Mendekat Tanpa Jarak
Menengok kembali hal-hal yang ia tutupi dalam diri selama ini adalah bagian dari rahasia kesuksesannya kini
Di sebuah kursi panjang dari kayu, Melati Suryodarmo (42) bercerita tentang tentang dirinya. Seniman senirupa pertunjukan (Performance Art) perempuan asal Solo, Indonesia, yang kini bermukim di Jerman itu sudah mengambil posisi duduk yang nyaman: bertimpuh pada satu kaki, dan membiarkan kaki lainnya bebas bergerak. Di sekelilingnya terlihat aneka benda kuno yang pernah dipakainya dalam berkarya, koleksi sang ayah, Suprapto Suryodarmo, seorang penari dan seniman gerak (free movement) yang juga pemilik dan pendiri Padepokan Lemah Putih.
“Performance Art atau senirupa pertunjukan (SP) merupakan pengembangan dari bidang senirupa yang menggunakan tubuh sebagai media seni,” ia mengawali perbincangan. Mungkin paham bahwa bidang seni yang dilakoni itu bukan termasuk jenis yang melayani selera kebanyakan. SP mewakili perjalanan sebuah pemikiran, konsep, dan pengkristalan suatu fenomena terpilih. SP tidak menyampaikan pesan secara verbal, melainkan berkomunikasi melalui bahasa tindakan. Penampilan disajikan kepada penonton secara interdisipliner, kadang mengunakan skenario, kadang spontan, dan bukan sekadar soal improvisasi seperti halnya dalam teater. “SP, dalam sejarahnya, membongkar dan mendobrak aturan konvensional senipertunjukan dan senirupa,”katanya.
Dalam senirupa pertunjukan dunia, nama Melati dikenal sebagai salah satu penampil besar. Kekuatannya terletak pada penggalian atas kedalaman persepsi yang sangat personal di mana sebuah tema dilakukan dengan suatu kekuatan fisik yang luar biasa. Dalam Exergie -Butter Dance, misalnya, ia menari-nari dengan busana hitam ketat dan high heel merah di atas 24 blok mentega, sehingga berkali-kali jatuh dan terjungkal. Meninggalkan rasa sakit atau lebam-lebam di sekujur tubuhnya. Dalam karya yang pernah dipentaskan dalam Venice Biennale Dance Festival 2007, ia berekspresi dengan pasangan mainnya dengan tubuh digantung selama lima jam. Karya yang lain, ia duduk selama 8 jam dengan membawa bola di atas kursi yang terletak di atas dinding.
“Saya bukan ingin mengalami kesakitan dengan sengaja, namun ide itu muncul dari pengalaman personal sesungguhnya, seperti terjemahan dari sebuah situasi,” katanya. Tidak hanya pendalaman secara psikologis melainkan juga membuka fenomena apa yang terefleksikan dalam suasana tersebut. Lalu ia menjelaskan, “Saya tidak memaksa atau mendidik publik dengan apa yang saya tampilkan. Saya justru memberi jarak, sebagai upaya untuk proses pembelajaran untuk memahami manusia lain, sehingga publik tidak terlibat dan bisa berpikir lebih bebas.” Nada suaranya datar.
Dalam kisahnya yang muncul berturutan, banyak pengalaman hidup yang tidak mudah dilalui Melati. Sebuah senyum kecil melintas. Beberapa kenangan “pergulatan” emosional bertukar tangkap.
“Ayahku seorang idealis,” ia menegaskan, satu kalimat yang seolah menjadi senjata pamungkas untuk memahami kehidupan masa kecilnya. Ibunya seorang penari. Ayahnya pernah diskors dari Universitas Indonesia karena dianggap pro-Bung Karno, dan tidak pernah mau minta maaf atas perbuatannya itu. Meski demikian, sang ayah tidak pernah menyerah. “Ia mengambil pendidikan di Filsafat UGM dan terus memperdalam ilmu meditasi dan gerak,”ujar Melati yang pernah merasakan ketika ayahnya menjadi tukang parkir dan tukang kelapa, sementara sang ibu berjualan rokok, demi berjuang hidup.
