Belantara Cinta
Ia membiarkan keliaran pikirannya tumbuh dan terus membesar. Sebab hanya dalam belantara dan menjadi liyan, ia menemukan dirinya sendiri.
Apakah perlu waktu untuk mengenal Tosca Santoso? Pada pertemuan pertama di sebuah kafe pagi menjelang siang, sikapnya amat formal, sedikit kaku, dan terasa benar sedang menimbang kemampuan orang yang diajak bicara. Setiap pertanyaan dijawab seperlunya. Suasana ini agak berbeda dengan gaya menulisnya yang luwes dan romantis di note-note yang dipasang di laman-laman facebook-nya. Namun untunglah, situasi kaku ini lekas terpecahkan manakala ia berada di ruang siar KBR68H. Ia bisa tertawa lepas. Tak ada beban. Ia banyak bercerita tentang hutan, novel yang ingin segera diselesaikan, serta kisah Tan Malaka. Rupanya ia butuh bicara hal-hal di luar rutinitasnya: radio dan segala prestasi-prestasi bisnisnya.
Santoso mungkin bukan orang yang gemar publisitas, apalagi pencitraan. Ia setia membangun dan mengabdi pada sebuah bidang yang berorientasi pada pelayanan publik. Dalam belantara dunia informasi yang dikuasai konglomerasi, ia memilih jalan sendiri: membangun lalulintas informasi yang independen, demi menegakkan suara kebenaran. Ia-lah pendiri Kantor Berita Radio 68H (KBR68H), yakni penyedia informasi/program jurnalistik independen untuk radio jaringannya, serta Green Radio (GR), menjadi yang pertama pula sebagai radio yang khusus berorientasi pada persoalan lingkungan.
Aktivitas ini membawanya pada penghargaan Social Entrepreneur Of The Year 2010 versi Ernst & Young. Ia juga penerima Knight International Journalism Awards 2010 dari sebuah organisasi pembela kebebasan pers yang berbasis di Amerika (International Center for Journalists/ICFJ). Dikatakan oleh Presiden ICFJ dalam situs ICFJ, Joyce Barnathan, pemenang penghargaan telah melakukan pekerjaan luar biasa dalam melawan korupsi dan memberdayakan warga negara. Sementara itu, KBR68H juga mendapatkan King Baudouin International Development Prize (2008-2009) atas kontribusi pada pengembangan keseimbangan yang berbasis pada kekuatan demokrasi, toleransi, dan partisipasi warganegara.
November lalu, Santoso mengembangkan idealisme dan usahanya melalui jaringan televisi. Di tengah serbuan komersialisasi televisi, radio KBR 68H bergabung bersama kelompok Media Tempo untuk menghadirkan Tempo TV, yakni sebuah penyedia konten berbasis jurnalisme. Di sini ia duduk sebagai Direktur Utama. Kegiatan terbaru ini jelas semakin memperpadat hari-hari ke depannya. Ia tampak berbinar-binar mengisahkan anak usaha barunya ini. Seperti usahanya yang lain, ia senang menjadi liyan, memilih jalan berbeda, untuk menegakkan idealisme dan kecintaannya pada bangsa.
Di tangan Santoso, radio tidak hanya bergerak sekadar memberi informasi, namun yang ditekankan justru karena unsur aktivisnya. Di KBR68H ia memperkenalkan saluran telepon bebas pulsa yang memungkinkan warga negara (pendengar) berbicara dengan para pengambil keputusan melalui radio. Konsep radio jaringan ini kemudian direplikasi oleh negara Nepal, Rusia, dan Pakistan. GR bekerjasama dengan Taman Nasional Gede Pangrango dan sedang diusahakan agar mendapat konsesi pengelolaan selama 55 tahun dari Menteri Kehutanan. Agar konservasi berhasil, GR mengadakan pendekatan dengan para petani yang kala itu mulai merambah hutan karena faktor ekonomi. Ia tidak menyingkirkan petani, melainkan mengarahkan pada program peningkatan sosial ekonomi, seperti beternak domba dan pertanian organik.
“Saya lebih senang begini.. menjadi pengusaha namun banyak pengembangan social juga,” ujarnya terus terang. Masyarakat dan aktivitas sosial, dua hal yang tak lepas dari perbincangan dan pemikirannya kini.
