Kompromi dalam Dunia Tanpa Kompromi
Keuletan dalam menghadapi tantangan dengan damai telah mengisi dan memperkaya kreativitasnya
Nama Aditya Novali meramaikan cerita dalam dunia seni kontemporer Indonesia. Dua pameran tunggal yang digelar di dua tempat berbeda dalam dua tahun terakhir ternyata cukup menarik perhatian khalayak. Banyak pecinta seni yang mengungkapkan bahwa ide karya yang dibawanya segar dan kontekstual, diramu dalam sebuah kreasi yang menyenangkan, seolah siap dimainkan dan diapresiasi oleh siapapun. Karya bukan dibuat hanya untuk segelintir manusia, atau usia. Isu interdisipliner sangat terasakan di dalamnya.
Pada pameran Indoscape: A “Geo-History” di Canna Gallery Jakarta, 2011, ia membuat kreasi berupa peta Indonesia yang dibuat dari beberapa elemen seperti lilin yang kemudian dilelehkan atau batang logam di dalam akuarium air. Karya yang mengingatkan kondisi (perpecahan) geografi Indonesia itu dikemas dalam bentuk menarik tanpa meninggalkan unsur kontemplatif dan fun. Demikian pula pada The Wall: Asian (un) Real Estate Project, Project Stage for Artstage 2012 di Singapura, Januari lalu. Ia memunculkan partisi berbentuk apartemen mungil yang bisa diputar-putar, masing-masing ruang bercerita, sekaligus mengingatkan pada konsep hybrid.
Kematangan karyanya berasal dari jam terbang berbagai pengalaman kehidupan dan berkarya selama ini. Sebenarnya, ia bukanlah nama baru di jagad seni. Kehadirannya kini seolah menempatkan kembali ia pada radarnya, meneguhkan kembali posisinya, sekaligus memberi warna baru dalam dunia seni kontemporer Indonesia. Jim Supangkat, pengamat senior seni Indonesia memuji Aditya. “Very promising emerging artist, bahkan untuk forum yang lebih global. Pemikiran dan ide-ide yang ditawarkan cocok dengan wacana seni kontemporer saat ini,” ungkap Jim. Karya tidak hanya sekadar dipajang, dilihat, tapi juga mengandung unsur permainan yang sebaiknya justru dimainkan oleh penontonnya. Karya itu menghilangkan jarak.
Mungkin kisah perjalanan masa lalu bisa menjelaskan kreativitasnya.
Aditya lahir di Solo, kota yang menjaga warisan budaya, 34 tahun lalu. Ia dibesarkan oleh orang tua yang mencintai budaya tradisional Jawa. Waktu kecil, ia sangat menikmati saat diajak menonton pertunjukan wayang orang Sriwedari Solo dan Sendratari Ramayana di Prambanan. Ia juga pembaca komik-komik pewayangan karya RA Koesasih. Pertemuan kesukaan ini membawanya pada dunia wayang kulit yang lantas dipelajarinya secara serius dan profesional sejak usia belia. “Saya menjadi dalang cilik sejak umur 7 tahun,”ucapnya bangga.
Dengan menjadi dalang, ia bisa mengatur seluruh perwayangan. Meski demikian, ia harus pandai mengasah kepekaan perasaan agar bisa terhubung dengan para penabuh gamelan yang duduk di belakangnya. Setiap hari ia berlatih bersama penabuh gamelan yang terdiri dari anak-anak seusianya. Salah satu terobosannya adalah musik pengiring yang mengombinasikan drum dengan gamelan. Beberapa bulan sekali ia ditanggap mendalang di berbagai kota.
Namun ia bukanlah tipe anak yang bisa diam. Ia juga senang menggambar, dan ia harus pandai mengatur waktu secara serius. Di rumah, orang tuanya mendirikan sanggar lukis. “Saya beberapa kali ganti guru karena saya tipe yang tidak mau diatur,” anak sulung dari dua bersaudara ini tertawa. Dua keahlian ini acap ditampilkan bersamaan. Diantaranya pameran tunggal dan pergelaran wayang kulit pertama kalinya di Jakarta tahun 1989, dan di Purna Budaya Yogyakarta setahun berikutnya. Usianya masih 11 tahun. “Saya mengumpulkan tabungan untuk uang kuliah,”katanya. Aktivitas mendalang berhenti ketika kelas 5 SD, sementara itu ia masih melakukan pameran tunggal lukisan di Bentara Budaya Jakarta, Taman Budaya Yogyakarta, sampai lulus SMA.
Dengan segala kesibukannya, ia bercita-cita menjadi seniman. Dengan penuh kesadaran ia mengambil pendidikan di jurusan Arsitektur di Universitas Parahyangan, Bandung, demi mendapatkan cara berpikir secara teknis ketika berkarya. Tidak hanya sekadar mengikuti rasa atau insting semata. Pilihan ini tak lepas dari jejak sang ayah, seorang arsitek yang kemudian memilih berbisnis furnitur. Di rumahnya, orang tuanya memiliki berbagai macam mesin pembuat interior /furniture. Sang ibu adalah seorang desainer interior, bekerja di sebuah perusahaan furniture. Tahun 1997, ia menggelar pameran tunggal di Linggar Galeri, Jakarta, bertema View on Woman. Pameran ini tergolong sukses.
