Jejak Masa Depan
Dalam kehidupan personal yang amat linier, ia perlu wadah untuk mengembangkan keliaran ide dan gagasan-gagasannya
Rezal Kusumaatmadja benar-benar membawa hawa segar. Pandangan bahwa lingkungan dan sosial akan menjadi bagian integral dari sebuah bisnis akhirnya terbuktikan. Salah satu terobosan terbesar yang dilakukan adalah Carbon Trading (perdagangan karbon) dan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), di mana ia berhasil mengubah pola pikir proyek konservasi hutan yang biasanya dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah dan bersifat non-profit, menjadi sebuah bisnis besar, profesional, dan tentu saja berorientasi profit. Prestasi itu menghantarkannya sebagai finalis Ernst and Young Social Entrepreneur Award tahun 2010.
Dalam berbagai forum lingkungan internasional, Rezal sering diminta tampil sebagai pembicara. Misalnya saja di UN Forum on Forest (UNFF) dan Pasar Karbon Asia. Ia juga berdiri sebagai anggota komite standar internasional untuk REDD + Social and Environmental Standards (SES) selain menjadi anggota dewan penasehat di beberapa lembaga internasional. Saat ini, bersama dengan Dharsono Hartono, teman kuliahnya di Cornell, ia memimpin Proyek Konservasi Gambut Katingan di Kalimantan Tengah, yakni proyek restorasi ekosistem seluas 200 ribu hektar hutan gambut. Proyek konservasi lingkungan swasta terbesar di Indonesia ini mendapat sorotan dunia internasional karena wilayah konservasinya mencapai 3 kali lipat luas wilayah Singapura.
Pada sebuah pertemuan di Jakarta, ia memulai pembicaraan mengenai aktivitasnya dengan bahasa yang sederhana, meski yang dibicarakan adalah persoalan serius seperti gas rumah kaca, emisi karbon, hingga perdagangan karbon. “Pemanasan global terjadi ketika konsentrasi gas rumah kaca membuat panas terperangkap dalam atmosfir, sering disebut sebagai greenhouse effect. Karena panas bumi lebih panas dari sewajarnya maka akan terjadi perubahan iklim yang menyebabkan cuaca tidak teratur dan air laut naik. Apabila dibiarkan, maka pada pada tahun 2030 suhu bumi akan naik 6 derajat dari suhu normal,” ujarnya, menjelaskan pentingnya REDD, sebagai sebuah kegiatan untuk mengurangi dampak global tersebut, hingga tercetuslah ide perdagangan karbon.
Perdagangan karbon diciptakan dari hasil konservasi hutan gambut sehingga mampu menurunkan tingkat emisi karbon, yang nilainya dihitung oleh sebuah badan independent (Verified Carbon Standard). Ia menjelaskan,“Di LSM, mereka bilang mau menyelamatkan hutan, ini proposal, dan dapat dana. Kalau yang saya lakukan terbalik. Saya mau menyelamatkan hutan, saya bekerja dahulu hingga ada hasilnya, kemudian (hasil kerja) diverifikasi oleh sebuah badan independent, mendapat sertifikat berapa jumlah karbon, baru saya bisa menjual kerja pada negara lain dan saya mendapatkan keuntungan (uang).” Proses perdagangan karbon berlaku seperti sebuah saham perusahaan, nilainya fluktuatif dan dilihat kinerjanya. Ini adalah sebuah bisnis jangka panjang dan diperlukan kesabaran ekstra. Tapi anehnya, justru ia menikmatinya.
“Kemungkinan besar pilihan saya pada bidang ini dipengaruhi oleh bagaimana saya dibesarkan di keluarga,” ia mengurai masa lalunya. Sejak kecil, ia dididik untuk menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Ia juga diajarkan untuk mengenal bangsa ini dengan melakukan perjalanan keliling Indonesia dan berdiskusi dengan banyak orang tentang bagaimana membuat keadaan menjadi lebih baik. Yang paling penting, ujarnya, orang tuanya menanamkan satu prinsip bahwa ia tidak perlu takut untuk berbeda dengan kebanyakan.
Kedua orang tuanya terus disebut Rezal dalam mengisahkan perjalanan kehidupannya. Ia adalah putra pertama dari empat bersaudara. Ayahnya, Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Menteri Perikanan dan Kelautan dari masa 3 Presiden yang berbeda. Sementara ibunya, (alm) Nini Maramis, seorang ahli tata kota.
Suasana keluarga cukup intelektual dan menghargai perbedaan. Ayahnya muslim, Ibunya Kristen. Ia dibesarkan di antara 4000 koleksi buku, meja percakapan, dan tamu-tamu yang mempedulikan pengetahuan, hangat, bersahabat, dan saling memberi. “Setiap pagi dan malam selalu ada “dinner conversation” di meja makan bundar. “Pagi bicara ide, malam bicara kegiatan yang dilakukan sehari itu. Di meja makan itulah terlihat Rezal punya jiwa petualang, dan petualang ide,” ujar Sarwono. Sepanjang masa muda, Rezal sudah berkeliling berbagai pulau di Indonesia melalui perjalanan laut dan darat, sempat tinggal di Papua di rumah misionaris di kampung terpencil. “Yang saya dapat adalah sensitivitas.”
