Kebahagiaan Sejati
Senyuman mereka itu bahkan lebih berharga dari sekadar angka trilyunan rupiah
Tak pernah menyerah. Kalimat itu ditandaskan oleh Tri Mumpuni pada sebuah surel yang dikirim menjelang diri hari untuk menggambarkan dirinya sendiri. Rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan wawancara yang hanya sempat terjadi dalam perjalanan dari Hotel ShangriLa menuju rumahnya membuat ia rela menggunakan waktu malam untuk menjawab berbagai macam pertanyaan. Aktivitasnya belakangan ini kian padat. Puni, nama panggilan Tri Mumpuni, pengusaha sosial, penerima penghargaan Ramon Magsasay (2011), Climate Hero 2005 dari World Wildlife Fund for Nature, dan satu-satunya pengusaha yang dipuji Presiden Barack Obama ketika berkunjung ke Indonesia.
Segala penghargaan diterima Puni dengan sikap yang selalu bersahaja. Meski banyak melakukan pertemuan-pertemuan dengan tokoh dunia seperti Madeline Albright (menteri luar negeri Amerika Serikat) dan pertemuan tingkat tinggi dunia lainnya di berbagai negara, tak ada yang berubah pada penampilan maupun gayahidupnya. Ia tetap saja rendah hati. Hangat. Akrab. Tapi soal keluarga, ia masih tetap menomorsatukannya. Itu sebabnya, pertemuan mendadak dipersingkat karena suaminya, Iskandar Budisaroso Kuntoadji, bersamaan pulang dari Rwanda. “Saya sudah dua minggu tak bertemu Mas Is. Kami harus buka puasa di rumah,”ujarnya sembari meminta maaf.
Puni dikenal dunia karena aktivitas sosial yang dilakukan bersama sang suami, Iskandar. Ia membangun pembangkit tenaga listrik tenaga Mikro Hidro melalui Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) di lebih dari 60 lokasi terpencil di Indonesia dan satu lokasi di Filipina. Tujuan sebenarnya adalah membangun potensi desa sehingga rakyat berdaya secara ekonomi dengan kekuatan sendiri. Pembangkit dibuat dari tenaga air, sehingga agar terus berfungsi sepanjang tahun, daerah tangkapan air di hulu harus dipertahankan seluas 30 km2. Ini artinya, sepanjang daerah tersebut tidak boleh ada penebangan hutan. Di tengah isyu pemanasan global, apa yang dilakukan sangat signifikan. Apalagi ia menggunakan teknologi ramah lingkungan dan tidak menggunakan bahan dasar fosil.
Saat ini, ia juga membangun lembaga baru Menerangi Indonesia yang melibatkan perempuan mapan dan berkecukupan untuk berbagi pemikiran dan materi yang mempercepat Indonesia menuju arah yang lebih baik. Di sisi lain, ia melakukan kerjasama dengan program Cahaya 1000 Desa bekerjasama dengan Al Azhar peduli Ummat.
Terus terang, katanya, pertemuan dengan dunia pelistrikan terjadi begitu saja. Kejadiannya bermula di sekitar tahun 1990 saat ia mengikuti suami berjalan-jalan di sebuah daerah di Swiss. Puni, lulusan jurusan sosial ekonomi Institut Pertanian Bogor, yang ketika itu sudah bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam bidang kemanusiaan takjub pada para petani yang memiliki pembangkit listrik sendiri. “Pembangkit digunakan untuk menggiling gandum pada musim panas, sementara di musim dingin di jual ke kabupaten, ”ia mengutip kata-kata petani Swiss yang kemudian mengusik nuraninya. “Ini harus diterapkan di Indonesia,” tegas Puni yang akhirnya menyatukan diri dengan aktivitas sang suami, insinyur listrik Institut Teknologi Bandung, melalui Ibeka.
“Awalnya Ibeka tidak berkembang, sering tombok. Karena melihat Puni punya potensi, punya kemampuan lobi, suaminya mengajaknya bergabung. Mas Is menguasai teknologi dan sangat kental konsep pemberdayaannya, Puni memberikan visi dan sentuhan sosialnya,” Adik kandung Puni, Panca Saktiani, yang kini menjadi aktivis lapangan bersama Puni mengisahkan.
Meski punya visi amat mulia, tidak mudah untuk menerapkannya. Perjuangan berat dan panjang. Sebaik apapun konsepnya, tanpa dukungan pemerintah yang memiliki kebijakan tidak akan pernah bisa berkembang. Berkali-kali melakukan presentasi dan ditolak. “Mungkin orang sudah muak melihat wajah saya yang terus-terusan meminta agar diberikan ijin menjual listrik pembangkit milik rakyat. Direktur PLN (perusahaan listrik Negara) sudah tiga kali ganti, tak kejar terus,”ujarnya. Ijin baru diterima pada masa Koentoro Mangkusubroto (2000), dan dengan demikian rakyat bisa mendapat penghasilan tambahan dari pembangkit tersebut. ”Saat bicara di depan Obama saya katakan, Saya sabar menunggu selama apa yang saya inginkan bisa saya dapatkan,” Ia tertawa.
