Persembahan Kehidupan
Ia serahkan hidupnya hanya untuk satu kata: seni, yang telah membebaskannya dari segala malabencana
Kenangan amat mengesankan menggenangi perasaan Heri Wardono. Kala itu ia melihat air danau kecoklatan perlahan-lahan berubah menjadi biru toska yang memberinya rasa damai dan sejuk. Ia bisa berenang, bahkan rasanya seperti terbang! Jauh di seberang, ia melihat kawan-kawannya menatap padanya. Dalam hati penuh kemenangan, ia bertekad menyeberangi lautan, membuktikan kekuatan. Setiap gerakan yang dilakukan seperti adegan slow motion film The Six Million Dollar Man. Pemandangan begitu indahnya. Begitu beningnya. Begitu heningnya. Pengalaman ini sungguh luar biasa.
“Mungkin pengalaman itu yang membuat saya menjadi seniman,” Heri Dono tersenyum, mengisahkan halusinasinya ketika tenggelam di danau Ancol, 40 tahun lalu, dan membuka percakapan mengenai dirinya sendiri pada suatu siang di Nadi Galleri, Jakarta. “Bapak hampir frustasi, sampai akhirnya menubruk tubuh saya yang sudah lemas,”katanya meneruskan. Waktu itu tipis sekali kemungkinan ia bisa bertahan dalam lumpur yang pekat. Tapi ia berhasil diselamatkan. Meski sesudahnya, ia harus banyak berurusan dengan obat-obatan dan…paranormal!
Kini, Heri, 51 tahun, adalah seniman kontemporer Indonesia generasi 1980-an yang dikenal dalam kancah seni kontemporer dunia hingga saat ini. Sejarah mencatat namanya sebagai salah satu seniman avant garde dunia versi Artlink, majalah senirupa terbitan Australia. Sementara itu, dalam buku bertajuk Fresh Cream (2001) ia masuk dalam kategori 100 seniman tersibuk di dunia. Baru-baru ini ia diundang oleh label Louis Vuitton untuk berpartisipasi dalam pameran Trans-Figurations-Indonesian Mythologies di Paris. Saat pertemuan ini berlangsung, ia baru saja pulang dari Berlin, dan seorang pemilik galeri dari Belanda tengah menemuinya. Bulan depan, ia pameran tunggal di Amsterdam.
Dalam sejarah senirupa Indonesia , prestasi Heri terbilang langka. Bisa dihitung dengan jari, seniman yang sanggup mempertahankan eksistensi hingga puluhan tahun lamanya, tanpa tergeser sedikitpun. Ia beradaptasi terhadap kebutuhan suara zaman, dari generasi demi generasi, dan menampilkan karya-karya yang terus berubah. Banyak pengamat mengatakan bahwa kekuatan Heridono terletak pada keberaniannya untuk membebaskan dirinya dari apa yang disebut komersialisasi karya seni dan menempatkan karyanya sebagai ekspresi pribadi atas kegundahannya pada masalah lokal dunia ketiga, khususnya bidang politik. Patut dicatat pula, ia adalah seniman segala media: melukis, mematung, membuat wayang, instalasi dan seniman suara, meleburkan segala batas.
Ia tampak puas dengan pencapaiannya selama ini. “Memang sejak dulu saya bercita-cita menjadi seniman sejati,”katanya. Keinginan ini tumbuh saat ia sering berada di Taman Ismail Marzuki pada pertengahan tahun 1970-an dan melihat sosok seniman besar seperti Harry Roesli, WS Rendra, Nashar, dan Roesli. Di mata Heri, para seniman itu menemukan hal-hal baru setiap hari. Tidak ada rutinitas seperti halnya pegawai negeri atau tentara. Profesi seniman juga tidak pernah pensiun, tidak bisa dipecat oleh institusi apapun, dan selalu sederajat dengan siapapun. “Saya memang mau mencari pekerjaan yang independen. Dan ini artinya saya mencoba mencari kemerdekaan untuk diri saya. Menjadi seniman adalah jawabannya.”
Keinginan ini hampir tak ada resistensi dari keluarga besar Heri. Ada satu cerita yang kemudian disampaikan oleh ibunda Heri, Suwarni, berkaitan dengan anak ke lima dari tujuh bersaudara itu. “Dia itu nyowo balen,” tutur Suwarni. Nyowo balen artinya nyawa kedua atau kehidupan yang kembali. Waktu umur 2 tahun, Heri terkena kejang demam, sehingga hampir merengut nyawa. Setelah itu, ia harus banyak berurusan dengan obat-obatan karena tubuhnya amat rentan. Belum sepenuhnya sembuh, ia sudah tenggelam di danau seperti cerita di atas. Dua kali, ia berada di ambang maut. Setiap kejang tangannya selalu bergerak-gerak seolah mau tenggelam dan seperti menjadi seseorang yang lain- itu sebabnya ia sering didatangkan “orang pintar”.
