Memecah Sunyi
Meski suka berada di zona nyaman, ternyata ia terus mempertanyakan kemapanan
Senyuman ramah yang dipancarkan Jaleswari Pramodhawardani langsung memupus sepi yang sejak tadi terasakan saat menginjak gedung Widya Graha, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),Jakarta, pukul sepuluh pagi. Di tempat Dhanny– nama akrabnya – bekerja sebagai peneliti itu tak terlihat sedikitpun tetamu. Tak ada penjaga yang memeriksa tas pengunjung seperti dilakukan gedung-gedung tinggi. “Sunyi?,” ia tertawa. Dan tawa renyah itulah yang memberi tanda bahwa ada “kehidupan” disana.
Belakangan ini sulit mencari Dhanny. Ia sedang banyak kesibukan di Kementrian Pertahanan dan Markas Besar TNI. “Saya sedang diminta bicara mengenai deradikalisasi, NII, Pancasila, dan ketahanan bangsa,”perempuan berkarakter feminin yang dikenal sebagai peneliti militer di Indonesiaitu menjelaskan. Di sisi lain, ia tengah mengkoordinir penelitian mengenai hak atas kepemilikan – sebuah serial lanjutan dari perempuan dan hak atas seksualitasnya.
Dunia pertahanan dan dunia perempuan adalah dua hal yang menjadi kajiannya selama ini. “Bila diekstrimkan, meneliti perempuan kita kerap diingatkan tentang kepedulian terhadap korban, meski tidak selamanya demikian. Sedang TNI, kita diingatkan akan aktor yang diberi wewenang untuk melakukan kekerasan secara sah oleh negara ini,”katanya. Sebagai peneliti, ia perlu mencurigai diri sendiri sebagai alat untuk berhubungan dengan narasumber. “Saya butuh otokritik. Dengan berada tidak pada satu titik tertentu, melainkan bolak balik di antara keduanya, setidaknya hal ini bisa menyeimbangkan,”ujarnya.
Selain sebagai peneliti dan Kepala Bidang Penelitian Hukum PMB LIPI, ia juga anggota Dewan Penasehat The Indonesian Institute -Lembaga Riset Kebijakan Publik, Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Sektor Keamanan, serta Dewan Penasehat Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). Ia aktif sebagai dewan redaksi majalah Prisma dan dosen tamu Program Pasca Sarjana Pusat Kajian Wanita UniversitasIndonesia. Kajian yang diteliti secara intens adalah pengambilalihan bisnis TNI dan ratifikasi perlindungan buruh migran.
Hingga kini, ia masih tinggal bersama ibunya di kompleks Dephan-Mabes TNI Cibubur,Jakarta. Ini artinya, ia mengkritisi dunia pertahanan justru dari “rumahnya” sendiri, bukan orang luar yang tiba-tiba hadir menjadi selebritis. Dunia pertahanan adalah dunia yang selalu ada dalam lingkaran hidupnya, bahkan sejak ia dilahirkan diSurabaya, 45 tahun lalu, sebagai sulung dari 5 bersaudara. Ayahnya, Letnan Kolonel Laut Asmadhi Bramasthagiri. “Keluargaku kebanyakan ABRI.”
Seseorang yang dipanggilnya “Bapak” adalah lelaki asalKediriyang selalu berbicara kromo inggil (Jawa Halus) kepada ibunya, RR. Soediarti. “Bapak dulu guru nari Jawa, orangnya halus, suka membaca buku, suka sejarah, musik, film, dan bercita rasa tinggi. Saya diminta les menari supaya pintar mengolah rasa dan belajar wayang,” ungkap Dhanny dengan mata bercahaya. Ia mengenal ayahnya sebagai sosok yang tenang dan pekerja keras. “Dia tak pernah galak.”
Ibunya -ia memanggilnya Mama- seorang guru dan kepala sekolah SMP yang memilih menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Dhanny memuji ibunya yang amat pandai mengatur kehidupan rumah tangga, tak pernah sekalipun meminta lebih pada ayahnya, kendati harus membiayai lima anak dengan mengandalkan gaji tentara. “Mama open management. Setiap bulan ia membagi gaji Bapak dalam 30 amplop. Pendidikan harus diprioritaskan,”katanya. Kondisi itu membuat ia lebih disiplin dan bertanggung jawab.