Namun sayang kebahagiaan itu harus terhenti manakala krisis perekonomian menghempas bisnis keluarga. Pameran di atas menjadi pameran “terakhir” sejalan dengan hancurnya bisnis di dunia seni. Saat itu, ia lantas menawarkan diri pada sang ayah untuk mengembangkan bisnis keluarga. Saat itu hanya usaha ekspor yang bisa bertahan. Inilah untuk pertama kalinya ia mengeksplorasi kemampuan desain. “Kita membuat produk yang kecil-kecil. Mikirnya bujetnya rendah. Tak tahunya malah lebih sulit,”ujarnya sekaligus membuka rahasia mengapa karyanya selalu berbentuk interior, kecil, dan artistik.
Sambil menyelesaikan kuliah, ia mengikuti beberapa kompetisi seni Indonesia. Ia menjadi finalis Indonesia Art Award (1997,1999), Indonesia Indofood Art Award (2002), dan Indonesia ASEAN Art Award (2003). Ketika dunia seni perlahan bergerak, Aditya kembali masuk dan mengikuti beberapa pameran bersama. Bila sebelum tahun 1997 banyak ditemukan karya yang romantis, maka setelahnya ia benar-benar meninggalkan figur-figur perempuan. “Setelah 1998, saya tidak tergerak lagi melukis perempuan. Persepsi terhadap kemanusiaan seperti dibongkar habis,”ungkap Aditya, yang tinggal di sebuah lingkungan yang terkena dampak langsung kerusuhan Mei
Ketika dilanda kejenuhan, ia tertantang untuk meneruskan pendidikan di bidang desain produk. Ide sekolah didapatkan dari Spoon – sebuah buku yang berisi pandangan dalam dunia desain industrial kontemporer. Ia terhanyut dalam buku yang berisi desain-desain produk yang unik itu, dan terpikir untuk mengamati dari mana sosok-sosok ini berasal (berpendidikan). Dari riset yang dipelajarinya dari buku tersebut, terdapatlah 3 institusi desain bergengsi di dunia. Ia memilih Conceptual Design di Design Academy Eindhoven, Belanda.
“Setelah kuliah, saya baru menyadari bahwa sekolah tersebut bukanlah sekolah desain produk yang saya bayangkan sebelumnya,”katanya tersenyum. Namun ia malah beruntung, karena sekolah tersebut adalah sekolah seni. “Ini seperti jalan balik bagi saya untuk kembali ke dunia seni yang sangat saya cintai,”katanya Aditya yang menghabiskan masa kuliahnya di tahun 2006-2008. Ketika kembali ke Indonesia, ide dan energinya melimpah. Ia kembali menjadi finalis Sovereign Asian Art Prize (2010), pemenang ke tiga Jakarta Art Award, dan Best Artwork Bandung Contemporary Art Award 2010. Ia juga menjadi finalis Lomba Perancang Aksesori yang diselenggarakan dalam Jakarta Fashion Week 2010 .
Bila sebelumnya ia banyak bergerak dalam tataran dua dimensi, maka dalam pergelaran tunggalnya di tahun 2011 lalu, ia memberikan gebrakan dengan sebuah kreasi yang melibatkan. Bukan sekadar karya yang diam dan siap dipandang, namun juga untuk perenungan dan permainan, seperti pada berbagai pameran tunggal dan delapan pameran bersama di tahun 2011, salah satunya di New York, Amerika Serikat. Hampir semua pameran itu berbeda-beda bentuknya. Ia tidak punya kekhususan, sebaliknya selalu berubah-ubah, dan ada sisi kejutan.
“Saya sadar dunia seni itu sangat tidak ber-‘kompromi’. Hal inilah yang menantang saya untuk berkompromi di sebuah dunia yang tidak mengenal kompromi,” katanya. Ia juga bergerak untuk membuat sebuah audience engagement – sebuah nafas terbaru dalam dunia sosial saat ini, melibatkan penikmat untuk bermain dan memain-mainkan karyanya. Tidak takut rusak? Ia sudah memikirkannya. “Beberapa karya saya ada ‘after sales service’,”katanya sembari menunjuk sebuah karya di mana pemiliknya bisa memukul karya itu sehingga materinya terrusak dan membentuk sebuah karya seni baru yang sangat personal bagi pemiliknya.
“Saya lebih percaya mengerjakan karya dengan hati, sepenuh jiwa, dan serahkan pada nasib,”ia mengelak menjawab soal pasar yang baginya amat sulit diduga. Namun hal itu justru memicunya untuk melakukan eksperimen tanpa batas. Limapuluh persen dari energinya justru ia salurkan untuk membuat kreasi yang menurut dia lebih ‘liar’ dan eksperimental. “Justru itu adalah bentuk tes pasar. Apakah dicaci maki, atau apapun harus dicoba, sebab tanpa keberanian, kita tak akan pernah tahu.” Beberapa waktu ke depan, ia akan kembali menampilkan karya yang terinspirasi perempuan seperti yang dulu pernah mewarnai perjalanan kariernya. “Soon,” jawabnya pendek, sekaligus menjanjikan.
Apa karena sudah ada perempuan yang menarik perhatiannya? Ia terkejut dengan wajah yang memerah. “Waduuh, pertanyaannya personal sekali. No comment ah,”ia tertawa. Setelah menenangkan diri, ia baru menjawab kemudian. “Perempuan yang smart itu menurutku seksi, dobel seksinya. Saya juga mudah bosan, seperti saya dalam berkarya. Mungkin hanya perempuan yang smart dan bisa memberi challenge setiap hari yang bisa menarik hati saya,” ia menerangkan panjang lebar, diikuti beberapa bulir keringat membasahi wajah. Bila ia punya keberanian menerobos pasar, rupanya bukan keberanian untuk menerobos hati perempuan. (Rustika Herlambang)
Busana & Aksesori: koleksi pribadi. Stylist: Cempaka Asriani. Foto: Stephany Sungkharisma lokasi: JAD.
terimakasih