Lucunya, kisah Suwarni, setiap kali sakit, Heri tidak pernah merengek seperti anak lainnya. Sebaliknya, ia selalu meminta gunting. Lalu semalaman ia menggunting-gunting gambar-gambar dari majalah Lufthansa, langganan ibunya, dan menempelkannya pada seluruh dinding kamar orangtuanya sepanjang malam hingga pagi hari. Hal ini hanya dilakukan hanya pada saat sakit! Bisa jadi kreativitas masa kecil inilah yang menjadi cikal bakal pengembangan bakatnya. Tapi apakah demikian ia punya bakat? Sulit diduga, karena nilai menggambar di ijazah dan di rapornya merah. Tapi ia tak pernah kapok dan terus menggambar mengikuti suara hatinya sendiri.
Ibu adalah nama yang terus disebut ketika mengisahkan masa lalunya. Dari ibunya pula ia dapat pengetahuan tentang dunia wayang dengan sangat fasih. “Ibu bisa bahasa dan huruf Jawa Kuno sehingga bisa membaca kitab karya sastra lama. Dan tiap hari, Ibu mencekoki saya dengan cerita-cerita wayang,”ia tertawa. Suatu saat kelak ia akan merasa bersyukur karena bekal inilah yang menginspirasi semangat dalam karya-karyanya. Sementara dari ayahnya, tentara dan ajudan Presiden Soekarno untuk Hartini, memberinya banyak pengalaman bersentuhan dengan karya-karya seni maetro yang ada di Istana Bogor di mana ayahnya bertugas.
Tahun 1978 ia mengumumkan kredo seniman, bahwa ia akan memutuskan hidupnya hanya untuk seni, dua tahun sebelum bergabung di STSRI “ASRI” (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia, kini menjadi Institut Seni Indonesia ISI di Yogyakarta. Bisa ditebak, ia menikmati dirinya terlarut dalam tugas-tugas, membuat skets, melukis, berkarya, tak mau didikte, dan mencari kebaruan. Meski karyanya dinilai pas pas-an, dan ia tak peduli, karena punya pandangan tersendiri.
Lalu bagaimana kondisinya? Ia sehat sama sekali! “Saya pikir dulu saya sakit-sakitan karena keberatan nama,”katanya, setengah serius dan setengah bergurau. Heri Wardono, nama yang berasal dari perpaduan nama kedua orang tuanya, Sahirman dan Suwarni, itu dianggap Heri terlalu berat. Ia menjelaskan, Her, adalah kata paling tua, seperti Hera di Yunani atau Her di Jerman. Wardan artinya kebaikan. War dalam bahasa Inggris artinya perang. “Setelah pakai nama seniman, Heri Dono, saya jarang sakit.” Ia tertawa. Seniman postmodern ini memandang persoalan dirinya pun dengan pendekatan postmodern.
Tahun 1984 ia frustasi ketika melihat tidak ada lagi eksplorasi di kampusnya, kecuali hanya mengulang-ulang teknik yang ada. Karena banyak berpikir, stress, ia sakit (lagi), dan kembali ke Jakarta. Selama setahun ia non aktif dari Asri dan mengambil pendidikan bahasa Inggris di Akademi Bahasa Asing Jakarta, hingga mendapat pencerahan. “Saya pikir persoalan teknik dalam seni lukis sudah selesai. Tapi seni sebagai media ekspresi tidak akan pernah selesai,” ia kembali ke kampusnya, dan beruntung, mendapatkan mata kuliah senirupa pertunjukan. Sesuai dengan kelahiran seni postmodernism di barat (sic!) ia memutuskan untuk meleburkan semua seni menjadi satu dan melakukan berbagai eksperimen. Pameran tunggalnya terjadi di tahun 1988 di Cemeti Gallery, Yogyakarta .
Awal berkariernya didasari oleh inspirasi yang berasal dari kartun, lalu berlanjut pada wayang – sesuatu yang amat dekat dengan dirinya. Ia mengekpsplorasi bentuk-bentuk wayang sehingga menjadi sebuah kisah tersendiri yang hanya ada dalam kanvas Heri Dono. Pada kesempatan yang lain ia meleburkan berbagai seni yang ada dalam wayang, yakni seni sastra, seni peran, seni musik, seni tutur, seni lukis, seni pahat, dan seni perlambang ke dalam karya-karya instalasinya, dan ini menjadi salah satu terobosan baru pada masanya. Ia percaya, kesenian adalah sesuatu yang kompleks, bukan hal yang dikotak-kotakkan. Ia tidak mencari inspirasi ke berbagai dunia antah berantah. Inspirasi itu berasal dari lokalitas yang diberinya spirit kebaruan dengan semangat kebebasan. Tradisi lokal tidak ditafsirkan sebagai sesuatu yang eksotik.
Selain bentuk, ia mengisinya dengan berbagai pesan. “Dulu ada kelompok Lekra yang membuat kesadaran hidup dalam politik melalui partai. Saya ingin bisa memberikan sesuatu yang bisa memberikan kesadaran politik melalui karya saya sehingga orang bisa memunyai sikap dan menciptakan suatu sikap, tapi di luar partai,” katanya. Keinginan ini, lagi-lagi, terinspirasi dari wayang, yang di dalamnya juga mengupas berbagai cerita kehidupan, mitologi filsafat hidup, kritik social, dan humor, dalam satu kemasan. Itulah yang terasa sangat Heri Dono dalam karya-karyanya. Ia lebih melihat perkembangan jiwanya sendiri ketimbang mengikuti arus besar yang terjadi. Pada titik inilah ia tidak terjerumus ke arah mode – yang sifatnya sementara.