Ketika usia 11 tahun keluarganya pindah keJakartadan menempati satu rumah yang terletak di kampung Condet. Bayangan rumah dinas seluas 500 meter di Surabayaberganti dengan pemandangan perkampungan, tanpa listrik, dan masyakat asli yang masih banyak yang buta huruf. Di sini ia melihat kegigihan sang ibu: mendirikan “sekolah” di teras rumah, mengajar baca tulis, dan membentuk koperasi kampung Dewi Sri yang hingga kini masih berdiri.
Titik balik dalam kehidupannya terjadi ketika di-drop out dari Institut Pertanian Bogor – mengikuti pilihan teman-teman terdekatnya. Ia lupa bahwa ia tak suka pelajaran eksakta, dan tak suka jauh dari pelukan keluarga. Ia sangat terpukul karena merasa tidak bertanggungjawab. Untung ibunya bertindak cepat. Ia mengambil jurusan Komunikasi di Universitas Tujuh Belas AgustusJakarta, satu-satunya universitas yang masih buka pendaftaran waktu itu.
“Saya seperti sedang menjalani hukuman atas tindakan saya,” tuturnya. Komunitas dan sistem pendidikan berbeda. Lokasi kampus amat jauh. Kata-kata ibunya, kamu benar mau kuliah?, menjadi cambuk. “Ketidakbertanggungjawaban saya di IPB harus dibuktikan dengan prestasi,”kata Dhanny yang kemudian menjadi Mahasiswa Teladan sehingga ditunjuk mewakili kampus dalam Temu Karya Ilmiah Remaja Nasional yang diselenggarakan LIPI. Saat itu, ia meneliti mengenai remaja penjual koran di lampu merah – sebuah realitas kehidupan yang ditemuinya setiap hari dalam perjalanan biskotadari rumah ke kampus yang berjarak sekitar 28 km. “Betapa bahaya anak-anak ini. Mereka bicara tentang ekonomi keluarga. Mana orang tuanya? Pada saat inilah muncul kesadaran saya tentang peran negara. Di mana negara?”,
“Yang saya rekam waktu itu adalah cerita kesedihan di mana mereka dipaksa bekerja, tapi melakukannya dengan gembira,” ujarnya. “Itu sebabnya, setiap kali ingin meratap, saya selalu teringat mereka,” kata Dhanny yang akhirnya memilih menjadi peneliti di LIPI, satu-satunya pekerjaan yang dilamarnya. Ia mengabdikan diri pada “negara”- sebagai pegawai negeri- “sosok” yang dipertanyakan dalam penelitiannya itu.
“Penelitian adalah perjalanan kemanusiaan yang ingin kita ungkapkan atau singkapkan. Juga sebuah ruang tempat belajar tentang manusia dan kemanusiaan,” ia bercerita tentang pekerjaan yang banyak mempertemukannya pada berbagai komunitas, etnis, persoalan, konflik, perang, dan lain-lain. Dengan berada di lapangan, ia bisa merasakan secara langsung denyut nadi persoalan yang yang ada. “Saya jadi disadarkan betapa berbeda situasi di Aceh dan Jawa, betapa ironis hidup buruh migran, dan betapa sulit membangun pertahanan yang tangguh, ”ia memberi contoh. Karena bekerja dengan menggunakan empati dan simpati – meski menjaga objektivitas, kadang tak terhindarkan melakukan kerja aktivis karena nuraninya.
Menulis, adalah sarana menuangkan kegelisahan dan merebut “ruang” yang didominasi pemikiran maskulin. Diam-diam, ia juga sering frustasi mendapati situasi negara yang problematik. “Kadang terpikir, sebenarnya ada gunanya nggak penelitian yang pernah kita lakukan? Kalau sudah begini, saya biasanya mencari teman seperjuangan dalam tanda kutip untuk saling menguatkan,” ujarnya. Menurutnya, haram hukumnya untuk lelah di negeri yang sedang menanggung beban sepertiIndonesia.
