Istana Rahasia Julian Aldrin Pasha
Perjalanan hidup ini adalah benar-benar pilihan saya. Dunia yang saya inginkan. Bukan karena tak ada pilihan.
Di tengah telepon yang sering berdering.
Senja menyapa pelataran istana Merdeka, ketika akhirnya Julian Adrin Pasha, Juru Bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menampakkan dirinya. Ia berjalan cepat dari kejauhan, seperti merasa sangat bersalah karena pertemuan yang dijanjikan pada pukul empat sore harus mundur hingga lebih dari satu jam kemudian. Sedikit keringat meleleh di keningnya yang bersih, dan ia mengusap dengan sapu tangan yang diambil dari saku celana. “Maaf, saya terlambat,” ujarnya.
Kondisi istana saat itu tengah sedikit terguncang akibat berbagai rumor pemberitaan negatif mengenai Presiden SBY, mulai kisah SMS fitnah hingga kasus korupsi Nazaruddin, bendahara umum partai Demokrat yang didirikan atasan Julian tersebut. Dan ketika perbincangan ini terjadi, ia baru saja bertemu dengan Presiden SBY. Entah apa yang dibicarakan, namun kepenatan masih tergurat di wajahnya. “Presiden sedang banyak dibicarakan dalam hari-hari terakhir ini, posisi juru bicara yang melekat dengan presiden pun ikut pula merasakan berat,” ujarnya dengan nada ringan.
Saat di depan kamera, ia sudah berhasil menguasai diri. Ia berjalan menyusuri lorong panjang di depan teras istana dan terbentuklah sebuah pemandangan dramatis dalam pantulan matahari senja yang menerpa sebagian tubuhnya. Ia terlihat segar dalam balutan setelan jas hitam keabuan senada dasi yang dipadu dengan kemeja putih. Setiap pose yang ditampilkan terasa wajar dan tidak dibuat-buat. Perbincangan dilanjutkan di sebuah ruang meeting di Binagraha. Suasana lebih mencair sekarang.
Sikapnya santun. Setiap perkataan yang terlontar seolah dipikirkan dengan matang, kendati untuk menjawab pertanyaan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Dalam berbagai pemberitaan di media, Julian dikenal sebagai salah satu juru bicara presiden yang paling kalem, tak banyak bicara, ataupun mencari perhatian. Sebaliknya, ia amat tenang dan pandai berkelit apabila mendapatkan pertanyaan yang tak wenang dijawabnya.
“Saya tidak menemui kesulitan dalam berkomunikasi dengan wartawan. Pengalaman sebagai dosen membantu saya dalam tugas ini. Sampai hari ini, yang saya rasakan sebagai kesulitan dalam tugas sebagai Jubir Presiden adalah menahan diri untuk bicara, khususnya menanggapi hal-hal yang tidak relevan,” ujarnya. Ibarat sedang terjadi turbolensi dalam mesin komunikasi yang makin canggih dengan hadirnya social-media, maka isu yang dimunculkan pun makin kompleks, ia melanjutkan. “Saya sebut “turbolensi”, karena sumir arahnya dan tidak jelas juntrungannya. Kadang-kadang terusik untuk menanggapi, namun saya harus dalam posisi menahan diri”.
Dalam pekerjaan ini, ia tak bisa menyampaikan pendapat atas nama pribadi. Ini artinya harus menghilangkan “jati diri”. Rupanya hal ini dirasa cukup berat bagi ia yang sebelumnya adalah seorang pengajar, dosen, pengamat politik, Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Politik, dan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia. Ia terbiasa menjadi tuan untuk dirinya sendiri. “Tapi di sini, saya hanya menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan, itupun atas ijin Presiden,” ia berujar. Diplomatis. “Namun demikian, saya menyukai tantangan. Saya terbiasa memilih yang sulit, meski ada jalan lebih mudah.”
Ia terdiam. Bunyi telepon memecah lamunannya.
***
Sebuah perjalanan panjang mengiringi kisah kehidupan Julian. Ia tidak tiba-tiba hadir, serangkaian peristiwa saling terkait satu sama lain membetuk diri dan karakternya.
Empat puluh dua tahun lalu, ia dilahirkan sebagai anak kedua dari 3 bersaudara dalam sebuah keluarga yang harmonis di Teluk Betung, Bandar Lampung. Ayahnya sosok pendiam, adalah guru besar di bidang hukum, sementara ibunya dosen ilmu social yang suka bicara. Keduanya aktif mengajar di Universitas Lampung – dan bahkan hingga kini, meski sudah pensiun, mereka masih diminta mengajar.
