Bukan Sekadar Penjaga Malam
Akankah ia mampu memberi kontribusi atas segala hal yang disandangnya? Pertanyaan itulah yang terus mengisi dan memotivasi perjalanan hidupnya kini.
Waktu belum menunjukkan pukul delapan pagi. Direktur Jendral Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM), Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, Ph.D (55) sudah duduk di ruang kerja. Di atas meja, setumpuk laporan dibaca dengan detail sehingga tugasnya untuk memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan HAM bisa dilaksanakan dengan baik. “Ayahku tentara. Sejak kecil saya dididik disiplin, bangun pagi, memulai kerja pagi,” Guru Besar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), yang juga doktor pertama di bidang Criminal Justice di Indonesia, memulai pembicaraan. Wajahnya segar, nada suaranya riang.
Belakangan ini aktivitas Tuti, nama panggilan Harkristuti, meningkat tajam. Persoalan HAM sedang banyak dibicarakan, mulai dari kasus besar seperti Mesuji, Bima, hingga perempuan yang tidak bisa menimang bayinya karena tak sanggup membayar biaya persalinan. Khususnya terhadap kasus-kasus konflik yang bernuansa kekerasan amat meresahkan pikirannya. “Saya baru menyadari dampak yang luar biasa dari sebuah kasus kekerasan ketika diwawancarai Los Angeles Time akhir tahun 1990-an. Ternyata dunia internasional melihat kita sebagai suatu bangsa yang tidak punya hati nurani. Itu sebabnya, kita tidak boleh anggap kecil sebuah kasus, meski yang terluka hanya satu orang.”
Hal itu menjadi fokus utama Tuti yang kini duduk sebagai salah satu petinggi negara yang bergerak dalam bidang HAM. Tugasnya melakukan sosialisi ke pemerintah daerah dan aparat untuk selalu melakukan penegakan hukum dengan orientasi pada HAM. Hal ini tidak selalu mudah dilakukan mengingat wacana HAM itu sendiri baru dimulai sembilan tahun lalu. Ia mendirikan Lembaga Kajian HAM Universitas Indonesia, dan duduk sebagai ketua.
Menjadi birokrat bukan murni keinginan Tuti, meski ayahnya pernah menyarankan menjadi pegawai negeri. “Kamu sebaiknya jadi PNS saja, karena suka melawan,”ia mengutip sindiran ayahnya sambil tertawa. Masa kecilnya sangat menyenangkan. Ia tumbuh sebagai anak ke tiga dari lima bersaudara keluarga tentara biasa yang puluhan kali berpindah-pindah tempat tinggal. Ibunya guru. Orang tuanya amat menekankan konsep guyub (rukun dalam bersaudara) dan falsafah hidup Jawa. Bila salah satu saudara melakukan kenakalan, maka keempat saudara harus ikut bertanggung jawab. “Walau bertengkar, tetap saja dia itu saudaramu. Sedulur kuwi ora iso dituku,” ia mengutip kata-kata ayahnya yang berarti saudara tidak bisa dibeli. Itu sebabnya, ia terbiasa untuk tidak melakukan kesalahan agar tidak menyebabkan saudara-saudara yang lain dimarahi.
“Waktu dulu, sore-sore Papa main gitar, Mama menyanyi, dan kami berkumpul sambil minum teh dan makan pisang goreng panas. Papa bilang, ‘inilah Nduk yang disebut hidup layak.’,”ia mengenang pelajaran kehidupan yang amat menyentuh. Menikmati hidup dalam kesederhanaan dan guyub rukun. “Bapak hanya menyarankan agar kami tidak mengikuti jejak menjadi tentara, karena dianggap kurang mampu memberi kehidupan lebih baik.”
Ia mengaku hidupnya mengalir seperti air. Tak pernah punya cita-cita. Guru sekolahnya mendukung untuk masuk Fakultas Sastra karena kemampuan bahasa Inggris, Perancis, dan Sansekerta. Namun pengalaman menjadi hakim pada saat perploncoan di SMA membuat ia berpikir sederhana: ”Lucu juga ya jadi hakim.” Itulah alasan ia memasuki Fakultas Hukum UI. Meski demikian, hal yang awalnya disebut ‘lucu’ berubah menjadi teror. “Setelah kuliah, saya tak mau jadi hakim, karena satu kaki di kuburan satu kaki di neraka,”katanya. Menjadi hakim ibarat menempatkan diri menjadi Tuhan. Memutuskan, apakah seseorang dihukum mati atau penjara. Sebuah keputusan yang memiliki dampak untuk keluarga mereka. “Berat sekali. Saya tidak cukup punya keberanian,”ucapnya. Ia lantas memilih menjadi dosen di UI yang dianggap akan memberi manfaat bagi banyak orang.
