Gincu Merah Waldjinah
Bahkan sebuah keberuntungan tidak instan. Ada perjalanan panjang yang telah menyertainya jauh-jauh hari ke belakang
Waldjinah tak pernah berubah. Ia masih terlihat kenes dalam balutan kebaya kutu baru dan sanggulnya. Polesan kosmetik masih saja menunjukkan pamornya yang demikian kuat. Hingga kini nama dan citranya masih tetap sama: Ratu Keroncong Indonesia. Sulit untuk memunculkan nama yang bisa menyamai popularitasnya dalam dunia keroncong dan langgam di Indonesia. Nama Waldjinah selalu disebut yang pertama. Selalu. Meski dekade demi dekade telah berlalu.
Dalam beberapa pertemuan, dan khususnya ketika ia mengisi sesi pergelaran Anne Avantie di Kraton Susuhunan Solo akhir Mei lalu, suara dan penampilannya masih tetap juara. Bila berubah hanyalah petanda usia. Ia tetap ramah dan rendah hati kendati bintangnya sudah terang sedemikian lama dan abadi. Saat ditemui di kediamannya di Solo, ia sudah berdandan seperti siap pentas, meski menggunakan daster kesayangan, seolah menegaskan bahwa gaya dandanan itulah ikon dirinya.
Pengamat budaya, Remi Silado, menandaskan keberadaan Waldjinah. Banyak orang yang bisa menyanyi bagus, tapi untuk menjadi yang terpilih dan bertahan lama, bisa dihitung jari. Waldjinah salah satunya. “Selain karena faktor keberuntungan dan dicintai Gusti Allah, dia adalah orang yang setia pada keroncong dan langgam Jawa, dengan gaya dan pilihan genre-nya sendiri,”ujar Remi.
Faktor keberuntungan! Bahkan sebuah perdebatan mengenai fenomena Waldjinah yang ditulis dalam majalah Tempo edisi Juli 1972 pun mengetengahkan hal serupa. “Untuk ketenarannya yang tak perlu diragukan, suaranya baik, meski bukan tak ada tandingannya, bahkan banyak yang menyamai…,” tutur Gesang…..Namun rupa-rupanya ciri khas si We – panggilan untuk Waldjinah – memegang peranan utama dalam soal ini. Kalau tidak demikian.. apa lagi?” Hampir empat puluh tahun dari masa perbincangan itu, We masih pentas dengan Erwin Gutawa, Edo Kondologit, dan legendaris Chrisye.
Namun bila mendengar kisah yang senantiasa disampaikan dengan senyuman yang membayangi wajah, apakah pendapat ini akan tetap bertahan?
Enam puluh delapan tahun lalu, seorang perempuan kuat yang bahkan anaknya pun tak ingat namanya (belakangan baru diingat, namanya Kamini), melahirkan ia, bungsu dari 10 bersaudara. Perempuan yang disebut Ibu oleh We adalah pedagang sayur yang dengan jiwa besar menikahkan sang suami pada istri keduanya, pada saat beranak tujuh, dan setelah itu sendirian membiayai seluruh kehidupan anak-anaknya dengan berjualan sayur di perempatan jalan kampung. Ayah We adalah seorang buruh batik yang banyak digandrungi perempuan karena suara emasnya, hampir tak mengakui We sebagai anaknya. “Total saudara saya ada 18,” katanya, 8 di antaranya adalah saudara tiri.
Meski hidup dimadu, ujar We, ibunya tidak pernah terlarut dalam kesedihan dan kemiskinan. “Saya tahu hatinya remuk, tapi dia tetap menikmati kehidupan. Saya diajak nonton ketoprak di Balekambang. Sambil digendong, saya diajak botohan (taruhan). Kalau saya ikut, Ibu sering menang (taruhan),” ungkapnya gembira. Setiap menjelang tidur, ibunya selalu mengidungkan dandanggula (tembang macapat yang bermakna sebagai sebuah pengharapan yang manis. Dandang gulo = tempat gula). Di keluarga, We dianggap pembawa keberuntungan dan dilimpahi kasih sayang kakak-kakaknya. “Kalau kakak mau dagang di pasar, mereka harus selalu ketemu saya dan minta didoakan.”
Ia masuk dalam dunia keroncong dan langgam tanpa sengaja. Saat sedang menyanyi di kamar mandi, kakak kandungnya, Munadi terhenyak, mendengar cengkok langgamnya. Sejak peristiwa itu, sang kakak yang juga penyanyi keroncong mengajarinya dengan galak, tegas, dan disiplin. Karena latihan dilakukan pada malam hari, orang tuanya melarang We yang waktu itu masih berumur 9 tahun. “Akhirnya saya sembunyi-sembunyi kalau latihan. Melompat dari jendela dan digendong kakak,”ujarnya tertawa. Perjuangan itu mencapai puncaknya ketika ia memenangkan kompetisi keroncong bergengsi Ratu Kembang Kacang 1958. Dan kemenangan ini membawa perubahan besar dalam hidupnya: kesempatan rekaman, pentas ke berbagai daerah di Indonesia, hingga Suriname, Belanda, dan Jepang. Akibatnya, sekolahnya kandas hingga kelas 2 SMP.
