Menuju Ke Akar Yudi Latif
Ia menemukan diri dengan cara menziarahi akar genetik dan sosial budaya yang telah menjadikannya
“Dalam kebimbangan arah hidup, jalan terbaik pulang ke akar.” Sebuah ungkapan Yudi Latif di laman twitter seperti memberi jalan untuk mengenalnya dengan lebih baik. Berbagai peristiwa dan sekaligus sejarah dirinya dalam memberi warna dalam percaturan intelektual di Indonesia pun tak lepas dari pernyataan ini. Aktivitas terakhirnya ialah ketika ia meluncurkan buku terbarunya: Negara Pancasila (NP). Di tengah situasi sosial politik Indonesia saat ini, kelahiran buku yang mengupas tuntas mengenai Pancasila menjadi jawabannya: mengembalikan Indonesia pada tempatnya, akarnya, jiwanya.
Selama ini Yudi dikenal sebagai intelektual Islam yang dikenal kritis dan cerdas. Ia adalah pendiri awal Universitas Paramadina, pendiri Yayasan Nurcholish Madjid, dan Reform Institute – pusat studi independent yang banyak melakukan penelitian di bidang politik. Salah satu karya desertasi yang kemudian dibukukan dengan judul “Intelegensia Muslim Indonesia dan Kuasa” dianggap oleh banyak pengamat sebagai salah satu buku fundamental yang mampu memotret kehidupan intelektual Islam Indonesia.
Di sebuah kafe di Jakarta Selatan, Yudi lebih banyak bercerita dengan antusias tentang Pancasila dibanding tentang dirinya sendiri. Nada suaranya spontan. Rasa percaya diri sangat terasa dalam setiap kata-katanya. Riuh suara di sekelilingnya tak sedikitpun menyurutkan hasrat untuk menularkan pengetahuannya. Sesekali diseling lengking tawa. Sampai pada sebuah kesimpulan, ia berkata serius: NP tidak saja sekadar menyajikan pemikiran tentang Pancasila, namun juga menyadarkannya bahwa inilah buku pertamanya yang mengupas tuntas tentang masalah kebangsaan.
“Belakangan saya sadar, muncul pandangan nasionalis dari diri saya,“ ucapnya. Ia mengambil buku NP dari tasnya, lalu tangannya menunjuk kata-kata dalam halaman persembahan. Tertulis: Tanda Terima Kasih, Kepada Ibu Pertiwi. “Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata.”
NP adalah buku “bumi”-nya.
Pernyataan dalam laman twitter di atas juga membuka tabir lebih dalam tentang akar kesejarahan dalam diri Yudi. Hingga tiba pada sebuah pemahaman bahwa berbagai jejak sejarah yang pernah dibuatnya bukanlah sebuah kebetulan, kesengajaan, melainkan sebuah garis tangan yang tak bisa dipisahkan – mengambil istilah Yudi. Ia dihadirkan dalam sebuah masa ketika sebuah sejarah melintas, baik untuk dirinya, keluarga, dan juga bangsanya.
Yudi yang lahir 47 tahun lalu, berasal dari keluarga heterogen dari segi afiliasi politik dan status sosial. Ibunya seorang penari dan penyanyi yang datang dari keluarga menak Sunda. Kakeknya adalah Kepala Kantor Inspeksi Pendidikan, lulusan sekolah Belanda yang sangat berorientasi politik ke Soekarno dan masuk PNI. Sementara sang ayah adalah seorang guru dari kalangan ulama yang memiliki pondok pesantren di Sukabumi, aktif dalam organisasi Islam, dan masuk dalam NU. Perbedaan ideologi semakin memuncak dipicu oleh ketegangan situasi politik di masa itu, sehingga kedua orang tuanya memutuskan berpisah.
Ibunya memilih mengikuti orang tuanya, pindah ke Banten. Yudi yang kala itu berusia 3 tahun dengan seorang adik lelakinya yang masih kecil tinggal bersama ayahnya di Sukabumi. Meski kemudian ayahnya menikah lagi dan ia memiliki saudara tiri hampir sebaya, tak sekalipun sang ayah membedakan kasih sayang di antara mereka. Satu hal yang tetap dilakukan ayahnya adalah terus aktif dalam organisasi, menjadi Ketua Koperasi Desa, dan ikut berkampanye untuk NU di tahun 1971. Dalam konteks masa itu, apa yang dilakukan ayahnya yang pegawai negeri itu amat berisiko. Tak jarang ia melihat ayahnya dijemput oleh petugas berseragam di rumahnya dan meninggalkannya selama berhari-hari.