Ia merasa bahwa sebagian sifat ayahnya menurun padanya. “Papi lebih suka membeli buku dengan uang sendiri ketimbang membeli setelan jas. Saya pernah melihat ada keributan kecil dengan Bunda karena cicilan buku belum selesai, sudah ada cicilan buku lainnya,” katanya. Dari ibunya, ia belajar tentang disiplin dan kebersihan. “Sebuah gelas bisa dicuci hingga empat kali demi memastikan bahwa gelas tersebut steril untuk anak-anaknya,” ia memberikan contoh betapa sang Bunda sangat memperhatikan kesehatan anak-anaknya. Segala sesuatunya dikontrol sang Bunda dari rumah, sehingga mengakibatkan ia suka memberontak. “Saya ingin jajan di luar juga seperti teman-teman.”
“Waktu kecil, saya begitu melelahkan bagi orang-orang sekeliling saya,” ucapnya. Suatu hari ketika usianya 11 tahun, Papi membawa pulang sebuah pesawat mainan dengan remote control dan memperagakan atraksi pesawat di depan anggota keluarga sehingga membuat semua bergembira. Pun ia. Saking antusiasnya, setelah atraksi selesai, ia mengambil pesawat tersebut, membuka sekrup-sekrupnya dengan menggunakan obeng, demi memuaskan hasrat ingin tahu bagaimana mesin pesawat ini bekerja. Sayangnya, ia tak bisa memasangnya kembali. Pesawat baru canggih itupun berakhir. Seluruh “keluarga” memarahinya.
“Rasa ingin tahu kadang membuat saya menderita,” katanya pelan. Sementara kejadian semacam ini berulang berkali-kali. (Bertahun-tahun kemudian, ia lalu berkisah, peristiwa masa kecil inilah yang menjadi alasan mengapa ia pergi ke Jepang untuk melanjutkan pendidikannya. “Tak cukup waktu kalau semua alasan ditulis di sini,” ia mengelak.)
Untunglah, ia masih punya surga yang lain: perpustakaan milik ayahnya yang cukup lengkap. Salah satu yang disukainya adalah Ensiklopedi Britannica dan Americana. “Saya menikmati ketika membaca dua seri buku tersebut karena di dalamnya ada tokoh para pemimpin dunia, gambaran tentang negara, serta pemerintahannya,” kata Julian yang sangat tertarik pada sosok-sosok kepala negara, dan bahkan hafal sisi persona masing-masing. Hingga suatu kali ia menyurati Ronald Reagan, Presiden Amerika Serikat. “Dia seorang aktor, lalu menjadi gubernur, dan akhirnya terpilih menjadi Presiden. Saya kagum dan tertarik dengan perjuangan dan strateginya mencapai puncak kekuasaan,” ia mengenang saat ia belajar “politik” untuk pertama kali dan menjadi terpikat karenanya.
Inisiatif itu muncul tatkala acara inagurasi presiden Amerika Serikat pada tahun 1981 ditayangkan di televisi. Lalu di atas post card murahan, ia menuliskan kata-katanya. “Saya memperkenalkan diri, mengungkapkan kekaguman, dan berharap mendapat informasi mengenai Amerika,” ia ungkapkan isi suratnya di atas sebuah post card murahan, tak berharap ada balasan. Ia juga mengirimkan surat senada dengan beberapa Presiden negara lainnya. Namun rupanya, (administrasi) Reagan-lah yang pertama kali membalas surat, mengirimkan buku-buku mengenai Amerika, lengkap dengan foto perjalanan karier dan tanda tangannya. Buku-buku itulah yang membuai hayalan masa remajanya. “Saya berpikir menjadi orang Amerika, akan sekolah dan hidup di sana.”
Hal yang tak pernah absen diikutinya sejak kecil adalah menikmati konser musik klasik di televisi/TVRI atas kesadaran sendiri. Dengan pengetahuan sejarah yang dibacanya tentang musik klasik, ia acap berhalusinasi begitu musik klasik terdengar. “Saya bisa dengan detail membayangkan ketika Don Giovanni dimainkan. Atau membayangkan abad pertengahan ketika karya itu diciptakan,” tuturnya, lagi-lagi dengan suara yang lirih. Waktu itu, ia sungguh terobsesi bisa berziarah ke makam Mozart. Dan mimpi itu baru terwujud dua puluh tahun kemudian, ketika ia mengunjungi Salzburg, Austria, tempat kelahiran Mozart.
Ia juga pembaca karya-karya klasik seperti Nikolai Gogol, Anton Chekhov, atau Edgar Allan Poe. “Tanpa saya sadari, pikiran dan selera saya agak berbeda dengan kebanyakan teman sebaya di SMA, ”tuturnya. Karena teman-temannya menyukai aliran musik hard rock “punk”, ia pun turut berpura-pura mengimbangi hal yang sama supaya tak teralienasi. “Padahal saya punya dunia lain” katanya. “Bukan untuk menghilangkan jati diri, atau bersandiwara, tapi hanya social appetizers. Tidak baik kalau selalu sendirian, nanti dianggap aneh.” Tapi sesungguhnya, ujarnya, ia punya pendirian tegas dan ia tahu apa yang harus dilakukan di masa depan – meski akhirnya di tengah jalan bisa berubah. Dari SMA, ia melanjutkan pendidikan di Jurusan Ilmu Politik FISIP, Universitas Indonesia, meninggalkan kampung halamannya.
