Keindahan yang Bersahaja
Ia tahu bagaimana menghadirkan keindahan dan cinta dari sudut pandang yang tidak biasa
Davy Linggar (37) memesan segelas es coklat untuk memulai perbincangan pada suatu pagi menjelang siang di sebuah kafe di Plaza Senayan. Lepas dari kesukaannya, mungkin ia perlu zat-zat serotonin dalam coklat untuk memberi rasa nyaman dan rileks. “Saya nggak bisa ngomong, jadi ngomongnya lewat motret, lewat visual,” ujarnya pendek, sedikit terpatah. Duduk satu meja dengannya, Jane Hufron, managernya, dan Seno, asistennya. Jiahara, anak lelakinya, tertidur pulas dalam kereta dorong.
Menemuinya bukan perkara gampang. Selain sibuk, seniman dan fotografer fashion terkemuka diIndonesia ini terbilang enggan dipublikasikan, terutama menyangkut dirinya sendiri. Alasannya, seperti tersebut di atas, merasa tak bisa bicara. Dan dalam perbincangan berikutnya, ia bukanlah tipe pria yang mengumbar cerita tentang pribadinya. Namun demikian, ia terlihat “cerewet” tatkala perasaannya nyaman karena berada pada waktu, suasana, tempat, dan “frekuensi” yang sama dengan lawan bicaranya. Setiap kalimat yang diucapkan pendek-pendek itu terangkum kecerdasan dalam memandang setiap hal, seperti karya lukis dan foto-foto yang diabadikannya.
Saat ini, ia sedang mempersiapkan pameran karya lukisan terbarunya. Seperti karyanya yang lain, ia masih akan mengangkat kehidupan keseharian di atas kanvasnya, sesuatu yang menjadikannya unik. Dalam pameran tunggalnya beberapa waktu lalu, ia membuat lukisan berupa betis yang ditekuk menempel paha, dua lengkung pegangan tas, tanaman pot di satu sisi jendela apartemen. Ia merekam objek dengan komposisi yang bagus. Karya fotonya juga tak jauh beda. Mencerminkan kebebasan untuk setia pada objeknya sekaligus membingkainya dan memberi penikmatnya sebuah keindahan yang tak pasaran.
Cara pandang dalam melihat realitas di sekelilingnya menunjukkan daya pikir, imajinasi, dan sensitivitas yang tidak banal. Bakat seni itu sudah tercium oleh sang ayah, Richard Linggar, sejak Davy belajar berjalan dengan mencoret seluruh dinding rumah. Oleh ayahnya, ia disediakan kertas putih satu rim untuk menjadi media, dan mengajaknya keliling rumah sambil memperlihatkan keindahan yang sering luput: daun yang kering yang jatuh di atas kolam, kayu keropos, kodok, bunga kecil, dan sebagainya. ”Saya tidak mengajarinya teknik, melainkan mengasah kepekaan yang ada di sekeliling,” ucap Richard.
Keterampilan teknis itu didapatnya dari sanggar lukis yang dimasukinya. NAmun ketika terjadi penyeragaman pola jenis lukisan pada sanggar, Richard kembali menegaskan padanya, “Jadilah dirimu sendiri, jangan ikutigayasanggar.” Setiap minggu Davy ikut dalam berbagai kompetisi melukis dan hampir selalu meraih kemenangan. Waktu duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, Richard memberikan kado ulang tahun berupa kameraFuji. Sejak itu keduanya, selain melukis, juga berburu objek foto di berbagai tempat keseharian: tukang sampah di depan rumah, pasar, pasar sapi, jalan raya, dan apapun yang ada di sekitarnya
Suasana seperti itulah yang membesarkannya. Ayah yang awalnya bekerja sebagai kontraktor memilih membantu sang ibu mengurus perusahaan konveksi baju anak-anak di rumah. Waktu kecil, Davy menjadi model untuk perusahaan ibunya, difoto oleh ayahnya, meski untuk keperluan baju perempuan. Tak jelas apakah kedekatan dengan konveksi itu kelak memengaruhi kesukaannya dalam dunia fashion. Dua adik Davy lahirlima tahun sesudahnya, sehingga seperti dikatakan sang ayah, hubungan ayah-anak cukup intens.
Memotret dan melukis menjadi oase bagi karakter Davy yang introvert yang diturunkan dari keluarganya. Ia dapat keuntungan finansial. Tabungan hasil dari kemenangannya di berbagai lomba lukis ia belikan kamera. Dengan kamera itu, ia menjadi “tukang foto” keliling untuk teman-temannya, dan mendapat sejumlah uang terima kasih yang bisa memenuhi tabungannya. Pada saat itu, ia sering memenangkan lomba fotografi dan menjadi kontributor untuk sebuah majalah fotografi. Kesibukan ini tidak berhenti bahkan ketika ia melanjutkan pendidikan di jurusan senirupa Institut Teknologi Bandung (ITB) sesuai rencananya.