Namun kepopuleran seperti sekeping mata uang. Di satu sisi menaikkan derajat perekonomian keluarga; bisa membiayai sekolah kakak-kakaknya dan meminta ibunya berhenti bekerja. Di sisi lain, ia dipandang sebelah mata sebagai penghibur dan ditonton banyak orang. Kondisi terakhir ini memengaruhi perjalanan cinta dengan seorang guru SMP, anak walikota Pekalongan, yang jelas dari kubu yang berbeda. Priyayi dan rakyat jelata. Pegawai tinggi dan penyanyi. “Suamiku nekat, kami menikah, walau dia dikeluarkan dari keluarganya,” tutur We yang menikah pada usia 15 tahun, lalu memiliki 5 anak. Namun ia segera berdamai dengan seluruh keluarga setelah melahirkan anak pertama.
Bersama suami, Sulis Budi, ia mendirikan kelompok musik keroncong bernama Bintang Surakarta, yang pamornya tak pernah surut kendati, seperti diungkapkan Remi, tahun 1969-1974 Indonesia dibanjiri dengan musik-musik underground (musik-musik baru seperti rock), sehingga keroncong mandeg. Ia banyak bekerja sama dengan para pencipta lagu seperti Gesang, Sapari, dan Andjar Any sehingga terpercik kabar bahwa lagu-lagu tersebut bagaikan dibuat spesial hanya untuk We! Sementara itu, untuk menjaga karier dan terutama nama baik We, sang suami berkorban tidak lagi bekerja kecuali menjadi manager untuk istrinya.
Ia menyadari bahwa dunia kesenian yang terus bergerak itu banyak menyimpan kekhawatiran. Seperti ia sampaikan pada anak-anaknya, hidup di dunia seni ibarat mengharapkan tetes embun. Kalau laku bagus, kalau tidak, pasti akan sangat menyakitkan. Untuk itulah ia diam-diam melakukan berbagai upaya yang tiada putus-putusnya agar kariernya selalu terang. “Saya jaga suara dan penampilan. Harus selalu cantik. Semua saya perhitungkan. Madol (menjual) itu harus mengikuti zaman,” ungkapnya.
Untuk menjaga suara, ia menghindari makanan yang digoreng dan semangka, rajin berpuasa, melakukan melek bengi (bangun dan terjaga pada malam hari, berjalan ke luar rumah tanpa alas kaki), dan pada pukul dua dini hari berdoa agar diberi kekuatan dan kesehatan. Dia juga selalu menjaga tubuh dan menyempurnakan penampilan panggungnya: kebaya kutubaru, sanggul modern, dan riasan kosmetik untuk panggung. “Saya tidak pernah mau dirias orang lain. Setiap mengusapkan bedak di wajah, saya selalu baca alfatihah,” ungkapnya. Di sisi lain, bersama Bintang Keroncong ia melakukan transformasi musik keroncong yang sebelumnya dikenal bergaya lambat menjadi lebih ritmis. Ia menyebutnya lebih kencring.
Sepanjang 1958-1995 ia sudah merekam lebih dari 1600 lagu. Ia memutuskan berhenti kala mengetahui ada yang janggal pada industri rekaman yang menduplikasi kaset-kaset dalam bentuk compact (CD) dan tak sepeserpun mendapat royalty. “Saya selalu bersyukur karena tanpa rekaman pun undangan menyanyi masih terus mengalir,” ucapnya.
Kariernya yang sepertinya terang terus ini sebenarnya banyak menyimpan kisah sedih. Cerita tentang orang yang tak menyukainya hingga dilempar sandal diterimanya sebagai hal yang biasa. “Saya tidak memperlihatkan bahwa saya pinter, ngetop. Semua dirangkul. Saya sholat kalau ada yang tidak suka sama saya. Tapi yang pasti dalam diri saya selalu tak ada perasaan kalau saya dibenci oleh orang lain,” katanya sembari menambahkan bahwa aura keikhlasan itu akan terpancar di wajah. Ia menyebutnya pamor. “Jadi kesuksesan saya bukan karena susuk. Tapi karena kosmetik. Dandan. Dari dalam.”
Baginya, peristiwa terberat dalam hidupnya terjadi ketika anak satu-satunya perempuan, yang menuruni suara emasnya, meninggal dunia. Kejadian yang amat mendadak ini sempat memukul perasaannya sehingga ia mengurung diri, tak mau menyanyi lagi. Kesedihan itu masih terpahat saat ia mengisahkan. Air mata yang menggenang langsung diusapnya dengan cepat. “Suaranya bagus banget. Mungkin hidupnya dia yang pendek untuk menyambung kehidupan saya…”
Kesadaran itu pulih saat keempat anak lainnya yang masih kecil-kecil merangkul. ”Kalau Ibu nggak mau nyanyi lagi, siapa yang akan menghidupi kami?,”ia menirukan pernyataan yang amat memukul jiwa. Selama ini, padanyalah seluruh keluarga besar sejumlah 32 orang menyandarkan hidup padanya. “Saya senang bisa menghidupi orang lain, baik dari urusan sekolah sampai ngunduh mantu, karena saya diberi keistimewaan luar biasa oleh Yang di Atas,” ujarnya.
