Membuka Kotak Rahasia
Ia mengolah tekanan menjadi tantangan. Buah perjuangan selalu berbanding lurus dengan keberhasilan.
Pada sebuah senja, di bangku restoran Indonesia Palalada, Catharina Widjaja membuka kisah lama. Kisah yang mungkin saja sudah hampir terhapus dari ingatan, atau bahkan disembunyikan. Kala akhirnya ia membuka ‘kotak rahasia’ itu, lawan bicaranya seperti dibawa dalam lorong waktu dan perasaan luar biasa, meski dikisahkan dengan nada penuh kehati-hatian sehingga tak terasa ada unsur dramatis yang ingin ditonjolkan. Kesuksesan adalah sebuah perjalanan kehidupan yang teramat mahal dan panjang, kendati terasa cepat sekarang.
Cath, sapa akrabnya, adalah Direktur Gajah Tunggal (GT), produser ban terintegrasi terbesar di Asia Tenggara, sekaligus Managing Director di Alun-Alun Indonesia, retail produk Indonesia yang terkemuka. Ia adalah salah satu penerima penghargaan Perempuan Pemimpin Indonesia 2012, Kategori Perusahaan Publik, versi Ideku Group (Business Review, Cleopatra, dan Woman Review). Meski menduduki jabatan bergengsi, ia terkesan ramah dan rendah hati. Meski tegas, senyuman tak pernah lepas dari gayanya saat berbincang.
Perbincangan hingga ‘kotak rahasia’ tersebut sebenarnya berlangsung secara tak sengaja. Ia sepertinya membatasi segala hal yang sifatnya emosional dan personal masuk dalam ranah publik. Namun kisah lama tersebut merupakan pintu masuk kehidupannya kini, perjumpaan pertamanya dengan realitas kehidupan yang berawal dari kepercayaan bahwa masa depan cemerlang dapat diraih melalui pendidikan terbaik. Waktu itu tahun 1970-an. Ia membuktikan kebenarannya puluhan tahun kemudian, meski menambahkan klausul ‘tetapi..’.
Cath lahir 50 tahun lalu di Jakarta. Ia anak sulung dari dua bersaudara. Menikmati masa kecil di wilayah Tanah Abang. Ayahnya pengusaha, bundanya guru Matematika dan Bahasa Inggris SMP. “Ayah saya pengusaha biasa saja, bukan dari golongan itu (kaya raya, red.), namun sangat mendukung anaknya untuk mendapat pendidikan terbaik,”katanya. Masa itu, banyak orangtua mulai mengirimkan anaknya sekolah ke luar negeri, terutama ke Singapura. Ayahnya menawarkannya ke Inggris yang diterimanya dengan suka cita.
Saat ditanya ayahnya tentang harapannya sekolah di Inggris, pikiran spontannya mengatakan bahwa ia kelak ingin bekerja di sektor kesekretariatan. “Ayah berkomentar, satu-satunya komentar, masa jauh-jauh ke Inggris hanya mau jadi sekretaris..,”ia tertawa. Di usia 15 tahun, ia meninggalkan seluruh kepompong kenyamanannya menuju Inggris, tinggal di asrama susteran, dan membayangkan hari-hari yang bakal menyenangkan.
“Hari pertama, saya senang sekali. Hari ke dua, saya nangis-nangis,” katanya. Perbenturan pertama dengan dunia luar tidak mudah, terutama dalam kacamata remajanya. Ia menjadi orang Asia pertama yang ada di asrama. Teman-teman sekolah yang hampir tak pernah bertemu dengan sosok Asia menganggapnya ‘alien’. “Ya (saya) dikucilkan. Untungnya suster-susternya baik,” kata Cath yang akhirnya banyak berteman dengan anak non Inggris yang dikirim ke sekolah tersebut. “Saya menghargai peristiwa tersebut, dan menurut saya itulah pengalaman terbesar saya selama sekolah,” ujarnya cepat-cepat.
Beban berikutnya bahasa. “Kalau tak baik di bahasa, saya harus baik di segi lainnya. Pilihannya matematika. Prinsip saya, bahkan sampai sekarang, kamu akan melakukan dengan baik kalau kamu menyukainya,” katanya. Maka dunia angka-angka digeluti dengan ketelatenan. “Karena mengenal matematika, saya jadi jatuh cinta dengan angka,” ia tersenyum. Matematika adalah bagian dari survival. Di sini pula, ia ditempa untuk menjadi dewasa dengan cepat.