Yudi kecil juga hidup berpindah-pindah dari satu tempat terpencil ke tempat terpencil lainnya mengikuti tugas sang ayah. Meski demikian, ia mengaku tak ada masalah dalam berhubungan dengan teman sebaya. “Rumah Bapak terbuka bagi siapa saja. Nyaris tiada hari tanpa obrolan dewasa, soal politik, sehingga saya terlalu cepat dewasa dari waktu yang sewajarnya,” ujar Yudi yang mengaku mengalami semacam psychological barrier untuk melewati masa kanak dengan natural. Dari Bapak pula ia ditanamkan tradisi baca dan menulis, pidato, puisi, dan mengikutkannya pada lomba-lomba. “Tradisi panggung saya sudah sejak kelas 1 SD.”
Yudi bertemu dengan ibu kandungnya ketika usianya 9 tahun, saat kakeknya pensiun dan kembali ke Sukabumi. Di akhir hayat, kakeknya menjadi sangat taat beragama, dan memintanya untuk terus mengaji. “Setiap saya kunjungi, selalu dia ceritakan bukan Al Quran, melainkan buku Di Bawah Bendera Revolusi. Lalu kami berdiskusi,” ia mengenang peristiwa yang paling berkesan tentang kakeknya, sebelum kemudian melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren Gontor, dan perihal diskusi ini dengan cepat terlupakan.
Ketika kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, wawasan Yudi kian terasah, dan ia menikmati hidupnya sebagai seorang aktivis mahasiswa. Ia kerap memberi orasi dalam beberapa demonstrasi, dan sempat diinterogasi karena aktivitasnya mementaskan puisi WS Rendra di tahun 1985. Hal lain yang sering dilakukannya adalah berkunjung ke rumah tokoh-tokoh seperti Gus Dur atau Nurcholish Madjid untuk berdiskusi dan belajar, tanpa sekalipun berharap jabatan. “Selain cerdas, kedekatan dengan banyak tokoh tersebut karena ia punya latar belakang santri, NU, dia Islam tradisional dengan pemikiran kritis, sehingga ada cita-cita yang sama yang menyatukannya,” sahabat Yudi, Idi Subandy Ibrahim, menjelaskan.
“Ia hampir mendapatkan hal-hal yang diinginkan,” ucap Idi sembari menjelaskan sebuah perbincangan di atas angkot ketika Yudi mengagumi pemikiran Nurcholish Madjid. Beberapa tahun berikutnya Yudi menjadi orang terdekat Nurcholish dan dialah yang merumuskan Universitas Paramadina. Meski tak jadi memimpin universitas yang pernah dirumuskannya itu karena faktor internal yang tak dijelaskannya secara detail, kesibukannya juga tak berkurang. Ia menjadi dosen di beberapa universitas, menulis buku dan artikel secara produktif, dan asyik dengan Reform Institute dan yayasan Nurcholish Madjid.
“Sekarang saya mendapat manfaatnya, andai jadi rektor saya akan disibukkan dengan kegiatan administratif sehingga buku Negara Pancasila tidak akan terjadi,” katanya sambil tersenyum, lega. “Sudah selesai pertanggung jawaban saya sebagai orang Islam, dan sekarang sebagai orang Indonesia. Buku ini saya dedikasikan untuk Ibu Pertiwi. Bapak (Islam) itu ibarat langit bagi saya, dan Ibu adalah bumi,”ujarnya, sesuatu yang membawanya pada kisah masa lalunya.
“Tapi terus terang. Buku ini benar-benar tidak sengaja. Semuanya bawah sadar. Saya menulis pakai insting. Ternyata bawah sadar itu mempengaruhi banyak pilihan kita,” ujarnya. Diskusi masa kecilnya dengan sang kakek dan bayangan-bayangan itu berkelebat menjadi jembatan yang memberinya jalan untuk pulang sekadar mengenang sebuah nostalgia. Berbicara tentang negara. Tentang Di Bawah Bendera Revolusi. Seperti tertulis dalam blackberry massanger-nya, Join the past to build a new!.