Namun ia punya keberanian yang lain. “Pidana, kejahatan, sering dianggap sebagai bukan dunia perempuan. Mungkin karena ini saya justru memasuki wilayah ini, ha ha ha,”ia yang menamatkan pendidikan S2 Hukum Pidana di UI ini tertawa. Lalu menjawab serius, “Saya tertarik karena pidana amat dinamis. Praktek dalam ber-acara membuat orang harus berpikir keras apa yang harus disampaikan, jaksa menanyakan apa, pengacara membelanya seperti apa. Banyak pertanyaan yang terus menerus ada.”
Namun rupanya, semakin banyak pengetahuan semakin tinggi rasa keingintahuan. Setelah mengikuti Summer Course di Georgetown University Law Center, Washington DC, Amerika Serikat (1985), ia mengambil pendidikan master dan doktoral di Sam Houston State University, Huntsville, Texas, Amerika Serikat (1991). Bidang yang dipilih Criminal Justice, dan menjadikannya doktor Criminal Justice pertama di Indonesia. Pada titik inilah ia banyak berurusan dengan pemikiran tentang HAM, sesuatu yang membawanya pada kariernya kini.
“Bidang ini mengasyikkan. Kita bisa belajar tentang manusia. Human behavior is unpredictable. Selalu ada pertanyaan: mengapa, mengapa, dan mengapa. Semua itu membuat saya belajar lebih banyak tentang manusia dari kehidupan,” tuturnya sambil mengungkit salah satu risetnya tentang pelecehan anak yang rupanya sering datang justru dari orang terhormat dan dipercaya, seperti guru atau kyai. Riset yang dilakukannya banyak berkaitan dengan sistem peradilan pidana, penology, viktimologi, human trafficking, perempuan, dan anak.
“Pada saat Ibu belum menjabat menjadi Dirjen, beliau sangat dikenal media karena pikiran-pikiran kritisnya, dan banyak dikutip media. Ia dikenal berpihak pada korban dan ia banyak mengedepankan hak-hak wanita,” Prof. Hikmahanto Juwana,S.H. LL.M, Ph.D, koleganya di UI, dan pengamat hukum internasional, berujar. Karena itulah Hikmahanto membujuk Tuti untuk mengambil gelar Guru Besar (Profesor), 13 tahun setelah menyelesaikan doktoralnya. “Bukan menolak, saya punya kesadaran bahwa gelar professor harus datang dengan kemampuan, pengetahuan, kematangan, pengalaman, dan wisdom,”Tuti menanggapi.
Duduk di posisi wakil negara seperti sekarang ini memang tidak mudah baginya yang selalu kritis dan “tidak mau diatur”. Ia khawatir hal ini akan memerangkap dirinya. “Pilihan saya menolak bukan karena takut sukses, melainkan, apakah saya bisa memberikan kontribusi ke dalam birokrasi?,”tuturnya gundah. Itu sebabnya, ketika tiba-tiba mendapat SK Presiden untuk menduduki jabatan sebagai Dirjen HAM, terbersit untuk menolak.
“Malam itu, saya menghubungi Prof. Mardjono Reksodiputro, Ketua Studi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana UI yang banyak memengaruhi pemikiran saya, dan saya dimarahin. ‘Berani benar dengan Presiden. Dia itu Presiden kita, mengapa mengatakan tidak?’ dan dengan berat hati saya menerima jabatan itu,”ujarnya jujur. Ia kemudian merasa bersyukur. Pada pelantikan, Rektor UI hadir, teman-teman dan keluarga mendukungnya. Hal ini menjadi penguat semangat untuk menerima jabatan, tanpa harus meninggalkan aktivitas sebagai dosen di UI dan berbagai universitas negeri lain. “Kita perlu banyak perempuan sebagai pengambil keputusan,”lanjut Ketua Program Doktoral FHUI yang pernah running dalam pemilihan Rektor UI sepuluh tahun lalu.