Melati menikmati masa kecil dengan penuh kesibukan di kampung Kemlayan, Solo, dalam lingkungan pengrawit gamelan dan penari. Ia belajar menari pada Pak Ngaliman, maestro tari asal Solo yang dianggap terlibat Lekra. Beranjak remaja, ia belajar teater dan menulis puisi pada Wiji Thukul. Belajar melukis dengan Sri Warso Wahono. Ia juga mengikuti olahraga taichi, meditasi, dan aerobic – segala hal yang berkaitan dengan olah tubuh dan jiwa. Tapi kenangan yang paling berkesan justru ketika diajak ayahnya “menginap” di Candi Plaosan atau Mendut pada setiap bulan purnama, dan melihat ayahnya mengasah kemampuan dan eksplorasi gerak.
Ayahnya mengajarinya untuk berpikir kritis dan menanamkan sikap untuk menjadi Jawa pra-kolonial. Di rumahnya, perdebatan-perdebatan intelektual terjadi, melewati hubungan konvensional ayah anak. Dan hal itu menjadi lebih ditegaskan lagi tatkala suatu masa mulai banyak orang asing yang menjadi murid ayahnya dan berada di lingkungan terdekatnya. “Ayah selalu mendobrak pandangan kolonial bahwa kulit putih lebih unggul. Bahwa antara saya dan murid-murid ayah adalah sejajar.”
Berbarengan dengan meningkatnya kesibukan sang ayah, diundang ke berbagai negara, Melati yang menjadi sulung dari tiga bersaudara ini harus menjaga keluarga. Terutama harus mendampingi ibunya yang terkena kanker selama empat tahun, sebuah masa yang benar-benar mengisi masa remajanya. Ia ingat waktu itu sang ayah memperhatikannya dengan memintanya bergabung di Meditasi Sumarah, dan menitipkan ia pada gurunya. “Pengalaman itu memang sangat mengguncangkan, dan membuat saya sempat berhenti bicara selama berminggu-minggu,” ia mengungkapkan salah satu trauma masa lalunya.
“Saya ingin mengetahui apa yang sebenarnya digelisahkan ayah, dengan mengetahui bagaimana antar negara berhubungan secara kultural,” ia mengutarakan alasan memilih jurusan Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, Bandung. Karena merasa tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, ia berniat pindah ke jurusan senirupa. Keinginannya ini jelas-jelas ditolak sang ayah yang beranggapan bahwa seni bisa dipelajari dengan otodidak. Ia kembali menyimpan harapannya.
Setelah merampungkan kuliah, ia menikah, dan tinggal di Jerman mengikuti suaminya. “Saya berencana mengambil pendidikan manajemen seni di sana,” tandas Melati yang pernah belajar manajemen seni dari Sari Madjid waktu mengurus ayahnya berpentas di Jepang. Namun jurusan yang ia inginkan tak ada di kota tempat tinggalnya, pernikahan kandas setahun kemudian – dan meninggalkan ,lagi-lagi, berbagai cerita traumatik lainnya. “Kalau saya sedang sedih, saya selalu menuju ke danau dekat rumah, dan berdiri berjam-jam di sana,”ia ungkapkan proses meditasi yang dijalaninya hingga kini.
Pertemuannya dengan dunia SP sendiri berlangsung sangat unik. Hanya sebuah pertemuan yang tak diduga di sebuah taman antara dirinya yang sendirian dengan seorang perempuan tua. Hanya ketika si perempuan mengatakan bahwa dia asal Jepang, Melati dengan sangat antusias berkata bahwa ia pernah ke Jepang dalam rangka belajar menjadi asisten ayahnya ketika bekerjasama dengan penari Butoh. Ternyata, perempuan itu adalah Prof. Anzu Furukawa, master Butoh, yang lantas menawarkan untuk hadir di kelasnya. Sebuah kebetulan yang terjadi di sekitar tahun 1994 ini kelak benar-benar mengubah arah hidupnya.
”Itulah saya katakan, saya tak berani punya cita-cita. Hidup saya mengalir. Saya bekerja keras dan menjalaninya dengan baik,” ia mengutip petuah ayahnya. Setelah setahun duduk sebagai mahasiswa tamu, ia mendaftarkan diri pada jurusan SP di Hochschule fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman, dan (beruntung) berada dalam bimbingan nama besar dalam dunia seni kontemporer seperti Prof. Anzu Furukawa, Mara Mattuschka, dan Prof. Marina Abramovic. Sejak itulah perjalanan kariernya sebagai seniman dimulai. Ia menikah lagi dan melanjutkan pendidikannya hingga tingkat meisterschule (setingkat S2).