“Tapi saya keluar,”kata Davy. Awalnya karena kecewa pada matakuliah anatomi yang menghadirkan model perempuan yang mengenakan baju senam dan celana. Baginya, hal ini sangat tidak masuk akal. Rasa frustasi itu berujung pada sebuah pameran tunggal fotografi Nico Dharmajungen di Galeri Antara sekitar tahun 1995. Pada detik itu juga, ia memutuskan untuk keluar dari jurusan senirupa dan pindah ke jurusan fotografi di Universitaet GesamthochshuleEssen, Jerman.
Spontanitas yang sering terjadi pada diri Davy kadang mengejutkan sang ayah. Termasuk ketika memutuskan pula berhenti dari kampusnya di Jerman meski baru menjalani dua semester disana. Alasan terbesarnya, ia tak ingin memberatkan ayahnya. Di sisi lain, ia beranggapan bahwa perkembangan pelajaran yang diberikan di kampusnya sangat lambat dibanding dengan rasa ingin tahunya yang teramat cepat. Itu sebabnya, ia mengaku sering membolos, membeli perlengkapan fotografi, dan melakukan eksplorasi sendirian. “Saya tersiksa kalau ujian, malas mengerjakan tugas. Segala hal yang urusan dengan birokrat, formal, saya tak suka,”ujarnya dengan nada datar.
Pencarian itu belum selesai. Ia kembali mengagetkan dengan menerima tawaran kerja di sebuah majalah fotografi diJakartaketika sedang liburan diJakarta, dan meninggalkan seluruh perlengkapan fotografinya di Jerman begitu saja. “Waktu itu benar-benar sedang liburan keJakarta, jadi hanya membawa bekal satu ransel,”Richard berkisah.
Sejak itulah hidupnya mengalir. Ia keluar dari pekerjaannya dan memilih berjalan sendiri sebagai fotografer dan menggunakan namanya sendiri, Davy Linggar Photography. Meski bersikap profesional, untuk urusan pekerjaan ia masih sangat idealis. Seperti ditegaskan Richard dan diakui oleh Davy, ia tak mau didikte. “Saya cinta banget dengan fotografi, ketika mendapat pekerjaan foto yang konsepnya saya tak suka atau tak cocok, saya pasti menolak, meski nilainya besar, ”ujar Davy yang dalam berkarya lebih banyak lahir dari mata hatinya. “Efeknya, kalau hasilnya jelek, dan orang akan bilang kerjaan Davy jelek. Saya tak mau.”
Ia lantas memberikan contoh foto pre-wedding yang belakangan ini konsepnya sangat lihai, dan aduhai. “Saya tak bisa memotret seperti itu. Saya mau apa adanya pasangan mereka, bukan mereka mau jadi siapa,” katanya menjelaskan. Karakter menjadi hal yang terpenting dalam karya-karya Davy. “Saya tak suka sesuatu yang dibuat-buat. Saya mau apa adanya,” dan dengan prinsipnya ini kliennya lebih terseleksi. Jangan harapkan ada sesuatu yang bombastis dari setiap karya fotografinya. Davy mengungkap keseharian dalam sudut pandang yang tak biasa, menjadikan setiap foto sangat personal. Sudut pandang yang dipelajarinya sejak kecil dalam melihat kenyataan.
Apa yang sebenarnya ia lakukan adalah seperti sebuah pemberontakan dalam diam. Pemberontakan terhadap apa yang dianggap sebagai dogma “keindahan” baik dalam dunia fotografi seperti dalam kasus pre-wedding, pemotretan fashion yang harus selalu sempurna, termasuk dalam hal yang disebut sebagai “ketimuran”
“Davy adalah salah satu fotografer terbaikIndonesiasaat ini. Ia melihat kenyataan jauh lebih indah daripada polesan. Dan setiap karyanya ada sensualitas yang ditampilkan dengan sangat baik,” budayawan Taufik Rahzen yang pernah bekerjasama dengan Davy dalam pembuatan buku untuk Edward Hutabarat menegaskan. Sensualitas itu dihadirkan dengan caranya sendiri, bukan dengan memoles, tetapi membiarkan objek itu ada di tempatnya dengan segala realitas yang senyatanya. “Ia seperti menempatkan teks pada konteksnya,”puji Taufik.
