Dua pesan ayah, saya diharapkan bisa ikut program pertukaran pemuda ke Amerika seperti Taufiq Ismail, suami adik ibu saya, yang memberi kebanggaan pada keluarga. Yang kedua, saya menyelesaikan kuliah,” ungkapnya. Pesan ini memberi beban yang amat berat baginya.
Namun ia selalu percaya bahwa dari pikiran menjadi kata, kata menjadi perilaku, tindakan menjadi kebiasaan, kebiasaan menjadi karakter, dan karakter menjadi nasib. Ia fokus dan serius mengemban amanat ayahnya, sehingga berhasil lolos seleksi pertukaran pelajar ke Amerika Serikat di tahun 1989. Jendela dunianya mulai terbuka. “Pengalaman di Amerika banyak membentuk saya. Terisolasi di negeri orang membuat saya terbuka, mandiri, dan masa ini adalah masa terindah dalam kehidupan saya.”
Sejak itulah jalan seolah membentang untuknya. Ia meneruskan kuliah di jurusan Sastra Rusia, Universitas Indonesia. “Saya pernah memelajari salah satu negara adikuasa, maka saya ingin mempelajari negara adikuasa yang lain, yakni Uni Sovyet,” ujar Adi yang percaya bahwa sastra Rusia masihlah sastra terbaik di dunia. Tahun 1993, saat masih kuliah, ia ditarik sebagai redaktur di Horison, majalah sastra bergengsi Indonesia, bersama HB Jassin, Mochtar Lubis, dan masih banyak lagi. Ia bertanggung jawab urusan esai-esai sastra dan menulis catatan kebudayaan.
Prestasinya terus melambung tanpa henti. Setelah meraih penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi UI tahun 1994, dan peringkat tiga nasional, ia sering dikirim ke berbagai pertemuan mahasiswa tingkat dunia di berbagai negara. Ia juga dikenal sebagai aktivis kritis, pelopor awal demo mahasiswa, dan salah satu orang yang berpikiran bahwa tentara harus diajak dialog. Lulus kuliah ia masuk dalam politik praktis sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Utusan Golongan, dan menjadi salah satu anggota yang menggodog konsep Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ia mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB) tahun 1998, yang kemudian ditinggalkannya karena tidak lagi sesuai dengan konsep yang digariskannya.
Sementara jalan hidupnya sebagai pengusaha pun tak pernah ada dalam pikirannya. Semuanya mengalir begitu saja. “Saat itu saya dipercaya sebagai direktur sebuah perusahaan minyak. Awalnya kaget, namun saya berpikir, dia pun percaya bahwa saya bisa memimpin, masak saya tidak percaya pada diri sendiri,” ia menjelaskan awal pertemuannya dengan dunia bisnis. Hingga kini, Adi, lulusan master dari London School of Economic and Political Science (LSE) Inggris jurusan Studi pembangunan, duduk sebagai direksi di sebuah perusahaan kelapa sawit. Saat ini, ia menyelesaikan pendidikannya di jurusan Sejarah, Universitas Indonesia. Di kampus ini pula, ia menjadi dosen luar biasa.
“Tak ada yang saya tolak. Di mana ada peluang, saya selalu ambil, karena saya tak tahu di mana jalan hidup saya nantinya. Takdir. Saya tak tahu rahasia hidup ada di mana. Setiap lorong saya masuki, supaya saya bisa memaksimalkan hidup,” ia menjelaskan. “Prinsip saya Carpe Diem. Seize the day,” Itulah alasan mendasar di mana kini ia sudah dijejali dengan berbagai aktivitas, dan ia selalu memiliki waktu. Bila ditanya apa yang dicari dalam hidup ini, ia hanya menjawab. “Saya tidak mencari, saya hanya mengisi.”
Ketika mimpinya mewujud, ia melanjutkan kesukaannya yang lain: berziarah ke tempat bersejarah, khususnya makam tokoh. Kesukaan ini juga bercampur dengan pengetahuan sejarah yang dikuasai. “Saya sudah keliling dunia untuk mendatangi makam-makam. Mulai dari tokoh lokal seperti Ronggowarsito, sampai Leo Tolstoy, Fyodor Dostoyevsky, nabi-nabi, bahkan hingga imam mahdi. Saat mendatangi makamnya, saya seperti bisa menyerap energinya sekaligus diingatkan pada sosok-sosok orang yang sudah meninggalkan jejaknya di dunia. Dengan demikian selalu diingatkan untuk membuat jejak dalam kehidupan ini. ”
Lantas jejak perempuan seperti apa yang mampu menaklukkan hatinya? Adi tergagap, seolah tak siap. Ia menggaruk-garuk kepalanya, sembari mencari jawaban yang pasti. “Perempuan yang menarik hati saya harus menarik, cerdas, dan bisa mengikuti pola berpikir,” ujarnya. Lalu secepat kilat ia menceritakan film My Week with Marilyn (2011), yakni film tentang Marilyn Monroe, bintang dunia yang memiliki hari lahir sama dengannya. “Saya pikir, saya suka perempuan yang eksotik, otentik, dan orisinil,” ia tertawa. Adi adalah suami dari Khatarine Grace, perempuan yang ditemuinya pada sebuah organisasi yang diikutinya, dan menjadi bapak dari Shafa dan Zara.
Pada akhir pertemuan, di ruang kerjanya yang diisi dengan lukisan figur-figur ternama tersebut, ia sampaikan keinginan yang terus ingin diraih: mengabdi pada republik. Ia ingin membuat jejak. Seperti pengalaman lalu, ia berharap pikiran akan menunjukkan jalan. Namun ia juga percaya, kehidupan akan terus mengalir dan tak akan tahu arahnya akan berakhir. Dan jawabnya, seperti tertulis dalam salah satu puisinya: ” Aku terus berjalan, mencari rahasia perjalanan.” (Rustika Herlambang)
Foto: Mario Ardi untuk Mario Photographie Pengarah gaya: Aldi Indrajaya
terimakasih
Di satu sisi, beliau menyatakan: “Saya tidak mencari, saya hanya mengisi.” Namun disisi yang lain, beliau menulis dalam salah satu puisinya: “Aku terus berjalan, mencari rahasia perjalanan.” Apakah berarti beliau mengisi hidup dengan pencarian ???”
Sastra dan Sejarah : Dua dunia yang sangat mengagumkan dan indah.
https://alkisahomkos.wordpress.com/2015/09/29/fadli-zon-dan-kegagapan-pendidikan-kita/ Saya buat artikel tentang sifatnya yang skrg sangat memuakkan. Sedih sekali melihat latar belakangnya yang sebenarnya bagus.