Membuka Tempurung Butet Manurung
Garis hidupnya kini seperti menyusuri mimpi-mimpi masa kecilnya.
Saur Marlina ‘Butet’ Manurung, aktivis pendidikan, penyelamat kehidupan masa depan anak-anak dari suku-suku pedalaman di Indonesia, tampak tercenung. Matanya berkaca-kaca, tak bisa bicara. Pemandangan ini memang sedikit mengejutkan. Butet yang tadinya amat riang bercerita tentang keberaniannya, menikmati tinggal di hutan pedalaman bersama anak-anak rimba, tak takut melihat beruang, menginjak ular kobra, ternyata amat sensitif bila berkisah tentang seseorang yang saat ini sangat dirindukannya, Papa.
Hutan dan Papa adalah dua cinta yang saling tarik menarik sepanjang kehidupannya. “Aku tak tahu, apakah Papa akan membolehkan aku tinggal di hutan seperti sekarang ini, bila beliau masih ada..,” ujarnya dengan mata masih tergenang. “Tapi aku tahu pasti papaku akan bangga kalau kita menolong orang lain, seperti sejak dulu ia selalu bilang, “Pada saat memberi, kita sebenarnya sedang menerima”),” ia mempertanyakan – yang kemudian didapat jawaban yang tegas dari bundanya, Tiur Samosir, “Tak akan ada Butet Manurung yang kita kenal sekarang.” Padahal Butet sungguh menikmati kehidupannya kini, mewujudkan keinginan mendirikan sekolah rimba yang sejak kecil dibayangkannya. “Pekerjaan ideal buatku adalah yang menggunakan ketiganya: otak, otot dan juga hati. Jadi latar belakang pendidikanku terpakai (otak), bisa terus olah raga/petualangan juga di dalam hutan (otot), dan sambil menolong orang (hati),” ia tersenyum.
Empat puluh tahun lalu kebahagiaan keluarga dihadirkan dari kelahirannya. Bayi cantik, berkulit putih, berambut ikal, seperti anak indo, yang kemudian dinamakan Saur Marlina Manurung. Gadis kecil ini menjadi sulung dari empat bersaudara, satu-satunya perempuan, yang membuat ayahnya, Victor Manurung, begitu mencintai dan memanjakan dengan caranya sendiri. Lahir dan besar di Jakarta, kendati sempat mengecap udara Leuven saat mengikuti ayahnya bersekolah di sana di empat tahun pertama kehidupannya.
“Papaku sangat keras kepala, seperti aku. Mungkin itu sebabnya aku selalu berantem dengan papaku,”ucap gadis Batak ini tegas. Dalam pandangan Butet kecil, ayahnya overprotective. Ke mana pun pergi, ia harus menggunakan mobil dan supir. Ia sampai mengiba-iba pada supir untuk menurunkan di suatu tempat untuk bisa merasakan naik metromini sama teman-temannya. Segala sesuatu yang membahayakan atau membuat kotor tidak boleh dilakukan, semisal menyentuh tanah, atau bepergian tanpa sandal. Kegiatan ekstra kurikuler di sekolah dilarang apabila tanpa pengawasan.
Meski demikian, ayahnya selalu memanjakan keinginannya. Saat ia berkeinginan masuk sekolah atlet di Ragunan, ia diantarkan ayahnya. Waktu itu, ia memenangkan berbagai perlombaan lari jarak dekat tingkat propinsi DKI Jakarta. Lalu waktu terpikat pada sosok berdaya dengan tangan kekar milik petenis Gabriela Sabatini, ayahnya menyarankan untuk mengikuti kegiatan tenis di lingkungan kantor. Namun ia malah jatuh cinta pada kegiatan karate yang terletak di samping ruang tenis. Ia memilih karate, dan merahasiakannya hingga berbulan-bulan hingga ayahnya tahu dan memarahinya. Dalam pandangan sang ayah, karate adalah dunia keras, dan memiliki keahlian karate akan membuat anak perempuannya mudah berkelahi. Sejak kejadian itu, seluruh kegiatan ekstra kurikuler dihentikan.