Apa yang kini diraihnya sungguh jauh dari benak Santoso kecil. Ia lahir di Cilacap 47 tahun lalu, sebagai sulung dari 6 bersaudara, dari ayah seorang guru SD yang hidupnya pas-pasan dan berpindah-pindah. Dalam kondisi terjepit, sang ayah tidak jarang bekerja sambilan sebagai tukang pangkas rambut sampai calo karcis bioskop, dan hebatnya, menyimpan harapan untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi dan bahkan mewujudkan pendidikan S2 pada saat usia senja. Ibunya pernah bekerja sebagai tukang kue dan mengelola kantin di mana Santoso kecil sering membantu ibunya. Dari keduanya, ia mewarisi sikap pekerja keras dan tak patah semangat.
“Saya dulu bercita-cita menjadi insinyur, tapi peristiwa Cimacan mengubah seluruh arah hidup saya,” lulusan dari Institut Pertanian Bogor ini membuka sejarah masa lalunya. Peristiwa tersebut adalah peristiwa ketika lahan subur milik petani dijadikan (secara paksa) sebuah lapangan golf. Santoso yang juga pendaki gunung itu tak sengaja melewati insiden ketika para petani bawang diusir dari kebun mereka dengan ganti rugi Rp.30-60 rupiah per meter (yang kemudian dinaikkan menjadi sekitar dua ratus rupiah). Ia melihat bawang yang baru mau panen dibuldoser petugas. “Ibu-ibu menangis di jalan, saya tak tahan,” ucap Santoso berat, mengenang sebuah peristiwa yang bahkan hingga kini masih terekam kuat dalam ingatannya.
Perasaannya terusik. Ia pun tak tahu bagaimana harus membantu para petani yang kehilangan haknya. Tak satu pun media membicarakan suara mereka. Maka tiada lain yang dilakukannya adalah hidup bersama mereka, membuat tulisan dan foto, dan menerbitkan sebuah bulletin berjudul “Suara Petani Rarahan”, dengan modal uang sakunya yang pas-pasan. Melalui bulletin, ia menyuarakan kepentingan petani, kepentingan pihak-pihak yang tertindas, terpinggirkan, secara bebas, tanpa sensor, dan paksaan pemilik modal yang waktu itu mendominasi pemberitaan di media.
Pengalaman itu membuka mata hatinya akan pentingnya informasi yang independen. Sejak itulah, ia mulai melibatkan diri pada masyarakat. Memberikan tempat pada suara yang terpinggirkan. Bersama rekan-rekannya yang lain ia merintis pendirian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di tahun 1994, dan memimpin sebuah majalah suara bawah tanah ber-oplag 15 ribu bernama Independen. Ia pernah menjadi wartawan di sebuah majalah berita, namun dipecat karena diketahui sebagai anggota AJI – sebuah organisasi yang dianggap illegal oleh pemerintah Orde Baru. Saat kantor AJI digrebeg polisi dan beberapa temannya ditangkap, Santoso sempat melarikan diri ke Thailand.
“Saya hanya ingin menyebarkan apa yang kita anggap benar. Saya merasa masyarakat berhak atas informasi yang bagus, “ia menegaskan keinginannya. Pada titik inilah ia tersentil kebutuhan akan media yang lebih bisa menyiarkan berita secara lebih luas dibandingkan dengan oplag sebesar 15 ribu setiap bulan dari media cetak Independen yang pernah dipimpinnya. “Andai saja informasi ini bisa disiarkan lewat radio, seluruh pelosok Indonesia bisa mendengar,” ia mengungkapkan ide yang dipendamnya sejak tahun 1994.
KBR68H baru diwujudkan pada tahun 1999, justru ketika ledakan media cetak sedang menguasai Indonesia pasca jatuhnya Soeharto, dan radio bukan hal yang dilirik sebagai sebuah investasi. Di sini ia menyediakan konten-konten berita untuk disiarkan di berbagai radio di dalam dan di luar negeri. “Ketika mendirikan radio, saya nggak ngerti radio,” katanya. Ia belajar secara otodidak dari buku-buku ditambah pengalamannya sendiri. “Kami bikin pemancar, hampir tiap hari kena petir. Karena tekniknya tak bagus, jangkauannya tak jauh,” ia menertawakan kebodohannya. “Kalau gagal ya sudah, harus mencari jalan lain,” ujarnya. Tak ada kata menyerah.
