Terbang Bersama Mimpi Connie Rahakundini Bakrie
Ia membebaskan diri dan pikiran-pikiran kritisnya melalui dunia pertahanan yang justru sangat penuh dengan aturan
“Are you happily married?” .
Kalimat itu disampaikan dengan nada tegas oleh Jendral bintang tiga Dinas Intelijen Israel (Mossad), Shlomo Gazit, di salah satu ruang di kantor di suatu sudut di Ramat Aviv, Tel Aviv, Israel. Perempuan yang duduk di kursi itu sedikit terhenyak. Suasana tegang menyelimuti. Di depannya berdiri sosok dengan wajah dingin dan sedikit sombong. Tentu pertanyaan ini datang dari curriculum vitae yang menyebutkan nama suami yang juga seorang jendral di Indonesia, perempuan itu berkata pada dirinya sendiri. Namun, tiba-tiba muncul keberanian. “Maaf, apa maksud Anda menanyakan hal-hal yang sifatnya sangat pribadi?,”perempuan bersuara berat bernama Connie Rahakundini Bakrie itu kembali mempertanyakan.
Di lounge de Café, Mulia Hotel, Connie, 47 tahun, tersenyum mengenang kejadian yang pernah dialami beberapa tahun lalu kala ia sedang berada dalam suatu pertemuan wawancara untuk disertasi, The State Power – The Military element of The State Development. Shlomo Gazit duduk sebagai mantan ketua Amman (lembaga intelijen) di negara yang tak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia itu adalah salah satu sumber yang diwawancarai. Connie sendiri adalah peneliti di INSS (Institute of National Security Studies), Tel Aviv, Israel. Saat ini, ia lebih dikenal sebagai pengamat pertahanan yang namanya dipertimbangkan di dalam dan luar negeri.
Dalam empat tahun terakhir, ia menyampaikan beberapa pidato penting tentang pertahanan Indonesia di National Defence University (NDU), The East West Center, Washington DC, ASEM EU (Brussel), Geneva Centre for Security Policy, Delhi Dialogue, serta di depan komisi Luar Negeri dan Departemen Pertahanan Inggris di London. Selain mengajar di Universitas Indonesia dan beberapa universitas swasta di Bandung dan Yogyakarta, ia juga aktif memberikan pandangannya di Dewan Pertahanan Nasional (Wantannas), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Mabes TNI.
Pengamat militer Dr. Kusnanto Anggoro dari Centre for Stategic and International Studies (CSIS) memuji Connie sebagai seorang akademisi dengan semangat luar biasa untuk meletakkan sesuatu yang baru dalam pertahanan Indonesia, khususnya dalam konteks perubahan zaman. “Ia berani menegaskan pilihan pandangan yang berbeda,” ujar Kusnanto. Salah satu pandangannya adalah mengenai kekuatan sebuah negara dibangun dari militer dan bukan semata ekonomi – di mana pendapat ini kurang diperhatikan oleh pengamat lain karena kekuatan senjata merupakan salah satu alat, dan bila gagal, bisa menggunakan jalan diplomasi. “Sikap untuk menempuh pemikiran yang berbeda ini merupakan sebuah sikap, dan sikap tidak bisa dipelajari karena merupakan bagian dari konstruksi sejarah dan impian,”imbuh Kus.
Disertasi tentang Israel mungkin merupakan bagian dari pemikiran yang berlawanan dengan arus mainstream yang ada. Ide disertasi ini awalnya ditentang oleh para guru besar. “Menulis tentang Indonesia dan Israel seperti membandingkan kuda dengan apel. Dan bahkan keberadaan selama di Israel diminta oleh Menteri Pertahanan masa itu untuk tidak dipublikasikan,” cerita Connie. Sementara jalan pikirannya sederhana, “Indonesia punya segala macam kekayaan alam yang kaya sementara luasnya lebih dari seribu kali wilayah Israel namun mengapa tak bisa menyamai Israel?”. Berbagai tentangan ini perlu ‘diluruskan’. Bersyukurlah ketika akhirnya ia mendapat kesempatan sebagai peneliti di INSS. Di saat lain, ia mengambil pendidikan di Fu Shing Kang War College, Taiwan, ROC. “Ini sekolah perangnya Muammar Gaddafi,” ia tersenyum.