Ia sama sekali tidak bisa mengerti pemikiran ayahnya. Setiap kali datang dengan keinginan, ayahnya selalu bilang tidak boleh. “Aku selalu bertanya kenapa? Papa menjawab karena aku masih kecil. Lalu kapan aku boleh? Kalau kamu sudah tamat SMA. Kata-kata itu yang selalu aku simpan,” ujarnya. “Aku memang sering datang pada Papa dengan keinginan yang aneh-aneh. Dulu aku bilang ingin masuk Katolik, karena menurutku keren, pakai rosario, seragam kotak-kotak yang bagus, dan setiap hari ada nama berdoa-nya,” ujarnya tertawa. Lalu ketika melihat film Indiana Jones, ia kembali berkata tegas pada ayahnya: aku ingin seperti dia. Jawab ayahnya,” Kita bicarakan keinginanmu delapan tahun lagi!.”
“Kata Papa, kalau aku belum cukup dewasa, aku tidak bisa membedakan mana yang salah dan benar, yang baik atau tidak. Papa takut aku salah bergaul, hancur. Kalau sekali aku hancur, aku tidak akan bisa kembali lagi. Yah akhirnya aku kadang nurut sama Papa, sambil menunggu waktu itu tiba,” ungkap Butet yang kemudian ikut les organ demi keinginan ayahnya untuk bisa memainkan organ di gereja. Belakangan ini, ia mulai memahami pemikiran ayahnya itu. Ayahnya berasal dari keluarga miskin di dekat danau Samosir yang berjuang dan besar di jalanan Jakarta, tapi terus melanjutkan pendidikan hingga mencapai posisi tinggi di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. “Pengalaman hidupnya sangat keras, sehingga ia tak rela anaknya mengalami hal yang sama dengan dirinya.”
Soal cita-cita pun merupakan hasil kompromi dengan ayahnya. “Ingin menjadi dokter di Papua!,” katanya. Menjadi dokter merupakan cita-cita yang diinginkan ayahnya untuk dirinya. “Aku ingin mengabdikan hidupku untuk menolong orang. Aku sangat terinspirasi Papa. Ia punya 14 anak asuh sepanjang kurun tahun 1977 (sejak kembali dari Leuven) hingga 1990 di akhir hidupnya, dan merasakan pening-peningnya saat memikirkan mereka. Tapi membayangkan senyuman mereka, tak ada satupun yang melebihi kebahagiaan itu,” ia tersenyum. “Waktu itu aku sudah tahu keinginanku selulus SMA nanti. Suatu saat, aku ingin tinggal di hutan,” tuturnya sambil membayangkan hidup bersama binatang-binatang yang -bahkan dalam pandangannya hingga kini- lucu-lucu dan baik-baik seperti dalam film kartun yang selalu ditontonnya.
Maka terkumpullah energi untuk menjadi seorang dokter. Saat ayahnya dirawat di rumah sakit karena penyakit jantung, Butet setiap hari menemani. Ia seringkali sengaja berlama-lama berada di depan Ruang Gawat Darurat RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Melihat dan merasakan suasana dalam kantor gawat darurat dalam kondisi nyata, penuh darah, tangisan keluarga, dan kesigapan dokter saat menyambut pasien-pasiennya. Tak jarang, dokter tersebut gagal menolong, dan mengatakan situasi pelik pada keluarga pasiennya, yang dengan sangat teliti diperhatikannya. Lama kelamaan, ia merasa tak mampu menjadi dokter. “Aku tak sanggup untuk mengatakan hal terburuk, dan membuat orang lain sedih.”
Keinginan ini semakin musnah tatkala ayahnya tidak berhasil diselamatkan. Butet sangat marah pada dokter karena tidak bisa menolong ayahnya. Situasi yang mendadak itu membuatnya sangat frustasi. Kehilangan daya hidup. Setiap hari menangis di pusara sang ayah. Sampai suatu kali, sahabat-sahabatnya menghibur dengan mengajaknya ke hutan – sesuatu yang menjadi obsesinya selama ini. Sang Ibu terpaksa mengijinkannya, dengan syarat, salah satu dari ketiga adik lelakinya harus menemani. Pertemuan dengan alam, hutan, menjadi obatnya, dan sejak itu cintanya tertambat di hutan.
