Menuju Satu Bintang
Kalau punya cita-cita yang jelas, pasti hidup kita akan lebih sederhana. Tidak pernah rumit. Percayalah.
Perjalanan kehidupan adalah sebuah misteri yang terselubung dalam setiap peristiwa. Tak setiap manusia bisa memaknainya, hingga tiba dalam suatu masa ketika ia disadarkan akan setiap hal dalam catatan kehidupannya. Pun demikian halnya dengan Ninuk Widyantoro, psikolog dan seorang aktivis kesehatan reproduksi perempuan. Aktivitas dalam bidang kesehatan itu akhirnya bisa memadukan keinginan batinnya menjadi seorang guru tk seperti yang dicita-citakannya dan menjadi “dokter” seperti yang diinginkan oleh ayahnya.
Saat ini, ia adalah Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), yang memperjuangkan perlindungan hukum terutama bagi kesehatan kaum perempuan. Ia termasuk psikolog pertama di Indonesia yang menyusun panduan konseling Keluarga Berencana, saat itu untuk Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), sebuah LSM tertua yang memelopori gerakan Keluarga Berencana (KB) di Indonesia. Modul konseling training yang dibuatnya juga dipakai di berbagai negara, seperti Vietnam, Iran, Turki, Azerbaijan, Kazakhtan, Bangladesh dan sebagainya.
Sebelumnya, ia adalah psikolog dan salah satu pendiri biro konsultasi psikologi Fenomena pada tahun 1978 dengan aktifitas utama untuk membantu perusahaan menyeleksi calon karyawan – yang masih eksis hingga kini . Pertemuan dengan dunia Kesehatan Perempuan terjadi di tahun 1980. Tatkala PKBI membuka kembali klinik-kliniknya dengan meningkatkan kualitas pelayanan KB komprehensif; seorang pengurus mempertemukannya dengan DR. Sudraji Sumapraja, ginekolog dan pengurus PKBI. Sebelum memutuskan, ia melakukan observasi dan survey sederhana dan mendapatkan fakta banyak perlakuan tidak santun terhadap pasien gagal kontrasepsi, bahkan petugas medis seakan menjadi polisi moral. Kegagalan dalam KB ternyata sangat membebani perempuan.
Sementara itu, katanya, ia melihat DR. Sudraji begitu komunikatif dengan pasien-pasiennya, tidak tergesa-gesa, melayani dengan sepenuh hati, terkadang bahkan meminjamkan buku. Sikap ini mengingatkan pada adik kakeknya, Prof. Yudono, ginekolog yang pernah menjabat direktur RS. Pantirapih Yogyakarta, yang ramah dan tidak memandang status dalam berpraktek. Dua sosok lelaki, kebetulan aktif sebagai pendiri dan pengurus PKBI, membuat ia yakin atas pilihannya bergabung dengan PKBI sebagai konselor KB.
Pengalaman dengan dua ginekolog tersebut membuat ia mudah menyusun dasar konseling KB. Yang disebut konseling adalah sebuah upaya dan proses memberdayakan klien untuk mampu mengambil keputusan tentang cara atau metode kontrasepsi apa yang akan digunakan dalam ber-KB. Dengan demikian, ketika klien bertemu dengan dokter, mereka sudah punya keputusan/pilihan. Dasar konseling tersebut adalah: pertama, informasi yang diberikan harus terbuka, jujur-tidak bohong atau hanya menjelaskan yang menyenang-nyenangkan tanpa menyebut efek samping. Kedua, bersikap ramah dan sabar dalam melayani. Dan tak kalah pentingnya, ia mempersiapkan ruangannya dengan interior – yang dibawa dari rumah- supaya terasa homey.
Apa yang dia lakukan memang sebuah kerja keras. Untuk memberikan informasi dengan jelas, Ninuk yang lulusan psikologi pun harus membaca buku-buku medis mengenai kesehatan perempuan – dibantu oleh DR. Sudraji. “Ketika bertemu pasien, saya sudah bisa menerjemahkan keterangan medis dengan menggunakan bahasa orang awam,”katanya senang. Pendekatan dan metode konseling ini dianggap berhasil, sehingga ia diminta untuk melakukannya di klinik PKBI lainnya.
Tigabelas tahun lamanya ia bergabung bersama PKBI, dan mulai merasakan akan kebutuhan pemberdayaan pada masyarakat umum. “Lebih baik mencegah, ini artinya kita tidak hanya berdiri di klinik menanti pasien, melainkan menuju lapangan dan bertemu langsung dengan masyarakat,” ungkapnya. Ide ini menjadi kenyataan saat ada lembaga donor yang mendukung niatnya. Tujuan pertamanya adalah Lombok, daerah dengan kematian Ibu dan bayi paling tinggi di Indonesia. Ia mendidik Pendidik Sebaya (Peer Educator) untuk memberdayakan kaum perempuan dan laki-laki untuk ber-KB dengan benar, di tengah tantangan pendidikan masyarakat yang rendah. “Guru saya adalah klien saya, ini seperti proses pembelajaran yang terus menerus.”