“Ini memberi energi spiritual. Sesuatu yang mengendap di bawah sadar itu seperti energi yang memberi dasar intuisi,” dan ia percaya pada Albert Einstein bahwa intuisi lebih kuat dari pada pengetahuan karena dibangun melalui pengalaman. Apa yang ia lakukan seperti mengisi kisi-kisi lompatan-lompatan masa lalu, bagian dari akar darah dagingnya yang ternyata tak pernah menghilang dan justru menjadikannya digdaya, memberinya kekuatan. “Buku itu tak akan selesai kalau mengandalkan kekuatan pengetahuan karena terlalu banyak mengandalkan data tentang Indonesia.”
Ia lalu bicara tentang sejarah Indonesia dengan presiden Soekarno, mantan Presiden Indonesia yang juga pencetus Pancasila itu. “Saya ini ada kesamaan dengan Soekarno,” ia tertawa. “Orang yang banyak menggunakan daya pikir dalam hidupnya, sebenarnya juga infantil, kekanak-kanakan. Bila di panggung dia sangat ekstrovert, sebenarnya ada sesuatu yang ditutupi. Dia memerlukan segi romantik, segi percintaan yang luar biasa, ha ha ha,” ujarnya sembari menyamakan masa lalunya dengan Soekarno yang juga mengalami kurangnya pengasuhan dari ibu.
Dulu ia amat menyukai perempuan aktivis: seseorang yang bisa diajak berdiskusi dalam segala hal. Tapi pengalaman menyadarkannya bahwa dalam batas tertentu hal itu menyenangkan, namun ketika aroma meja makan diisi oleh banyak perdebatan, akan menjadi sangat melelahkan karena aktivitasnya di luar rumah pun berkisar tentang diskusi dan keilmuan. “Saya rindu perempuan rumahan,” ucap Yudi yang pernah gagal dalam perkawinannya.
Cinta romantis rupanya menjadi salah satu persoalan dalam dirinya. Role model yang didapat ayahnya, cinta adalah memberi makan pada orang miskin, dan bukan dalam bentuk belaian ataupun pelukan. Padahal hal itu, menurut Yudi, sangat signifikan. Dan untuk melengkapi kehidupannya, ia menginginkan perempuan yang bisa mengisi kekurangannya. Perempuan itu adalah Linda Natalia Rahma. “Ia mantan Ratu Kebaya Jawa Barat loh,” tutur Yudi, bapak empat anak dengan bangga, sesuatu yang mengaitkannya pada hal-hal yang dicintainya: keindahan dan seni.
“Saya sebenarnya adalah mahkluk paradoks,” katanya tiba-tiba. Lalu menjelaskan kalimatnya. Meski terlihat banyak punya teman, hal itu adalah bagian dari pertemanan tingkat publik. “Dari segi personal yang intim, saya sangat menggunakan bahasa hati,” katanya. Pun dengan buku-buku yang ditulis. Semua berasal dari suara hatinya, suara jiwanya. Pertanyaan kemudian bermunculan. Bila akhirnya ia menuliskan “bumi” di sini, benar sedang rindukah ia pada “ibu”-nya, ataukah sebuah tali kasih yang akhirnya mempertemukan “langit” pada “bumi”-nya?
Suasana siang kian panas. Ia terdiam di tempat duduknya yang berada tepat di bawah Poster Soekarno dengan bendera merah putih dengan posisi memunggunginya. Kepala Soekarno terlihat menengok ke samping kiri, seolah tak sabar ingin segera mendengar jawaban Yudi. (Rustika Herlambang)
Lokasi: TRF Dinner, Citos. Foto: Anton Jhonson. Stylist: Raden Prisya.
Untuk Peringkat Negara yang bersih korupsi, Indonesia menduduki peringkat 5 sebagai Negara yang bersih dari korupsi.
[…] Natalia Rahma yang pernah menjadi Ratu Kebaya Jawa Barat itu meninggal dunia di usia 47 tahun. Linda Natalia Rahma menikah dengan Yudi Latif dan dikaruniai […]