“Buat saya kejujuran itu penting,”kata Davy, yang ternyata tak suka difoto sama sekali. (Pada saat artikel ini terjadi, sulit sekali menemukan foto dirinya yang bernuansa terang. Semuanya kabur, seolah meninggalkan misteri pada orang yang ingin mengenalnya.)
Jane dan Seno, salah satu asistennya, bercerita. Kalau sedang bekerja bersama mereka menggunakan “telepati” karena hampir pasti Davy tak pernah mengarahkan atau mengungkapkan keinginannya secara langsung dan terus terang. “Akhirnya, kita harus sensitive terhadap dia. Dan selama ini ia sudah dikenal kalau sedang motret dia diam saja, tapi bekerja,” Jane menambahkan. Yang dimaksud di sini adalah diam-diam Davy mengamati dan menangkap karakter objek yang difotonya. “Saya ingin segala sesuatunya natural, tidak dibuat-buat. Jadi saya ikuti saja alurnya, bukan memaksakan seperti yang saya mau,”ujarnya.
“Segala hal yang tak suka atau yang mau saya bicarakan tapi gak bisa keluar lewat kata, saya keluarkan lewat lukisan,”ujarnya sembari menunjukkan karya-karya lukisannya yang ada di dalam iphone-nya. Lukisan itu berupa meja makan kayu dengan piranti makan yang disajikan dengan Birkin Bag, anjing, babi, dan perempuan telanjang. “Ini kejadiannya di Loewy (sebuah restoran papan atas yang menjadi tempat berkumpul sosialita). Banyak gossip, dan menarik, dan saya lukiskan di sini melalui simbol-simbol.”
Meski sebagai penyaluran ekspresi terpendam, Davy melakukannya dengan sungguh-sungguh. Ia pernah berpameran tunggal atas karya lukis dan fotografinya. “Yang menarik dari karya-karyanya adalah sense of spontaineity-nya, seperti apa adanya, rileks, dan ekspresif, ” Mia Maria, curator dari Linggar Seni menjelaskan. Ia selalu menampilkan momen keseharian dengan bekal teknik yang baik yang disempurnakan dengan mentalitas perfeksionis. Finishing dan cara mengemasnya sangat detail. “Very meditatif in a way”.
“Sebenarnya saya melukis karena suka dan untuk kesenangan bukan untuk dipamerkan,”ia tersenyum kecil. Ia menyukai proses ketika sebuah lukisan dihasilkan mulai dari memesan spanram, memotong kanvas, memasang di spanram, melukis, sampai membuat kemasannya. “itu seperti terapi buat saya, gimana sih gak sabar memasang kanvas, bagaimana saya mau melukis?” davy pernah menghebohkan dunia senirupa ketika bersama seniman Agus Suwage menampilkan karyaPinkswingParkdi CP Bienale yang lantas dilaporkan oleh ormas Islam karena dianggap karya pornografi. Pengalaman ini tidak lantas membuatnya kapok atau trauma, setrauma ia mendapati perempuan berbaju senam di ruang kelas pelajaran anatomi.
Davy selalu menemukan keindahan yang ada di setiap detail objek keseharian yang mungkin luput dari pandangan mata biasa. Keseharian itu pula yang membuat hidupnya lengkap. Termasuk mempertemukannya pada Jane Hufron, perempuan yang menjadi managernya sejak 2002, menjadi istrinya. Bagi Davy, cinta adalah sesuatu yang nyata, yang hadir, dan selalu ada di dalam keseharian, bukan hanya dalam kata-kata, apalagi polesan-polesannya. Ia adalah bapak satu anak bernama Jiahara – sebuah nama yang ia gunakan sebagai akun twitternya.
Seseorang yang mengerti tentang dia, katanya, mungkin hanya Jane. Yang memotong rambutnya hanya Irwan, dari Irwan Team. Dan rumah benar-benar menjadi spot istimewa buat Davy untuk terus melakukan aktivitas kesukaannya: mengasah kepekaan fashion, melukis, membereskan rumah (ia menyebutnya: seperti tukang), bermain bersama Jiahara, dan melakukan manicure-pedicure dengan tukang langganannya. Dan itulah Davy. Keseharian adalah singgasananya.
Di kafe itu, ia menunjuk sebuah kaca buram, di antara gelas dan piring-piring, lelampuan, interior yang berkilauan, menghadap ruang makan restoran yang menjadi saksi pergulatan yang terjadi di dalam kafe dari hari ke hari. Yang mengerti, mana yang jujur dan tak jujur, yang murni dan polesan, di antara pengunjung-pengunjung setianya. Davy ingin segera membingkainya. Memberikan sebuah realita di gemerlap ibukota, dalam bahasa yang amat bersahaja. (Rustika Herlambang)
Leave a Reply