***
Seperti pernah dirancang di masa kecil, ia berencana untuk meneruskan pendidikan S2 dan S3-nya di Amerika. Namun tiba-tiba, ia merasakan betapa negara adikuasa yang dulu begitu dipujanya itu tak lagi menarik untuknya. Dalam pikirannya, saat itu sudah begitu banyak orang dari berbagai negara yang belajar di Amerika. Tantangannya relatif lebih mudah karena menggunakan bahasa pengantar Inggris yang bisa dengan mudah dipelajari oleh siapa saja. Ia terpikir melanjutkan pendidikannya di Jepang. Mungkin alasan masa kecil yang masih dirahasiakan itu yang menjadi penentunya.
Ia lalu memberikan argumentasi. ”Saya belajar sejarah Jepang. Mereka pernah menjadi pecundang saat kalah Perang Dunia Kedua, namun dengan cepat mereka bangkit. Saya ingin tahu rahasia dan strategi mereka (yang tersimpan dalam buku-buku dan budaya berbahasa Jepang),” katanya. Meski untuk itu ia harus bekerja keras dengan keringat dan air mata (katanya), selama dua tahun untuk memelajari bahasa. Kerja kerasnya terbayarkan kemudian. Ia meraih predikat Summa Cum Laude dari Hosei University, Tokyo, di bidang politik – bidang yang amat dicintainya.
Jepang memberikan pengalaman menarik padanya. Ketika pertama kali tiba di sana, ia merasa jatuh cinta dan tak pernah berpikir untuk kembali ke Indonesia. Sembilan tahun kemudian (1996-2005), ketika sudah hidup dalam kemapanan, tiba-tiba saja ia merasa “cukup” di negeri Sakura itu. Kehidupan dirasa mulai hambar, dan sang Bunda memintanya kembali ke Indonesia. Mungkin karena ia masih sendiri (lajang). Hampir semua teman di Jepang tak menyetujui rencana kepulangannya. Ia teringat pada seorang Profesor Jepang yang pernah mengatakan padanya: “Julian, kalau saya Anda, saya kembali ke Indonesia. Bila di sini, Anda akan menjadi professor, tapi Anda tak akan pernah menjadi menteri, perdana menteri, atau anggota parlemen Jepang.”
Namun demikian, bukan karena pandangan sang teman itu yang membuat ia kembali. “Saya percaya, insting ibu saya benar. Dan saya memutuskan pulang ke Indonesia, setengah tahun sebelum kontrak sebagai Dosen Tamu di Jepang berakhir, “ ia menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, dan kemudian menduduki jabatan stuktural sebagai Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Politik FISIP UI, dan kemudian Wakil Dekan FISIP UI. “Jiwa saya adalah pengajar,” ucapnya seolah mengingatkan pada profesi kedua orang tuanya.
Dan ketika kembali ke Indonesia, ia pun mulai melabuhkan cintanya pada seorang perempuan. Dengan pikirannya yang rumit itu, seperti apakah perempuan yang mampu mengusik hatinya? “Fisik tentu sangat berpengaruh, kendati persepsi perempuan cantik dalam benak saya mungkin sedikit berbeda. Bagi saya, yang paling penting adalah kecerdasan; yang terpancar dari bagaimana sikap kritis seseorang menghadapi situasi dan sekelilingnya” katanya malu-malu. Ia juga memberi ilustrasi dan “jatuh cinta pertama” pada perempuan seperti Oriana Fallaci ketika mewawancarai Ayatollah Khomeini (1979) yang dibacanya sepuluh tahun setelah wawancara itu dilakukan.
“Kecerdasan membuat saya jatuh cinta.” Seperti pula ia mencintai istrinya, Mega Kharismawati, ibu dari putrinya, Khansa Amira Pasha, dan Kaysan Kamil Pasha. Raut muka Julian tampak bersinar-sinar saat membicarakannya. Sikapnya malu-malu tatkala mengungkap kisah dirinya sendiri.
***
Masuknya ia di dalam istana, hingga hari ini masih merupakan rahasia besar, katanya. Ketika di suatu hari dipanggil sebagai juru bicara Presiden, ia amat terkejut. Apalagi ia merasa tak pernah melamar posisi yang sama sekali tak pernah ada dalam bayangannya itu. Dan apabila akhirnya ia menerima tugas istimewa tersebut adalah faktor Susilo Bambang Yudhoyono – yang ketika ia di Jepang sudah memprediksikan bahwa SBY pantas menjadi Presiden. Meski sebelumnya, ia mengaku tak pernah mengenal SBY secara langsung.