Aktifitasnya dalam dunia kesehatan membuat badan dunia seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (United Nation) dan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) memintanya untuk melakukan pelatihan konseling di berbagai negara. “Padahal awalnya saya sempat ragu karena harus berbahasa Inggris, tapi saya coba,” katanya membuka rahasia. Ia menegaskan bahwa penugasannya ke berbagai negara tersebut terjadi karena orang yang bergerak dalam bidang konseling KB masih belum banyak di masa itu. “Kadang juga karena negara pengundang sentimen dengan negara barat sehingga mereka memilih saya yang dari Asia,”katanya. Berbagai modul training yang sudah pernah dibuatnya lalu diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
Maka pergilah ia ke berbagai negara seperti Vietnam, Iran, Bangladesh, Myanmar, dan beberapa negara lainnya. Ketika bekerja di negara-negara tersebut, ia juga harus belajar tentang kebudayaan negara setempat. “Untunglah saya suka pelajaran sejarah,” ia tertawa, lalu memberikan contoh. Ketika di Kazakhstan atau Vietnam, aborsi diperbolehkan, bahkan agak membabi buta. Maka dalam program konseling, ia menyisipkan pengetahuan tentang efek samping, sehingga masyarakat jangan menggampangkan aborsi. Lebih baik menggunakan metode kontrasepsi sesuai pilihan. Situasi ini tentu berbeda dengan negara Iran di mana aborsi dilakukan dengan sangat hati-hati. Beragam budaya harus dipelajarinya dengan benar sehingga ia bisa masuk dengan pendekatan seperti layaknya sahabat atau teman.
Tahun 1992, selama dua tahun, ia bersama aktivis perempuan yang peduli akan kesehatan perempuan dari berbagai negara memperjuangkan agar Konferensi Kependudukan tingkat internasional (International Conference on Population and Development, ICPD) yang berlangsung pada tahun 1994 di Kairo tidak saja bicara tentang angka-angka dan statistik, tapi juga memperhatikan kondisi dan situasi kesehatan perempuan. Apa yang diperjuangkan mendapatkan hasil menggembirakan. Paradigma jadi berubah, dari Family Planning Program menjadi Sexual, Reproductive Health and Rights Program, di mana disertakan pula hak-hak reproduksi perempuan.
Setelah pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan internasional Kairo, ia memikirkan implementasi dalam program nyata dan ada perlindungan hukum berupa Undang Undang Kesehatan, di mana ada bab mengenai kesehatan reproduksi. Untuk mewujudkan ini, ia bersama beberapa pemerhati kesehatan perempuan termasuk Prof. DR. Sudraji, mendirikan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) pada tahun 2001. Misinya: pertama, supaya ada UU yang melindungi, sehingga ada pendidikan dan penyebaran informasi tentang kesehatan perempuan. Kedua, untuk memperjuangkan kesetaraan, bahwa laki-laki dan perempuan harus memiliki upaya dan tanggung jawab yang sama. Upaya lainnya ialah membuat draft Undang-Undang Kesehatan yang dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat. “Ini bukan pekerjaan gampang. Rasanya seperti gila. Karena kami harus meyakinkan anggota dewan,”kata Ninuk sembari mengemukakan fakta bahwa soal aborsi masih tetap menjadi kendala terberat.
Aktivitas Ninuk masih terus ke berbagai negara dengan isyu-isyu terdepan tentang kesehatan reproduksi perempuan. Bahkan di negara seperti Iran, ia berhasil mempengaruhi peserta pelatihan yang terdiri dari para dokter, untuk membuat peraturan mengenai kesehatan perempuan dan pasangannya sebelum menikah. Mereka sudah harus “lulus” dari kursus kesehatan reproduksi yang modulnya dibuat oleh Ninuk. “Mestinya saya juga melakukan pemberdayaan di negara sendiri,” katanya. Oleh karena itu, ia secara suka rela melakukan pelatihan-pelatihan dengan mengajak berbagai pihak, terutama LSM.