Lulus sekolah, ia sudah tahu tujuan berikutnya: Matematika, dan berharap kelak masuk dunia industri. Pendidikan ini dimulai di jurusan Mathematics, Statistic, and Computer Studies dari Leeds Polytechnic, lalu jurusan matematika di Sheffield Polytechnic, dan mengakhiri sekolahnya hingga jenjang master di Control Engineering dari Universitas Bradford, Inggris. Saat ia menikmati kehidupannya di Inggris selama sepuluh tahun terakhir, sang ayah memintanya pulang. Ia kembali dihinggapi rasa sedih. “Saya tak punya teman di Jakarta.”
Sesampai di Jakarta, ia sudah dihadang kenyataan baru. Mencari pekerjaan di sektor industri tak semudah yang dibayangkan, karena lebih banyak ditujukan untuk kaum pria. Ketika berada dalam puncak rasa kesal, di ujung rasa frustasi, ia berharap besar pada buku petunjuk telepon Jakarta Yellow Pages. Yang dituju, alamat bank-bank asing. Ia berpikir bahwa perusahaan yang menggunakan kemampuan matematika adalah industri perbankan, dan dengan segera mengirimkan CV.
Instingnya benar. Kantor pertamanya adalah Deutsche Bank AG, yang waktu itu masih bernama European Asian Bank. “Waktu wawancara pekerjaan saya ditanya, bisa menggunakan kalkulator? Hahaha,” ia diterima sebagai staf junior. Pekerjaan pertamanya: mengirimkan teleks, sebuah pekerjaan sekretariatan seperti yang pernah dibayangkan dulu – meski melamar dengan menggunakan ijazah masternya! “Saya tak keberatan melakukannya. Menjadi satu pengalaman juga bekerja mulai dari staf kirim teleks,” ujar Cath yang kemudian diangkat menjadi asisten di back office yang bertugas membantu kegiatan administrasi, hingga kemudian menjadi dealer mata uang asing.
Setelah dua tahun ia pindah ke Hong Kong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) selama 9 tahun dengan posisi terakhir sebagai Country Treasurer. Tanggung jawab pekerjaannya tidak main-main. Ia selalu berurusan dengan angka-angka yang jumlahnya fantastis dan ia harus pandai-pandai mengaturnya. “I love number. Saya suka dengan hal-hal yang sifatnya dinamis. Kuncinya hanya satu: disiplin terhadap apa yang kamu lakukan.”
Setelah 10 tahun tinggal di Inggris, lebih dari 10 tahun bekerja di perusahaan asing, timbul kesadaran pada dirinya untuk masuk dalam perusahaan lokal. Ia memilih Gajah Tunggal (GT), diterima sebagai investor relation. Saat itu tahun 1998, dan tiba-tiba Indonesia didera krisis moneter yang menghantam perusahaan yang baru saja dimasukinya. Dampak krisisnya luar biasa. Harga saham GT terpuruk ke nilai terendah hingga Rp. 25 ditambah belitan hutang akibat depresiasi. Itulah masa-masa terberat yang dialami sebagai profesional.
“Sebelumnya saya dari perusahaan multinasional, treasurer bank asing terbesar, sekarang tiba-tiba saya berubah menjadi konotasi orang yang berada dalam krisis. Betapa mudahnya perubahan terjadi. Dulu segalanya sudah tersedia, kini saya harus banyak melakukan penjelasan….,”ia mengisahkan. “Pekerjaan ini sangat menyita waktu, sehingga waktu untuk keluarga sangat sedikit, karena saya harus fokus,” ujarnya. Ia beruntung memiliki keluarganya yang bisa memahami. “Suami saya mendukung, tiga anak saya tak banyak tergantung.”
Dengan pengalaman di dunia perbankan dan finansial, ia diharapkan mampu menjelaskan kondisi yang membelit perusahaan pada media dan para investor. Badai itu kini berlalu. GT berhasil bertahan dan menjadi perusahaan ban terbesar Asia Tenggara. Kebangkitan perusahaan ini juga sebanding dengan peningkatan karier Cath, dari Asset Manager, Vice President Corporate Communication, dan akhirnya menduduki puncak sebagai Direktur sejak tahun 2004. “I do my work without politic. Saya adalah orang yang direct person, bila ada tugas ya saya lakukan secepatnya dan secara rapi.”
Namun cepat-cepat ia menanggapi. “Saya merasa bahwa saya tidak bisa kerja sendirian. I am not God, i am not a hero. Saya selalu menekankan bahwa tim itu penting sekali.” Hal lain yang dilakukan oleh Cath adalah perencanaan yang matang atas segala pekerjaannnya, dan mendidik orang lain agar suatu saat kelak bisa menggantikannya. “Saya kan sudah tidak muda lagi, kalau mereka sudah siap ya suatu hari saya akan meninggalkannya.” Regenerasi senantiasa menjadi pertimbangan.