Apakah karena darah yang mengalir di dirinya yang membuat ia demikian konsisten terhadap pilihannya? Connie adalah buah cinta DR. Ir. Bakrie Arbie – doctor ahli nuklir, dengan Ani Sekarningsih Ardiwinata – pendiri Padepokan Tarot dan pencipta tarot pewayangan. Kedua orang tuanya memiliki passion besar pada suatu hal. Sang ayah yang amat dipuja oleh Connie terobsesi membangun pusat listrik tenaga nuklir (PLTN), dan sering mengajaknya ke area PLTN. Sementara sang ibu mengembangkan dunia tarot. Perbicangan dalam keluarganya pun berimbang, antara dunia penuh rasa dari ibunya dan soal rasio dari ayahnya, di mana keduanya menyatu di dalam diri Connie saat ini. “Di rumah masa kecilku ada bola kristal dan kartu kartu ramal dan ayahku bicara selalu tentang logika dan reaktor nuklir,” anak kedua dari tiga bersaudara, satu-satunya wanita, tertawa membayangkan hidupnya yang penuh warna.
Waktu kecil, ia bercita-cita menjadi pilot pesawat tempur. Itu sebabnya ia amat antusias bila ayahnya mengajaknya jalan-jalan ke Bandara Nurtanio melihat pesawat terbang, Bandung. Namun menurut sang ibu, Connie kecil ingin menjadi seniman karena bakat yang dimiliki. “Pertempuran” keinginan ini akhirnya berlabuh di jurusan desain. “Dia akhirnya kami kirim ke Billy Blue College of Design di Sydney agar tidak down setelah dua kali gagal masuk di jurusan Senirupa ITB,” sang Ibu menjelaskan. Setelah lulus, Connie sempat bekerja di bidang periklanan. “Salah satu karya desainnya pernah memenangkan penghargaan tingkat internasional loh,” ucap Ani Sekarningsih bangga.
Namun anehnya, ia merasa tantangannya di bidang desain selesai dan ia tiba-tiba saja tergerak pada dunia pertahanan dan keamanan negara. “Saya merasa kehidupan saya berjalan begitu saja,” ia menjawab pertanyaan mengenai kepindahan fokusnya dalam dunia militer – sesuatu hal yang tak terjawab dengan jernih olehnya. Yang sangat diingat hanya sebuah kenangan bulan Mei 1998 ketika ia dengan mobilnya menuju apartemen dari kantor melihat tentara bekerja keras menjaga keamanan di sepanjang jalan yang dilalui. Meski demikian pandangan masyarakat ketika itu agak sinis dan cenderung menyalahkan militer sehingga ia merasa dunia ini tidak adil. Pada titik itulah muncul keinginan membela militer. “Saya hanya ingin menempatkan militer kembali pada tempat seharusnya. Karena bagaimanapun kekuatan sebuah negara juga diukur oleh militer selain ekonomi,”ia menandaskan.
Untuk memenuhi rasa ingin tahunya pada dunia pertahanan itu telah memberinya energi untuk kembali ke bangku kuliah di jurusan Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.Ia memulainya pada saat usianya menginjak 35 tahun, sebuah puncak usia kematangan dari seorang perempuan. Perjuangannya semakin tak terbendung, manakala ia menikah dengan Mantan Pangkostrad Letjen TNI Djadja Suparman, yang juga menjadi teman diskusi terbaik untuknya. Connie melanjutkan pendidikan masternya di Asia Pacific Centre for Security Studies (APCSS) di Honolulu, Hawaii dan mengikuti pendidikan program eksekutif di Birmingham University, Inggris, sebelum menuju Tel Aviv.
Terus terang, perjuangan untuk menjadi pengamat pertahanan seperti saat ini amat tidak mudah. Persoalan tidak hanya datang dari diri sendiri, tapi juga lingkungan. Perempuan dengan kecantikan di atas rata-rata ini mengalami berbagai kendala yang harus ditaklukkan dengan segala kerja keras. Apalagi pandangannya tidak mengikuti suara arus besar, dan dikatakan oleh Kusnanto, Connie terus teguh dan menemukan penjelasan-penjelasn baru atas argumennya. Jangankan orang biasa, ia bahkan pernah tidak ditegur oleh sesama istri perwira tinggi yang duduk semeja dengannya. Namun apakah itu mematahkan semangatnya? Tidak. Karena toh buat ia justru menjadi cambuk untuk membuktikan kekuatan diri. Perlu ditekankan, bukan pada kecantikan, melainkan pada intelektualitasnya. Ia terus membuktikan dan membaktikan dirinya pada dunia pertahanan Indonesia.