“Sejak kecil saya sudah berpikir menjadi urban planner. Pekerjaan Ibu saya sangat menginspirasi,”selulus SMA di Jakarta, Rezal langsung menuju Amerika Serikat untuk melanjutkan pendidikannya di Cornell University dan masternya di University of Hawaii, di bidang Urban and Regional Planning. Ia kembali ke Indonesia pada tahun 1997 dan mendirikan Yayasan Puter, yakni sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat terhadap pengembangan sumberdaya alam. Aktivitas ini menjadi kariernya yang pertama yang masih berlangsung hingga kini. Tahun 1999, ia kembali ke Hawaii, dan bergabung di Marine Aquarium Council (MAC), yakni sebuah lembaga yang bergerak dalam sertifikasi lingkungan di bidang perikanan dan kelautan (untuk menjaga ekosistem laut dan perdagangan akuarium laut).
Enam tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia dan meninggalkan posisinya sebagai Direktur Asia Pacific di MAC. Bali dipilih sebagai tempat tinggal untuk kenyamanan kehidupan berkeluarga. “Saya ingin memperkaya pengalaman yang selama ini berada di dunia LSM dengan melihat peluang di sektor swasta,”ucapnya sembari menyebut Starling Resources yang didirikan bersama rekannya John Claussen. Starling Resources adalah sebuah kantor konsultan (consulting firm) yang bergerak dalam bidang sustainability.
Diperlukan usaha luar biasa saat mengembangkan bisnisnya. Pemahaman tentang isu lingkungan dan sosial di sektor swasta belum menjadi kebutuhan. Tahun-tahun pertama ia harus meyakinkan klien bahwa memperhatikan isu lingkungan dan sosial adalah good business practice yang mendatangkan keuntungan jangka panjang. Namun itu tidak mudah. “Saya sering merasa down ketika menemukan banyak perusahaan yang berorientasi pada keuntungan cepat dan melihat isu lingkungan dan sosial semata dari sudut pandang public relation dan bukan dari sisi strategis bisnis yang menyeluruh,”ucapnya. Sepanjang waktu ia memompa semangat dengan berkeyakinan bahwa paradigma bisnis akan berubah dalam waktu dekat.
“Proyek-proyek eksperimen ini benar- benar menguras tabungan pribadi saya. Kalau gagal, saya benar-benar kehilangan tabungan saya…,”ujarnya sedih. Obsesinya hanya satu: menciptakan contoh kongkret di mana aspek lingkungan, sosial, dan bisnis merupakan hal yang saling mendukung dan bukan hal yang bertentangan. Konsep tersebut mungkin bisa dipahami secara abstrak, namun selama contoh implementasi konkret di lapangan masih sedikit, pelaku akan kembali ke paradigma lama dengan mengambil keuntungan sesaat dengan mengorbankan keberlanjutan jangka panjang.
Untuk itulah ia perlu didampingi oleh seorang yang benar mengerti dirinya: Amy Cardamone. “Saya jatuh cinta karena she is beautiful, caring and passionate,” tuturnya tentang perempuan Amerika keturunan Italian-Irish yang dengan latar belakang pendidikan di bidang kesehatan masyarakat yang kini menjadi volunteer di East Bali Poverty Project. “Cara dia berbagi ide, mimpi, dan emosi sangat menarik,” tulis Amy. Kini, pasangan itu tinggal bersama Ismael dan Kiran, dua anak adopsinya dari keturunan Hawaii dan Nusa Tenggara Barat, yang selalu disapanya,”Hi, my adopted baby…”.
Ketenangan dan dukungan keluarga telah menyelamatkan kekhawatirannya. Seperti disampaikan ayahnya, kesuksesan tidak linear. Dan hal itu terbukti. Perusahaannya terus bangkit, ide konservasi sudah mulai dilirik. Brer Adams - manajer senior Macquarie Global Investment yang mengangani REDD - pada Forbes Indonesia mengatakan,” Kami senang bekerjasama dengan proyek Katingan yang bertujuan untuk menjadi contoh terkemuka dunia bagaimana hutan dapat dipertahankan dengan menggunakan carbon finance.” Klien Starling lainnya antara lain PT Rimba Makmur Utama sebagai Project Developer, Clinton Climate Initiative dalam pengembangan metodologi perhitungan karbon, dan Marubeni Corporation. “Katingan Project dipilih menjadi bagian dari studi kelayakan REDD untuk mekanisme bilateral offset Jepang,”tambah Rezal.
“Sekarang Starling sudah merger dengan Mazars, sebuah perusahaan internasional dari Perancis. Saya sangat gembira. Ini berarti apa yang saya lakukan selama ini telah menjadi satu tren masa depan. Merger juga membuktikan bahwa isu lingkungan dan sosial menjadi isu arus utama di kalangan bisnis,” katanya. Ia sudah bisa tersenyum. Kerja kerasnya meraih hasil yang diinginkan. Bila ia semakin agresif berkampanye tentang penyelamatan bumi, secara tidak langsung, ia tengah berbicara masa depan bisnisnya. Sebab keberlanjutan bumi adalah keberlanjutan dirinya sendiri. (Rustika Herlambang)
Stylist: Jo Elaine. Lokasi: Casa Restaurant. Fotografer: Advan Matthew
Leave a Reply