Saat semuanya sudah kembali berjalan lancar, ia rindu mencoba pada hal lain. Itu sebabnya ia langsung jatuh cinta pada mimpi teman-teman perempuannya, di antaranya Dea Sudarman dan Pincky Sudarman, untuk memberikan suatu wadah untuk meningkatkan hasil kreativitas produk Indonesia. Inilah cikal bakal pendirian Alun-Alun Indonesia (AAI) lima tahun lalu, yang modalnya dibantu oleh Mitra Adi Perkasa (MAP), yang selama ini membawa label asing ke Indonesia
Keberuntungan menaungi. Keinginan bergabung di AAI didukung oleh dewan direksi di GT. Ia pun menerima posisi signifikan sebagai Managing Direktor di sini. Tidak mudah memang membagi dirinya dalam dua posisi signifikan, kendala waktu selalu ada. Meski demikian, hal yang ditandaskan adalah komitmen. Teknologi semakin mempermudah dan mendekatkan jarak. Kebetulan ia membuat tim-tim yang kuat di perusahaan-perusahaan tersebut. Apabila ada masalah, mereka bisa mengirimkan email. “Saya akan cepat membalasnya.”
Perjalanan di AAI juga penuh liku. Banyak persoalan yang memerlukan pemikiran dan kebijakan. Kendala pertama dari sumber dan suplai barang. Kultur para artisan yang masih industri rumahan dan terbatas pada segi modal seringkali tak memiliki sense of business. Untuk itu ia harus mendidik para pengrajin. Masalah ke dua adalah belum ada kesadaran dari para pembeli lokal. “Untungnya, dalam waktu empat tahun masalah ini sudah berkurang. Saya lihat anak-anak muda sudah mulai mencintai produknya sendiri. Ini sebuah sinyal bagus,” tutur Cath yang sudah dibayangi oleh ambisi berikutnya: menjadikan Alun-alun going global! “Tak hanya menjadi Alun-alun Indonesia, tapi Alun-Alun Asia. Itu cita-cita ke depan. Semoga ada pemerintah yang mendukung.”
Selesai? Tidak. Ia banyak beraktivitas di dunia sosial. “Saya ingin menyeimbangkan kehidupan,” tuturnya. Itu sebabnya namanya juga selalu ada dan menjadi ‘juru bicara’ aktivitas sosial. Di antaranya United in Diversity (UID), sebuah kegiatan sosial dalam upaya Indonesia damai, Yayasan Cinta Anak Bangsa – yang bergerak dalam bidang antinarkoba untuk remaja, Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia , dan bahkan menjadi ketua Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA) yang mendapatkan penghargaan dari International Labor Organization (ILO, organisasi buruh internasional). Ia pun tidak setengah-setengah. “Karena saya ingin melakukan hal yang sama tapi waktu saya terbatas. Kalau memang teman-teman saya melakukan kegiatan sosial yang baik untuk didukung, pasti saya akan bantu.”
Apakah segala pencapaian ini memberi kebanggan dan kebahagiaan? Ia tersenyum. Hal pertama yang diungkapkan adalah: ia tidak akan mengirim anaknya jauh-jauh di usia yang terlalu muda. Kepergian itu juga menyisakan persoalan hubungan dengan adik atau orangtuanya. “Saya tak bisa dekat dengan adik karena waktu pergi dia masih terlalu kecil. Sementara pada orangtua seharusnya saya memberikan waktu lebih banyak, namun saya sibuk. Orangtua saya yang tidak demanding terhadap saya ternyata justru membuat saya merasa lebih bersalah,”ia mengungkapkan perasaannya. Sementara untuk keluarga, kini ia lebih berdisiplin. Enam puluh persen untuk pekerjaan, empat puluh persen untuk keluarga. “Jangan pernah mengajak saya bicara bisnis pada saat akhir pekan, karena saya pasti menolaknya.” ujarnya.
Saat semua sudah kembali ke sedia kala, ia masih menyimpan keinginan lainnya. Tidak ingin pensiun di usia tua, demi menyeimbangkan hidup yang selama ini terlewatkan begitu saja. “Mumpung tenaga saya masih ada, dengan segala kemampuan dan pengalaman, saya ingin segera melakukan banyak hal untuk negeri ini,” ungkapnya. Senyuman kembali mengembang. Kotak rahasia kehidupan pun ditutup dengan sebuah harapan. (Rustika Herlambang)
Pengarah gaya: Aldi Indrajaya. Make up: Galuh Wulandari Fotografer: Grace Gunawan. Wardrobe: Nita Seno Adji Collection.
bagus artikelnya