Bila ia begitu gegap gempita berkisah tentang dunia pertahanan Indonesia yang kian rapuh belakangan ini, berbicara dengan lancar mulai dari pesawat tempur generasi terbaru hingga issue maritim dan konstalasi perimbangan kekuatan pertahanan kawasan, tidak demikian halnya bila ia bercerita tentang pengalaman hidupnya sendiri. Dari sepanjang percakapan yang berlangsung lancar ada kisah sepanjang 20 tahun yang terbenam dan seolah tak pernah ada dalam hidupnya. Ia, yang merasa lebih mengutamakan masa depan, hanya mengiyakan bahwa berbagai keberhasilannya kini adalah wujud kekuatan tubuh pikiran dan intelektualitasnya dalam menghadapi tekanan yang luar biasa dalam hidupnya.
“Very painful. Saya sudah melewati segala sesuatu yang paling berat di dunia ini. Sehingga saya begitu percaya ternyata yang paling abadi adalah perubahan. Kadang kita dipaksa untuk berada pada suatu keadaan dan pilihan bukan karena kehendak kita,” ujarnya. Suara beratnya saat berbicara menjadikan pernyataan ini kian bermakna signifikan. Lalu melanjutkan cerita, “Saya pernah berada di posisi Manohara,” ujarnya, tak mau membicarakan lebih lanjut. Lalu kembali mengembangkan senyuman.Tanda tamat pada sejarah lama sudah dibubuhkan. Ia terlalu kuat untuk menyerah. Bahkan mungkin kata itu tak pernah ada dalam kamusnya. Apakah karena hal itu bila kini ia memiliki sisi spiritualitas yang tinggi? (Selama ini ia melakukan ziarah ke berbagai tempat suci di dunia ini mulai dari Mekah hingga Yerusalem –inspirasi yang didapatkannya dari novel Paulo Coelho kesayangannya. “Untuk religi saya memang berdamai karena saya percaya dengan keyakinan saya sendiri,” tutur Connie yang dibesarkan dalam dua agama yang berbeda dari ayah dan ibunya itu) .
Ia menuliskan kata-kata pada pembuka blog pribadinya boleh jadi untuk menguatkan jiwa. Katanya, “Hidup seringkali anehnya, membawa kita ke suatu tempat dalam suatu saat hidup kita, pada pencapaian mimpi yang telah kita rajut sebelumnya. Karenanya, buat dan teruslah buat serta kejar mimpi-mimpi kita, sehingga kita mampu untuk terbang bersamanya.” Connie, yang amat periang dan murah senyum itu, rupanya memiliki banyak teman dan jaringan sehingga bisa mengembangkan potensinya yang lain. “Rahakundini itu dalam bahasa Sanskerta artinya wadah uang!,” ia mengutip nama yang oleh orang tuanya merupakan harapan agar ia selalu diberi rahmat dan kekuatan iman. Ia pun mencari aktivitas lain agar bisa mengubur kisah pedih dan membuat sejarah baru untuk dirinya.
Djadja mengacungkan jempol untuk kekuatan dan keberanian istrinya. “Menurut saya, ia hebat! Kalau orang ingin maju dia harus bisa memilih apa yang bisa dikerjakan dengan bidangnya. Ia tahu mengapa ia memilih fokus di sini, dan dia mendalami terus bidangnya dengan sangat serius. Dalam tempo tahun 2007 sampai sekarang dia sudah go international,” ujar Djadja yang acap kali khawatir karena Connie adalah orang yang tidak mengenal rasa takut. “Ada satu hal yang jarang dimiliki kaum akademisi adalah jaringan luas komunikasi. Dia punya. Dia dengan mudah bicara dengan Menteri Pertahanan Amerika, misalnya. Dia juga punya leadership dan selalu ingin menambah wawasan,” lanjut Djadja yang selama menikah dengan Connie selalu mendapat kejutan karena keberanian dan keinginan petualangannya.