“Saya tidak mau berhenti sekolah. Tidak punya pilihan, kecuali membawa bayi saya ke tempat kuliah, dan menitipkannya pada Marina ketika saya sedang ada pekerjaan,”ia tertawa kecil, mengenang romantisisme dengan putri tunggalnya, Selina, di awal kariernya. Ia belajar keras ketika bekerja sebagai asisten Prof. Marina selama 4 tahun. Di sisi lain, ia membuka dan menjalin jejaring dengan seniman-seniman internasional SP, baik yang ada di dalam maupun di luar mainstream. Saat ini sudah ada ratusan karya sejak tahun 1996 berupa fotografi, film, instalasi, dan senirupa pertunjukan dihasilkan dan ditampilkan di banyak negara di Amerika, Eropa, dan Asia. Ia juga kerap diminta memberikan workshop dan menjadi dosen terbang di berbagai jurusan seni di beberapa negara.
Di Indonesia, ia mendirikan PALA (Performance Art Laboratory) yang merupakan sebuah “laboratorium” kelompok diskusi seniman senirupa pertunjukan dari berbagai negara di tahun 1997 dan rutin menggelar acara tahunan di Bali. Acara ini dilanjutkan dengan Undisclosed Territory, yakni pementasan oleh seniman-seniman senirupa pertunjukan internasional yang berlangsung di Padepokan Lemah Putih – di mana ia menjabat sebagai Direktur Program Seni dan Budaya. Seorang pengamat seni, Halim HD, memberikan apresiasi atas acara tersebut, “Acara itu luar biasa karena bisa menghadirkan para maestro dari berbagai negara.”
Melati tampak menikmati segala proses berkeseniannya. “SP sangat menyenangkan karena berbicara tentang diri saya sendiri, dan saya tidak memerankan orang lain,” ia menemukan “terapi” kehidupan yang telah menyelamatkan jiwanya yang terguncang. Berbagai trauma yang pernah menghinggapinya di masa lalu ternyata justru menjadi mata air ide-idenya selama ini. “The Dusk diangkat dari trauma ketika saya memutuskan berhenti bicara. Butter Dance diangkat dari pengalaman personal sebagai warga asing yang tinggal di Jerman yang kadang diperlakukan tidak sebagaimana manusia pada umumnya,” ia memberikan contoh. “Menengok kembali berbagai peristiwa masa lalu yang kita tutup-tutupi itu penting dan tubuh kita adalah kontainer dari memori-memori itu.”
Beruntunglah ia memiliki daya tahan tubuh luar biasa karena dibesarkan dalam lingkungan di mana pemahaman mengenai sejarah tubuh dan tubuh sebagai cultural body dipelajari. Ketika tampil, sama sekali tak ada manipulasi atau trik-trik, semuanya terjadi secara natural. “Modalku kan tubuh, saya harus menjaga stamina dan mental,” kata Melati yang hingga kini masih melakukan meditasi, yoga, fitness, dan retret dengan cara tidak bicara selama berhari-hari. Tubuhnya sintal dan padat. “Saya menerima tubuh saya apa adanya. Ini bukan soal feminis atau tidak feminis. Tapi saya ingat ada seorang professor mengatakan, Melati is not feminist artist, she exposes femininity.”
Dan akhirnya seluruh pengalaman tubuh dan jiwanya menyatu dan memberi makna signikan dalam kedalaman karya-karyanya. Pemikiran kritisnya. Pengalaman masa lalunya. Idealismenya. Kekuatan tubuhnya. Segala hal yang pernah dieksplorasinya. Seni itu kini juga menemukannya kembali pada sang ayah, dalam cita, dalam cinta. “Kini saya hidup dengan senirupa pertunjukan. Senirupa pertunjukan menghidupi saya,”ungkapnya dengan perasaan bahagia. Perempuan pejuang yang memberdayakan diri itu kini telah menemukan jalan hidupnya. (Rustika Herlambang)
Rias wajah: Dody Salon, Solo. Lokasi: Padepokan Lemah Putih. Fotografer: Ferdy Adrian Yulianto
Leave a Reply