Lulus sekolah, ia sudah tahu tujuan utama kuliahnya: jurusan Antropologi Universitas Indonesia. Tiga tahun kemudian, ia mengambil lagi kuliah di Sastra Indonesia. “Aku suka menulis, suka menulis puisi, cerpen, dan ingin bisa membuat novel. Papaku selalu membelikan aku diari sehingga aku belajar menulis dari diari,” katanya, lagi-lagi menyebut nama ayahnya. Lulus dari jurusan Antropologi, ia sempat bekerja di Lembaga Penelitian di kampusnya, lalu pernah mengikuti training untuk menemani biolog di Taman Nasional Ujung Kulon, tapi sepertinya tak seperti yang dibayangkannya.
“Aku ingin di hutan, dan ada menolong-nolongnya, tapi aku tak tahu pekerjaan seperti apa itu,” ia mengenang perjalanan mencari jati dirinya. Sampai akhirnya ia melamar di WARSI, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Jambi. “Saat berada di rimba Jambi, aku merasa, tempat ini adalah rumahku,” ungkap Butet yang ketika itu bekerja sebagai fasilitator pendidikan. Tugasnya menganalisa pendidikan untuk anak-anak di pedalaman. Ia jelas menerima tantangan untuk bisa tinggal dan beradaptasi di hutan yang ternyata jauh dari bayangan dan teori-teori yang didapatnya. Tak mudah mendekati kepala suku untuk diajak bicara, juga ibu-ibu penghuni pedalaman.
Sampai suatu kali ia tak sengaja berkenalan dengan anak-anak, dan jiwa petualangan masa kanak-kanaknya seperti tumbuh kembali. Enam bulan kemudian, ia baru berhasil mendekati anak-anak rimba. Mengajaknya bermain-main, dan Butet tak sungkan untuk seperti anak-anak rimba, makan yang sama, berpakaian yang sama, mengikuti gaya hidup di hutan, pandai memanjat pohon, membuat jerat binatang, bermain di sungai, dan masih banyak lagi kesukaan yang dirasakannya saat di hutan. “Sampai kawan-kawanku kadang berkata, aku ini seperti anak kecil yang terperangkap di tubuh orang dewasa,” Butet terbahak, mengingat jiwanya yang begitu dekat pada anak-anak rimba tersebut. Sejak itu, ia mulai mengajar anak rimba dengan pengetahuan sederhana: baca, tulis, hitung, demi “membekali” mereka dalam berinteraksi dengan dunia luar. Misalnya dalam berjual beli di pasar, surat perjanjian, mengakses hak-hak sebagai bagian dari warga negara (rumah sakit, bank, dll.).
Kerja keras itu berbuah manis. Dari satu dua murid, kini sudah ratusan murid yang telah diajarnya dari tahun 1999. Anak-anak didiknya pun kini menjadi lebih kritis, tak lagi mudah dibohongi oleh oknum-oknum tertentu di masa lalu. Kini, mereka sudah bisa mengupayakan diri melalui jejaring-nya, misalnya dengan melakukan dengar pendapat dengan DPR,” tutur Butet yang pernah mendapatkan Hero of Asia 2004 versi majalah Time.
Ia mengaku nyaman berada di tengah anak-anak rimba. “Aku selalu dilindungi anak-anak itu, makanya aku merasa tenang. Aku memang takut pergi ke hutan yang tak ada penduduknya, sepertinya tak ada yang akan melindungi aku,”katanya jujur. Rupanya pelindung itu menjadi sesuatu yang penting buatnya. Bila dulu ia banyak dilindungi ayahnya, maka “ayah baru” itu kini adalah anak-anak rimba yang diasuhnya. Ia berhasil mengikuti jejak ayahnya memiliki banyak anak asuh yang membuatnya bangga.