Wilayah eksperiman pertama jatuh pada kota Subang. Alasan ini terjadi lebih karena kepraktisan. Suaminya sedang bertugas di sana. “Pekerjaan”-nya pertama kali adalah mengajari rakyat setempat untuk membuat surat ijin membuat pembangkit untuk Bupati. Di sisi lain, ia membentuk komunitas setempat, melakukan training teknologi dengan cara sederhana, mengajak kerja bakti untuk mewujudkan pembangkit, dan melakukan penyadaran rakyat akan lingkungannya. Proyek dilakukan dan dikelola oleh kelompok rakyat tersebut, dan membentuk sebuah sistem perekonomian kerakyatan. Setelah proyek bisa berjalan lancar, Puni melakukan perjalanan ke daerah-daerah lain. ”Jadi kalau ditanya mengapa saya tertarik pada listrik adalah… karena saya ingin bersama mas Is selalu.. ha ha ha..”
Berbicara tentang pemberdayaan rakyat, ujarnya, perlu sebuah konsistensi. Seperti pengalamannya, diperlukan daya tahan yang luar biasa terhadap berbagai tekanan yang ada. “Konsistensi itu harus istiqomah. Yakin dengan pilihannya dan pilihannya yang benar,”ia mengungkapkan rahasia kekuatannya. Selama itu pula ia bergerak sendirian, menuju ke masyarakat, dan memberikan kesadaran bahwa kemiskinan bisa dientaskan dengan kebijakan yang berpihak pada mereka. Di sisi lain, ia harus berjuang untuk mengubah kebijakan negara. “Saya percaya, kemakmuran rakyat tergantung pada kebijakan negara, “ ucapnya Puni yang di lapangan penuh dengan cerita “drama” perjuangan, berhadapan dengan preman, aparat, masyarakat, dan masih banyak lagi.
Selain listrik, masih banyak kegiatan yang dilakukan. Fokus kepeduliannya terletak pada pengembangan pedesaan. Hanya memang listrik menjadi salah satu kegiatan yang dianggapnya paling ”seksi”. ”Kalau gelap gulita, kesannya merana. Padahal kemiskinan bukan hanya sekadar kekurangan listrik, tapi juga asset,” ungkapnya. Program yang dimaksud adalah Global Oasis, yaitu memberi akses tanah pada penduduk miskin agar bisa menanam pohon produktif dan setelah 5-6 tahun, mereka bisa memanen pohon dengan pendapatan ratusan juta rupiah. Saat wawancara, ia tampak beberapa kali melakukan koordinasi lapangan untuk membebaskan rakyat di daerah Setu, Semarang, untuk tetap memiliki lahan menggarap sawah dari tekanan developer pembangunan.
“Program di sini adalah bagaimana petani tetap memiliki tanahnya sehingga rayuan gombal untuk beli motor yang kinclong bisa kita redam,” lanjutnya. Ia prihatin pada konsumerisme yang terus menjajah rakyat kebanyakan. Motor bisa rusak, tapi tanah yang subur bisa menghidupi sepanjang tahun. Untuk menghadapi persoalan itu, ia akhirnya membeli tanah seluruh petani tersebut dan menghibahkannya pada pemilik tanah untuk tetap bercocok tanam.
“Ternyata domain-ku pria banget ya.. waktu ada pendirian MKI, Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia, saya satu-satunya perempuan,” ujar Puni, Vice Chair untuk program Presiden Obama untuk negara-negara muslim (Partners for the New Beginning). Saat ini ia menjabat sebagai Dewan Wali Amanah di Komite Keselamatan Ketenagalistrikan Nasional (Konsuil), anggota Dewan Nasional Sumber Daya Air, Komite Inovasi Nasional, MKI, dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Di luar itu ia juga menjadi pengajar di beberapa universitas di Amerika, Singapura, dan Malaysia. ”Di Indonesia, saya lebih kepada berbagi pengalaman kepada mahasiswa S2 di beberapa universitas.”
Sepanjang jalan menuju rumahnya, Puni bercerita aktivitasnya dengan nada yang penuh semangat, dan sedikit meledak-ledak apabila menyinggung persoalan kerakyatan. Ia lebih banyak menggunakan istilah rakyat ketimbang masyarakat atau komunitas pedesaan. Gaya bicaranya berubah total ketika ia berkisah tentang perjalanannya selama ini ketika berhadapan dengan banyak pihak di Indonesia. “Tapi kini saya sudah tahu rahasianya. Kalau akhirnya proyek kerakyatan ini berhasil, kita harus mencari pejabat yang bisa mengatakan “ya” ke kita.” Ia berkata dengan menggebu-gebu.