“Tak ada yang berubah pada diri saya, saya jaga pengabdian ini murni dalam kapasitas sebagai seorang professional,” ujarnya. Dan menjadi profesional pun bukan hal mudah. Buktinya, doktor bidang politik ini pernah ditegur oleh Presiden. “Ya tentu pernah, dan itu senantiasa merupakan pembelajaran yang sangat penting bagi saya,” jawabnya sembari disertai dengan helaan nafas berat. Ia merasa harus bertanggung jawab atas setiap kata yang disampaikan, tidak saja terhadap Presiden SBY, namun juga pada Lembaga Kepresidenan.
Ia lantas terdiam, berpikir. “Memang dari kecil saya merasa ingin mengetahui dari dekat pusat kekuasaan. Inilah jalur hidup saya. Saya bersyukur dibukakan pintu terus sampai hari ini,” ia tersenyum, lega, mengenang “perkenalannya” pertama kali dengan Presiden Reagan, lalu menjadi seorang doctor politik, dan kini menjadi Juru Bicara Presiden – segala hal yang sangat lekat dengan hal pusat kekuasaan. Kilat bahagia kembali mengusap wajahnya yang bersih.
“Memang apa yang saya lakukan selama ini tak jauh dari pusaran kekuasaan dalam arti luas. Orang bilang saya beruntung memiliki banyak kesempatan belajar ilmu politik karena berada di ring satu Presiden. Saya berterima kasih, meski sampai pada posisi ini sepenuhnya tidak dalam kendali pikiran saya,” ucap Julian yang saat kecil ternyata hanya dua cita-cita dalam dirinya: terjun di bidang politik atau menjadi serdadu. “Ha ha ha, rasanya gagah serdadu membawa senjata,” dan kini ia bekerja kepada Seorang Panglima Tertinggi.
“Saya menyukai politik dari kecil karena ada daya tarik di bidang itu,” ucapnya mengenang. Dulu, ia mengartikan politik ialah kekuasaan. Namun saat ini, ia menganggap bahwa politik adalah kehidupan yang menarik dan dinamis, serta dituntut tanggung jawab besar. “Kini saya menyadari bahwa politik tak semata-mata tergantung sistem, tapi juga personal,” kata Julian yang sudah mempersiapkan dua buku tentang politik tapi belum dipublikasikan. “Saya beruntung tidak hanya melihat dari perspektif teori. Dengan pengetahuan teori ilmu politik, dengan melihat secara langsung–dari dekat, maka korelasi antara teori dan realitas politik dapat diuji dan diverifikasi, setidaknya dalam konteks politik di Indonesia.” Dan Presiden SBY adalah gurunya.
Ketika pembicaraan ini hampir berakhir, ia seperti menemukan kepingan-kepingan kehidupan masa lalu yang dulu amat menyulitkan dirinya sendiri kini menyatu dan membentuk sebuah gambaran. Ia mengerti bahwa perjuangannya dulu, termasuk mengambil jalan yang lebih sulit meski ada jalan lebih mudah, adalah sebuah misteri yang hampir terpecahkan. Apakah itu sebagai The Secret ataukah yang dikatakan Paulo Coelho dalam The Alchemist: And, when you want something, the universe conspires in helping you to achieve it, ia kini bisa memahami jalan hidupnya.
Lalu kembali menegaskan sebuah rahasia yang selama ini tersimpan dalan dirinya. “Pada dasarnya, saya seorang pemalu. A private man dengan kehidupan sendiri” katanya kemudian. Di manakah ia menyimpan kehidupan itu? Bukan di istana. Bukan. Tapi di sebuah ruang di mana ia bisa sendiri, menikmati musik klasik, dan melenggangkan hayalan. Menjadi tuan atas dirinya sendiri. Itulah istana yang hanya dimilikinya, tempat rahasia di mana ia berteduh dari hiruk pikuk politik di Indonesia, dan terus menenangkan perasaannya.
Kriiingg…… Telepon kembali berdering. (Rustika Herlambang)
Stylist: Dany David. Fotografer: Randy Pradana. Lokasi: Istana Negara
nafak tilas perjalanan yg penuh inspirasi..smoga dapat menjadi contoh bagi kita semua 🙂
Penuh inspirasi….bisa dijadikan panutan utk lebih berani mengembangkan diri 😀
kisah yang sangat menginspirasi aku sukaa sekaliii….
orang lampung yang dasyat 😀
Beruntungnya Indonesia yang “kembali” mempunyai seorang profesional seperti Pak Julian. Such an inspirations to me. Sangat menginspirasi! Terima kasih referensinya ya, good 🙂