Aktivitasnya lancar? Tidak. Kendala terbesar justru datang dari negerinya sendiri. “Menghadapi budaya, agama, dan orang yang sempit pikirannya,” ujar Ninuk yang pernah beberapa kali diteror dan diancam karena aktivitasnya yang dianggap memperbolehkan aborsi. “Bahkan ada yang terang-terangan yang mengatakan kami setan,” katanya tenang. Ia dan teman-temannya di YKP juga sering dianggap mengajarkan seks bebas. Tapi buat Ninuk, semua diterima dengan hati lapang. Niatnya adalah untuk kemanusiaan. “Karena saya punya cita-cita, semua perempuan harus menjadi berdaya, mengurus kesehatannya sendiri.” ia tersenyum, sembari memberikan contoh bahwa selama ini untuk berbagai urusan tubuh perempuan itu sendiri, perempuan harus dulu bertanya sama suaminya. Pendapat ada di tangan suami.
Aktivitasnya ini rupanya membuat anggota keluarganya khawatir akan keamanan diri dan keluarganya. Mula-mula memang ibunya ragu, tetapi ia selalu memberikan argumentasi yang tepat. Pun untuk suaminya, Widyantoro, bahwa yang ia lakukan bukanlah tak bermakna. “Saya selalu meyakinkan bahwa hidup harus bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga sesama. Menyumbang, bukan hanya uang, tapi juga informasi yang baik, edukasi, dan memberdayakan,” ibu dari dua anak dan satu cucu ini tersenyum.
“Dulu Bapak ingin saya menjadi dokter,”katanya tiba-tiba, mengenang almarhum ayahnya yang pernah bekerja sebagai kru pertama perusahaan penerbangan Garuda Indonesia. Tapi kemampuannya pada bidang eksak tak begitu baik, sehingga ia memutuskan memilih jurusan Psikologi, Universitas Indonesia. Dan ia baru tahu, bahwa ayahnya pun sempat kecewa hingga jatuh sakit karena pilihan sulung dari enam bersaudara itu. Ia belajar keras untuk bisa meraih nilai terbaik. Sesekali ia meminta ayahnya untuk membelikan buku yang dibeli di luar negeri. Ketika buku itu tiba, sang ayah membaca, dan mulai tertarik pada bidang ilmu baru itu. “Bahkan ketika saya ujian, ayah saya banyak membantu saya memahami persoalan kuliah saya,”katanya senang. “Ia begitu bangga ketika saya menjadi konsultan untuk WHO.”
“Orang tua saya pernah bercerita, bahwa ketika usia saya 3 tahun, saya sakit berat, dan kemungkinan hidup amat tipis. Tapi ternyata saya sembuh,”ia membuka kisah masa lalunya. “Dengan segala kemudahan yang saya terima, saya seperti mendapat tanda bahwa saya harus berbuat sesuatu untuk mengembalikan semua rejeki ini.” Dan tidak lupa, ia menyertakan pernyataan mendasar: bahwa keberhasilannya ini terjadi karena ia banyak berhutang budi pada suami dan anak-anaknya.
Kini, perjuangannya hanya tinggal selangkah lagi. Ia sudah mendidik 14 perempuan untuk meneruskan aktivitasnya dalam kesehatan reproduksi perempuan. PP diharapkan akan segera dilaksanakan. “Saya sudah tak sabaar lagi untuk Ninuk Go for Man!,”ia tertawa, menceritakan program berikutnya: pemberdayaan lelaki. Dia menyadari bahwa kesetaraan dalam kesehatan perempuan untuk lelaki selama ini masih sebatas wacana, lelaki tak pernah diikutsertakan, itu sebabnya kadang program KB masih mengalami kendala. “Saya sudah cobakan pada tukang-tukang ojek, dan mereka senang sekali, ternyata selama ini mereka tak tahu tentang pendidikan kesehatan reproduksi.”
Bulan ini, ia tepat mendapat Kartu Tanda Penduduk untuk seumur hidup. Tapi bukan membuat ia berhenti melakukan aktivitas, sebaliknya semakin banyak hal yang ingin ia kerjakan: menulis buku, mengajar, mengajak jurnalis muda untuk berkumpul dan memberinya bekal tentang isyu kesehatan perempuan. “Semua ini saya lakukan agar perjuangan tak lagi dilakukan sendirian. Saya ingin ditemani anak-anak muda,” ucapnya. Dengan demikian, ia bisa melanjutkan kebahagiaannya yang lain: menikmati rumah, berkebun, dan bermain-main dengan cucunya. Indahnya kehidupan bila semua aktivitas bisa dirangkum dalam sebuah wadah: kehangatan dan kebersamaan. (Rustika Herlambang)
Stylist: Raden Prisya. Foto: Suryo Tanggono. Lokasi: yayasan Kesehatan Perempuan.
Mohon informasi dimana saya bisa mendapat buku banduan konseling KB yang ditulis oleh Ibu Ninuk Widyantoro, terima kasih