“Kalau tidak kuat, lelaki yang menikah sama dia bisa mati berdiri,” Djadja menegaskan tiba tiba, sembari memberikan beberapa contoh kasus: memilih pergi ke Israel, bertualang memotret sepanjang jalur jalur tank dengan tentara IDF (Israel Defense Force) perbatasan di Golan Height, memutuskan mengikuti pendidikan War Collage di Taiwan atau tiba-tiba spontan melakukan free fall (terjun bebas) dari ketinggian 11 ribu kaki di usianya yang ke 42 tanpa pernah berlatih sebelumnya, dan bahkan meluncurkan buku “Defending Indonesia”, yang berbicara mengkiritisi tentang kebebasan berlebihan atas nama demokrasi di Amerika, pusatnya negara demokrasi!. Djadja juga mengakui bahwa Connie adalah orang dengan semangat bebas dan selalu mengikuti kata hati. “Bila dikekang, ia akan terluka. Biarkan ia bebas dan suatu saat akan kembali,” Djadja menganalisis istrinya, yang diikuti senyum Connie. “Karenanya, pengorbanan paling besar hingga saya bisa sampai di titik ini adalah suami dan anak-anak saya,” kata ibu dari Audindra, Samantha, dan Merkava.
Pada akhirnya, perjalanan hidup Connie adalah perjalanan menyusun pertahanan jiwanya sendiri. Fokus pada dunia pertahanan hanya sebuah wadah, yang tentu tidak bebas nilai, namun intinya adalah pertahanan diri. Ketika berpijak pada kata pertahanan, ini artinya ada sesuatu yang (dianggap) menyerang dan ia harus siaga dan waspada. Uniknya, pertahanan diri (eksistensi) tersebut justru bisa dicapai dengan membebaskan seluas-luasnya arah pikiran dan jiwa pada sebuah bidang yang sebenarnya amat terikat pada aturan, dan ia justru menikmati setiap perubahan demi perubahan dengan nyaman. Karena ia selalu percaya. “Hidup adalah sebuah pencarian.”
(Rustika Herlambang)
Fotografer: Stanley. Lokasi: De Café, Hotel Mulia, Jakarta.
Berbagai kesibukan yang dilakukannya memang membuat banyak orang bertanya, termasuk suaminya,”Apa yang kau cari Connie?” connie yang tak pernah bisa diam ini tersenyum memberi jawaban yakin. “Eksistensi pasti. Hidup itu sebuah pencarian.” Ungkap Connie yang akan berhenti mengkritisi negara ini apabila Indonesia yang memiliki posisi strategis ini memiliki peran vital di kawasan
Kehidupan kini adalah sejarah baru yang tengah dirajutnya.Ia fokus membela dan mengkritisi kebijakan dalam bidang pertahanan yang kini dikuasainya.Setiap hal yg berkaitan dengan kondiri negara Connie yg sangat ekpresif ketika bercerita ini selalu menegaskan dengan nada bicaranya yang cepat dan menggebu-gebu. “Kita harus waspada pada kondisi Papua,” ujarnya menegaskan sembari mengisahkan secara detail kekhawatiran tersebut. Ia seperti tak pernah habis berpikir tentang dunia pertahanan, sesuatu yang membuat wajahnya justru kian sumringah, menampakkan intelektualitasnya.
Malam,
Saya pertama mengunjungi blok ini…kebetulan sekali saya menaruh perhatian dibidang pertahanan, khususnya TNI dan konflik LCS.
Bolehkah saya meminta referensi mengenai “buku putih pertahanan Indonesia” serta buku putih negara-negara dikawasan ini.
Teriring salam
Salah satu statement Bu Connie yg menghentak adalah “Anak muda Indonesia saat ini Arab Banget”…..such a Bold statement
Salah satu pandangannya adalah mengenai kekuatan sebuah negara dibangun dari militer dan bukan semata ekonomi,
Pendapat ini sy rasa keliru. Sebab rata2 rakyat Indonesia menggantungkan hidup dari Kekuatan Ekonomi yg mandiri,
Bkn sy tdk setuju dgn Militer. Itu perlu juga.
tp saat ini yg paling mendesak adalah Pertumbuhan Ekonomi.
sangat positif dan full keberanian apa yang dilakukan mbak Connie, saat ini seluruh masyarakat Indonesia berperan aktif untuk menjaga pertahanan negaranya dengan cara berprestasi di bidang masing-masing, otomatis semua kondusif
..semalam,tanpa sengaja nonton di kompas tv. Agak terkesima nonton wawancara dengan ibu connie.
Koq ya bisa pas gitu sependapat dengan pikirankuu.
Satu kata buat ibu connie. Cerdas.
Jadi, penasaran dan bakalan saya tunggu wawancara beliau di lain waktu dalam mengkritisi segala persoalan di negara ini.
Mengkritik = perhatian
Tentunya dalam hal membangun.