Pernah didemo? Ia tersenyum, mengisahkan ketika ia menolak menjadi pembela salah satu mahasiswa yang kasusnya diangkat pengadilan karena menabrak polisi. “Sudah ada Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum yang bisa membantu. Dan saya mengajarkan hukum pidana, di mana mahasiswa tidak boleh melakukan tindak kriminalitas. Menabrak itu kriminal. Sebagai dosen saya kecewa karena mereka melakukan pelanggaran,” ujar Tuti yang waktu itu dianggap tidak berpihak pada mahasiswa. Ia tak hanya tegas pada mahasiswa, pada bekas muridnya yang kini sudah menjadi jaksa, hakim, atau menteri bila dianggapnya salah pun ia pasti akan menegurnya. “Saya merasa bertanggung jawab.”
“Saya harus membatasi diri di sini, tidak seperti dulu,”katanya tiba-tiba. Hal itu termasuk tidak mau memberi tanggapan atas pendapat pimpinan yang berseberangan dengan pemikirannya – sesuatu yang wajar dilakukan pada saat diskusi di dalam kelas. Posisi ini juga pernah menempatkannya berada dalam posisi dilematis karena ia tidak biasa bersikap diam bila ada hal yang kurang beres. “Sedikit sekali yang bisa kita lakukan. Tapi kita lakukan yang bisa kita lakukan secara optimal.” Ia pun mengaku berhasil melewati semua hal dengan baik, meski berada di kementerian yang sama dengan menteri yang berbeda: Hamid Awaluddin, Patrialis Akbar, dan kini Amir Syamsudin, yang pernah menjadi muridnya di program Doktor.
Godaan material juga tidak jarang mengganggunya. Ia pernah menjadi wakil ketua panitia pemilihan untuk Komisis Ombudsman, Ketua Panitia seleksi Komisi Yudisial, ketua tim legal draft untuk merevisi UU Pengadilan anak, dan masih banyak lagi. “Tapi karena saya mengajar Tindak Pidana Korupsi dan hargailah HAM, ya itu tidak mungkin akan saya lakukan,”katanya sembari menyebut mobil Kijang tahun 1997 yang dicat ulang miliknya. Urip sakmadyo, hidup cukup, menjadi pegangan hidup. Ia merasa sudah mendapatkannya. Di kantor pun ia menikmatinya. Seperti terlihat pada sepanjang wawancara dan pemotretan siang itu. Ia tampak begitu riang. “Ayo panggil Direktur-Direktur.. lihat ini Bu Dirjen lagi dandan!” dan begitulah suasana menjadi begitu ramai. Keakraban dan kekompakan itu sangat terasa. Ia membaya suasana guyub di lingkungan kerjanya.
Di luar itu, ia juga sedang belajar menari Chacha dan Salsa – hal yang beberapa kali dipamerkannya. Di rumah, ia punya Charlie, anjing Rothweiller, kesayangannya menjadi teman setianya. Namun bukan berarti karena kesibukannya bila ia belum mendapatkan Pangeran Berkuda Putih- istilah yang diberikan untuk menyebut calon suami. “Belum menemukan. Pernah menemukan yang rasanya cocok, tapi kok sudah ada yang punya, sementara Bapak bilang, ojo melik dar beking liyan (jangan ambil milik oran lain),”tawa renyahnya memecah suasana.
“Apakah aku bahagia?,” ia menghela nafasnya keras-keras. Diam sejenak. Lalu berkata,” I don’t know. I feel fulfilled. Saya merasa cukup untuk diriku. Tapi untuk negaraku belum. Untuk universitasku belum.” Matanya menerawang cukup lama. Sampai kemudian terucap kata dengan tegasnya. “Saya pikir negara dan universitasku harusnya bisa lebih baik lagi.” Dan dengan kata-kata penutup ini, ia bertekad bekerja dengan lebih baik untuk dua hal yang amat dicintainya: negara dan dunia pendidikan hukum sehingga hukum di Indonesia sanggup berdiri sebagai panglima, dan bukan sekadar penjaga malam saja. (Rustika Herlambang)
Stylist: Cempaka Asriani. Make up: Anita Octaviani Foto: Lutfhi Hamdi
Busana dan aksesoris: Burberry
Ibu wanita yg luar biasa….smp tdk ada kata2 yg bs sy smpaikan…
assallammuallaikum, Ibu membaca bio data dll, mohon penjelasan ibu mengenai SK yg tdk sesuai dgn penempatannya, padahal sebelum tes ada kolom pemilihan penempatan, bukankah itu melanggar hukum , melanggar apa yg menjadi HAK nya, yg lebih ngiris itu terjadi di KEMENHUMKAM, bgm menurut ibuuuu