Setelah tiga tahun bergabung di Warsi, ia memutuskan keluar, dan membuat kegiatan sendiri. Ia memilih tinggal di hutan dan menjadi guru untuk anak-anak rimba, dan kemudian mendirikan Sokola di tahun 2004, sebuah sekolah untuk anak-anak pedalaman, bersama teman-temannya. Awalnya, ia mengeluarkan biaya sendiri. Namun hal itu tak berlangsung lama karena ia pun bangkrut, hingga sempat minta dikirimi ibunya ongkos bus supaya bisa merayakan natal bersama di Jakarta. Mulailah ia berpikir untuk mencari dana demi melanjutkan pendidikan untuk anak-anak rimba. Perlahan-lahan ia mulai bisa mendapatkan sponsor, mendirikan Sokola di beberapa tempat, walau terkadang beberapa Sokola terpaksa ditutup karena kekurangan dukungan dana. Ia tak pernah berhenti berusaha untuk bisa membangun dan memberi pendidikan pada anak-anak di pedalaman.
Beberapa waktu lalu, ia meluncurkan novel berjudul “Sokola Rimba” yang berasal dari catatan hariannya. Novel tersebut kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris “The Jungle School “. Penerbitan ini ternyata banyak membantu aktivitasnya dalam mengembangkan Sokola. Saat ini, ia terpaksa harus sering meninggalkan istananya di hutan Jambi demi mencari dana dan sponsor untuk pendidikan anak-anak didiknya. “Tak apalah aku harus sering ke kota demi mereka, meski sebenarnya tanpa petualangan hari-hariku akan menjadi membosankan,” ujar Butet. Meski jumlah manusia yang tinggal di pedalaman hanya 5% atau 375 juta dari total populasi dunia, namun orang-orang inilah pedalaman inilah yang menjaga hutan dan sumber-sumber kekayaan bumi terpenting. Itu sebabnya ia amat peduli. Apa yang dilakukannya tidak hanya menolong anak rimba untuk tetap melindungi hutannya, namun lebih jauh lagi, adalah melindungi bumi dan manusia lainnya. Satu hal kecil yang mungkin tak terlihat namun memberi kontribusi nyata bagi kesinambungan umat manusia, bahwa hutan adalah sumber oksigen dan air bersih
“Aku memang mudah panas bila melihat sesuatu tidak pada tempatnya, selain mudah iba,” ujarnya. Untuk itulah, ia perlu seorang lelaki kuat yang bisa menemaninya menikmati suasana hutan yang keras, sekaligus mendinginkan emosi-emosinya. Lelaki itu adalah Kelvin, lelaki teman kuliahnya di Australia, yang sedang menyelesaikan tesisnya di jurusan Sustainable Development. Ia tertawa saat mendapatkan pernyataan bahwa ia perlu mendinginkan dalam arti sesungguhnya, karena suaminya adalah seorang pemadam kebakaran.
Maka pemandangan pertemuan siang itu menjadi begitu berbeda. Butet lebih terlihat manja, dibanding hari-hari biasanya, merajuk, terasakan sepanjang pertemuan. Setiap bicara ia selalu menatap lembut mata suami. Sesekali menyentuh pipi suaminya. Tertawa, dan hampir selalu menerjemahkan pertanyaan dan jawaban, agar suaminya tidak merasa ditinggalkan. Kali ini, perempuan hutan itu terlihat begitu manis, dan amat romantis! (Rustika Herlambang)
Pengarah gaya: Karin Wijaya. Foto: Arseto
Gaya Butet pada saat pemotretan. Pasrah 🙂
luar biasa, perjuangan yg sangat membanggakan..
suatu hari,,, saya akan seperti anda.. pasti!
oke mantab ito.. lanjutkan..
salut! merinding dan setengah terhaur bacanya.. sementara saya cuma bsa bicara tanpa aksi, beliau tanpa banyak bicara melakukan sesuatu yang besar bagi bangsa dan alam ini.. terima kasih :’)
Antro unpad..bukan unindo
woww… speechless… terharu,, menitikkan airmata… what an amazing woman!! very inspiring.. may God continues to bless your service and give you good health and protection.