“Bicara rakyat, buatku sangat seksi,” katanya kemudian. “Kamu bisa membayangkan betapa bahagianya ekspresi mereka ketika mendapat listrik. Ini sebuah kekayaan yang tak bisa dirupiahkan dengan apapun,” ujarnya, lantas terdiam. Sesekali terpikir dalam benaknya, mengapa ia bisa begitu mencintai rakyat miskin, hingga ia akhirnya mendapat jawaban. “Saya ingat pesan almarhum ayah, “Tuhan menciptakan rakyat miskin jumlahnya jauh lebih banyak dari orang kaya. Maka kalau bisa, bekerjalah dengan mereka. Doa mereka pada Tuhan tak bersekat. Kamu bisa membayangkan bila didoakan oleh mereka”.”
Puni amat berbinar-binar ketika berbicara tentang orang tuanya. “Almarhum Bapak selalu mengatakan bahwa yang paling membahagiakan dalam hidup adalah apabila kita selalu bisa berbagi,”ia mengutip pesan ayahnya, dalam bahasa Jawa kental. Sejak kecil, anak ke tiga dari delapan bersaudara ini mengaku sering hidup bersama dengan orang-orang dari desa yang disekolahkan oleh ayahnya. Ia rela berdesakan di kamar adiknya karena kamarnya digunakan orang lain. Padahal mereka juga bukan saudara. “Apabila mereka sekolah dan lulus, kelak mereka akan mengatasi kemiskinan di keluarga dia,”ia mengutip kata-kata ayahnya.
Dari sang Ibu, ia diajarin untuk selalu memberi. Memberi itu tidak mudah. Tidak hanya soal materi, tapi juga waktu dan tenaga. Ia sering mengikuti aktivitas ibunya saat mengajar orang-orang buta huruf, melayani Posyandu, dan berkeliling kampung memberikan pengobatan anak-anak yang memiliki koreng. “Saya ingat bagaimana ekspresi seorang pembantu rumah tangga ketika bisa membaca tabloid gossip untuk pertama kalinya,”ia terkekeh. Tapi ia enggan menceritakan bahwa ibunya sering memberi pinjaman modal untuk pemilik-pemilik warung dan ia bertugas untuk menagihnya. “Jangan nanti dianggap menyaingi Grameen Bank, katanya tertawa, menyebut aktivitas yang dilakukan oleh pemenang nobel asal Bangladesh, Muhamad Yunus.
“Makanya saya meniru kebiasaan itu. Ikut menyekolahkan, beberapa anak asuh sudah jadi sarjana. Menurutku itu salah satu cara bersyukur,” ucapnya. Keramaian itu terasakan ketika dewi berbuka puasa di sana. Duduk satu meja, anak angkatnya yang masih duduk di sekolah dasar, dan seorang perempuan asal Surabaya, Devi, yang tengah melakukan riset pengembangan coklat di Jakarta. Dua anak kandung Puni kuliah di Kanada dan Malaysia.
“Dalam hidup, ada tiga hal yang membuat saya bahagia. Ini karena saya mau membagi tiga hal,” katanya tiba-tiba. Pertama, berbagi senyum. Senyum yang gratis menebar aura positif, memberikan kebahagiaan untuk orang di sekelilingnya. Kedua, berbagi ilmu. “Saya dan Mas Is filosofinya sama, makanya kami menikah. Teknologi harus didekatkan kepada rakyat,” tegasnya. Ketiga, berbagi rejeki. “Semakin banyak berbagi rejeki, semakin kaya. Percaya deh!,” katanya senang. Lalu menitip harap, “Saya ingin rata-rata perempuan Indonesia juga menganut tiga hal tersebut. Saya yakin kemiskinan pasti bisa diatasi.”
Dari balik kaca mobil, ia memanggil tukang papaya di pasar Palmerah yang dilewati setiap hari, dan memberikan uang sepuluh ribu. “Satu papaya untuk buka puasa ya, Pak,”ia berkata. Dan ia kembali menerima sebuah papaya cantik yang kemudian ditunjukkannya dengan bangga. ”Inilah artinya kalau kita percaya.” Ia memberi keyakinan akan kebenaran tidak dengan kata-kata penuh busa, melainkan melalui tindakan nyata. (Rustika Herlambang)
Stylist: Raden Prisya. Make up Artist: Evelyn.
excellent
Reblogged this on catatan perjalanan and commented:
Tidak sengaja mampir di tulisan ini. Sangat menginspirasi..
[…] yang sesungguhya. Lihatlah dan belajarlah dari jalan pikiran ibu yang luar biasa ini disini, disini, disini, disini, disini, dan […]