Anak ketiga We, Erlangga Tri Putranto, mengisahkan berbagai masa sulit kehidupan sebagai seorang penyanyi yang dilewati We dengan penuh ketegaran. Pertama ketika kontrak di LCC Night Club, Surabaya, yang selama ini menjadi andalan tiba-tiba diputus di tahun 1975. “Akhirnya dengan upaya keras Ibu mampu kembali membuka jaringan baru hingga akhirnya bisa rekaman lagi,”ujar Erlangga. Delapan tahun kemudian, We mengalami masa surut nyanyi sehingga sang suami terpaksa bekerja sebagai supir travel. “Namun pengalaman yang paling menyentuh adalah ketika Ibu yang saat itu sedang sepi order rela menjual gelang-gelangnya untuk membiayai kuliah saya,” ungkap Erlangga, kini Direktur Utama PT Phapros Indonesia.
“Masa terberat lainnya adalah ketika saya memutuskan untuk menikah lagi, setelah suami meninggal karena sakit,” kata we yang pernah merasakan sulitnya seorang janda menjadi penyanyi, sementara masih banyak keluarga menyandarkan diri padanya. “Sepanjang hidup saya tidak memikirkan diri sendiri, itu benar. Bagi saya membuat orang lain bahagia merupakan kebahagiaan buat saya..” dan baginya menjadi penyanyi menjadi saluran ekspresi yang paling tepat. “Menjadi penyanyi, menjadi penghibur. Menghibur itu membuat saya hidup. Dengan menyanyi saya bisa mengisi jiwa. Jiwa saya akan ikut gembira, dan itulah kebahagiaan yang luar biasa. Mengisi hati, padahal hatiku sedih….” Istri Hadiyanto ini lalu tersenyum.
Walau perasaannya sakit, ia harus tetap bersikap profesional. “Setiap lagu harus diresapi,” ujar We yang punya penampilan panggung dan penghayatan yang baik terhadap setiap lagu yang dinyanyikan, sehingga kadang terasa kabur batasan antara ekspresi diri dengan sosok dalam lagu tersebut. Ia yang selalu menghibur orang lain ini rupanya sedang menghibur dirinya sendiri dengan berbagai lagu yang dinyanyikannya. Lalu ia bercerita tentang hati dan jiwanya yang remuk karena berbagai persoalan yang tak semestinya diungkap dalam artikel ini. Ia selalu tersenyum. “Jadi senyum palsu ya…,”ia tertawa.
”Aji pura-pura …seolah selalu bahagia.. padahal hati sedang remuk redam,” katanya. Dalam kehidupan panggung seperti yang dilaluinya ia bilang harus pura-pura selalu. Selalu pura-pura, hanya di permukaan saja. Ia tidak mau memperlihatkan ke publik tentang masalah yang mungkin terjadi pada dirinya. “Alhamdulilan dengan situasi ini saya tidak ada gossip. Karena saya meniti dari nol sampai terkenal, jangan sampai ada cacat.” Lalu bagaimana dengan aji jinak-jinak Merpati? We tersenyum. “Itu salah satu kunci kesuksesan saya. Harus begitu. Saya sangat hati-hati, disiplin, dan menjaga hubungan dengan penggemar.”
Beberapa tahun terakhir, ia diminta oleh berbagai grup keroncong untuk menjadi Ketua Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri). Setelah diangkat, ia langsung mengadakan tur bersama ke-12 anggota tersebut bergantian, dan akhirnya mendapat slot di televisi lokal. “Yah begitulah, saya turun ke bawah, dan bersama-sama menghidupkan keroncong,”tuturnya. September lalu, Hamkri berhasil menyelenggarakan Solo International Keroncong Festival, dan mengundang penyanyi-penyanyi dari manca negara seperti Australia, Italia, Hongaria, dan Jepang.
Segala hal yang telah dilakukannya seolah mempertanyakan kembali sebuah pernyataan yang pernah dilontarkan oleh seniman Rendra dalam sebuah ceramah di ASKI akhir tahun 1960-an. “Kesenian Waldjinah adalah kesenian gintju, tjuma kulit luar melulu!”. Kesenian gincu itu ternyata berlanjut sedemikian panjang dalam sejarah. Hingga kini, Waldjinah masih tetap terdepan. Ia tidak egois, bahkan terus membina generasi baru di garasi rumahnya, tanpa pernah menanti bantuan dari pihak pemerintah. Namun ia sendiri tidak setuju anak kandungnya mengikuti jejak di bidang seni yang dalam pandangannya hanya sanggup dihadapi oleh orang-orang yang berjiwa kuat, bahkan sangat kuat.
“Muga-moga sepeninggal saya ada lagi orang yang bisa memberi nyawa pada keroncong. Saya mohon itu ada.” Rupanya, belum usai perjalanan. “Gincu merah” itu pun bukan hal mudah untuk diwujudkan. (Rustika Herlambang)
Fotografer: Suryo Tanggono. Lokasi: Keraton Susuhunan Surakarta.
Leave a Reply