Tentu bukan hal yang mudah untuk mewujudkan kesadaran tersebut pada masa Orde Baru. Ia pernah mengalami diinterogasi hingga berhari-hari ketika pameran di London. Ia juga pernah dilarang masuk ruang pamer dalam sebuah pameran yang diikutinya saat dibuka oleh Presiden Soeharto. Meski tak kapok, ia sangat terganggu karena bisa menimbukan paranoid. “Bagaimana kita bisa berkarya tapi dimata-matai, tak ada kebebasan berekspresi,”kata Heri yang memang dalam proses berkarya ia acap mengkritik pemerintahan Orde Baru tersebut.
Selain memperkuat kemampuan diri, ia juga membuka jejaring seni internasional. Maka bisa dipahami mengapa undangan berpameran ke berbagainegara tak pernah berhenti untuknya. Ketika residensi di luar negeri, ia selalu menyempatkan diri untuk menuju kediaman seniman-seniman dan mendatangi galeri-galeri: memperkenalkan diri, membawa CV, dan berdiskusi mengenai seni. Begitulah, ia selalu mengisi waktu dengan berbagai perjalanan seni yang seperti memberi nafas pada paru-parunya.
Hingga kini ia terus mengembara ke berbagai negara dengan karya-karya terbarunya. Berbeda dengan banyak seniman yang memilih berada di zona nyaman dengan mengikuti arus besar, sebaliknya dengan Heri. Ia memilih menjauh dari arus besar dan berusaha menciptakan kreasinya berbeda. Ini tentu sebuah tantangan untuknya, dan dia sangat menikmatinya, dan terasa tidak peduli dengan segala hal yang dibicarakan orang. Ia seperti tak peduli terhadap segala hal yang berbau komersial, bisa dijual. Berkarya bagi Heri adalah salah satu media untuk mengekspresikan eksplorasi estetika dari gejala-gejala kekinian dengan pesan kemanusiaan yang berusaha membangkitkan kesadaran baru bagi publik seni dan untuk mendapatkan sikap di dalam kehidupan, serta dapat memposisikan senirupa Indonesia dengan senirupa dunia.
Dengan segala hal yang diperolehnya, dengan karya seninya yang berbeda, ada satu hal yang sepertinya masih tak ada di dirinya. Cinta pada seorang perempuan. Ketika pertanyaan ini disampaikan padanya, ia agak tergagap. Meski kemudian, dengan tertawa dan menata kembali tempat duduknya, ia berdiplomasi. Perempuan yang istimewa baginya adalah seorang yang kreatif dan mandiri. Mengaku pernah pacaran, tapi belum memutuskan untuk menikah. “Kalau menikah itu saya harus bertanggung jawab, ada 80 persen waktu di rumah dan lain-lain, saya tak bisa,” ia belajar dari keluarganya.
Tapi begini, katanya tiba-tiba. “Seniman itu selalu menikahi Dewi Saraswati, dewi kesenian,” ia seperti mendapat jawaban. “Jadi katakan saja, Saya telah menikah dengan Dewi Saraswati,” Heri menjawab sambil mengangguk-angguk cepat, menyebut nama istri Dewa Brahma dalam kepercayaan lama. Mukanya memerah. Mungkin itu jawaban klise, namun bila merunut pada wayang yang menjadi arus utamanya dalam berkarya, ada hal lain yang tertujukan. Ma Hyang, asal kata wayang, punya arti mempersembahkan pada Yang Kuasa. Bisa jadi pilihan ini dilakukan untuk menebus kehidupan yang sempat hampir hilang dari dirinya. (Rustika herlambang)
Pameran di London di INIVA (Institute of International Visual arts) & di MOMA (Museum of Modern Art) di Oxford.
Salam kenal. saya Ratna Harwiyati, mahasiswa FSRD ITB. rencana akan mengkaji Heri Dono untuk tugas akhir, namun saya tidak memiliki kontak dan alamatnya. Jika anda memiliki kontak personnya atau alamatnya mohon dibalasa. dan saya juga berencana memakai sedikit kutipan dari tulisan anda. terima kasih.
Dear Mbak Ratna, silakan mengirimkan email ke Mas Heri, yang nanti akan saya sampaikan ke beliau. terima kasih
Halo, salam kenal. saya mahasiswi dari Arsitektur Universitas Tarumanagara, dalam rangka penyelesaian Tugas Akhir, saya ingin melakukan wawancara dengan Mas Heri, boleh minta CP nya? Proyek saya berjudul “Jakarta Contemporary Art & Cultural Center”, sekiranya Mas Heri dapat membantu saya dengan menjawab beberapa pertanyaan saya dalam wawancara. terima kasih.