Kerja keras pasti berbuah. KBR 68H kini direlay lebih dari 900 stasiun di dalam negeri dan di 10 negara lainnya: Afganistan, Bangladesh, Burma, Thailand, Pilipina, Malaysia, Kamboja, Timor, Nepal, dan Pakistan. Lagi-lagi Santoso tidak berpikir untuk mendekati Amerika atau pemilik modal besar, melainkan berpikir “besar”. Ia ingin membantu memecahkan kebuntuan informasi bagi negara-negara ketiga (sic!), yang tentunya bukan pemikiran popular di tengah banyak kebijakan negeri ini yang justru mengacu pada negara adikuasa tersebut. “Negara-negara yang membutuhkan keterbukaan informasi dan KBR68H menolong untuk saling memahami antar negara.”
Bila para pemodal besar memfokuskan pada kota-kota besar, sebaliknya pada KBR68H. Justru Santoso paling suka membuka radio di pelosok daerah. Misalnya di Yahukimo, yang bahkan listrik pun tak ada. Kondisi ini justru menyemangatinya untuk mengajak masyarakat setempat untuk bekerjasama. “Saya survey dan akhirnya saya temukan sungai dapat dibendung, bisa dibuat mikrohidro. Kita fokus membuat listrik dulu, baru radionya,” katanya bangga. Desa itu kini mulai diterangi listrik dan informasi mulai berjalan lancar. “Saya percaya kata Amartya Sen, bahwa kelaparan adalah soal informasi,” ia tersenyum. Saat ini ia tengah menyiapkan radio di Sarmi, 700 km dari arah Papua. Dananya? “Sulit sih… tapi saya percaya selalu ada jalan.”
“Mungkin ini bukan model bisnis yang menggurita dan menjadi konglomerasi. Yang terpenting bisnis tetap jalan, dan bisa mendukung tujuannya,” ia menegaskan. Independensi itu rupanya menjadi kekuatan yang tak terkalahkan, dan menjadikan posisi radionya unik. Tidak besar, tetapi memiliki suara yang berbeda. “Kesadaran untuk menyuarakan kebenaran sangat besar pada diri saya, sebab itulah satu-satunya alasan kita menjadi wartawan,” ia terkekeh.
“Saya tidak pernah merasa berat karena saya menikmati apa yang saya kerjakan. Walau tidak semuanya berhasil, banyak sekali yang tidak berhasil, tapi dinikmati saja,”
Santoso, bapak dari Ivan Rangga Pratama, buah pernikahannya dengan Wininti Karyani, memberikan rahasia kehidupannya. Tentang cinta, ia tak punya definisi. “Saya mencintai pacar yang sekarang menjadi istri. Cinta bukan untuk menuntut. Yang terpenting adalah hormat pada pasangan, tak perlu harus begini begitu, jalanin saja.” Ia tersenyum. Ia tak suka dikontrol, katanya.
“Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat yang dikontrol oleh kekuasaan tidak akan pernah survive, berbeda dengan masyarakat yang terbuka, cukup informasi, bisa menentukan pandangannya sendiri. Saya ingin Indonesia pun begitu,” Ia menganalogikan cinta dan aktivitasnya dalam suara yang sama. Perbincangan sesaat yang mulai menghangat itu harus terhenti seketika karena ia harus melanjutkan aktivitas di Tempo TV. Hari semakin siang, matahari semakin terik, menghangatkan pemikiran-pemikiran cemerlang yang sejak tadi disampaikan. Perjuangan ini harus diteruskan. (Rustika Herlambang)
Stylist: Raden Prisya. Fotografer: Peter Momor. Lokasi: Radio KBR 68H
Lama tidak berkunjung kemari.
Alhamdulillah mbak Rustika masih aktif menulis.
Tulisan2 Anda selalu menginspirasi, seperti tulisan tentang bung Tosca ini.
Selamat terus berkarya.
Salam hangat.
Kok jarang update blog nya sekarang ? Lagi sibuk ya :)?