Ia fokus dalam dunia pertahanan tahun 1999. Ia tersentak ketika mendapatkan fakta di lapangan (melalui media) dunia ABRI yang selama ini begitu akrab dan hangat dengannya dituding banyak melakukan pelanggaran semasa Orde Baru. Bersama teman-teman, ia membuat workshop di 5kotadengan tema hegemoni militerisme terhadap kesadaran sipil. Di sini ia juga disadarkan bahwa militer tidak bisa merujuk pada satu entitas yang homogen.Adajuga kelompok lain yang masih menjunjung nilai kejuangan, seperti dicontohkan ayahnya. “Saya rindu saat pertahanan Indonesiamenjadi macan Asia seperti tahun 1960-an. Saya rindu tentara yang professional dan dicintai rakyatnya.”
Di dunia pertahanan, ia dikenal sebagai peneliti yang sungguh menekuni profesinya, sehingga tidak jarang berada di daerah konflik. “Walau serius dan memperlihatkan keyakinan atas pendiriannya, ia tidak segan bertanya. Saking banyaknya bertanya pada saya, ia telah berhasil men-download data base tentang TNI yang ada dalam benak saya,” Letjen (Purn) Agus Widjojo, mantan Kepala Staf Teritorial TNI yang juga Ketua National Institute for Democratic Governance (NIDG) memberi pendapat.
Apakah ia tak pernah khawatir dengan penelitian yang berhubungan dengan tentara? Ia menggeleng. “Saya tidak takut ketika yang saya tulis dan katakana berbasis data dan informasi akurat.” Tapi kemudian terdiam. “Beberapa waktu lalu Mama berkata. Mama tak masalah dan siap keluar dari kompleks ini seandainya gara-gara tulisanmu Mama diusir,” ia menirukan kata-kata ibunya. “Hal ini memicu saya lebih bertanggung jawab pada pekerjaan saya. ”
Kesadaran pula yang membuat ia memilih jadi ibu tunggal untuk kedua anaknya: Widy dan Gendis. “Saya nyaman dengan pilihan ini. Walau kadang terpikir juga, jangan-jangan saya akan menguntungkan banyak orang kalau sendiri. Ha ha ha.” Lalu berkata serius,”Wilayah kajian saya perempuan. Buat saya pribadi memiliki konsekuensi logis. Saya menagih diri saya sendiri jaraknya terlalu jauh antara apa yang saya katakan dan apa yang saya lakukan?”. Tak jarang, ia menggunakan dirinya sendiri sebagai bahan kajian penelitian perempuan.
Penjiwaan itu pula terasakan dalam penelitiannya dalam fungsi pertahanan dan TNI. Seperti dikemukakan Agus, “Penjiwaan itu terjadi karena ia berasal dari keluarga TNI. Walau seringkali ia menyangkal pendapat itu, namun disadari atau tidak ia sering terbersit akan kebanggaannya menjadi keluarga TNI serta pada almarhum ayahnya.”
“Saya ingin bicara tentang sunyi. Suara perempuan adalah suara sunyi, suara yang tidak pernah terdengar. Ketika bicara soal politik – suatu hal yang bisa mengubah arah hidupnya – yang terdengar tetap suara laki-laki,” katanya. Sementara itu, dalam dunia militer hanya ada satu suara. Tentara professional tidak boleh berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan mengikuti kebijakan politik negara. Ini artinya ada “hak” bicara yang tak pernah terdengar dalam dunia militer (otoriter). “Dunia militer juga sangat maskulin dan perlu perspektif perempuan,” katanya.
Dalam sisi inilah ia berusaha memecah sunyi, membuka suara, dan memberi daya, dengan berbagai penelitian yang ia lakukan. Dua sunyi tersebut seperti menempatkan ia pada radarnya. Bahwa sebenarnya ia sedang berjuang untuk diri dan lingkungannya selama ini. Meski mungkin, ia tak pernah menyadari. (Rustika Herlambang)
Stylist: Raden Prisya. Make up: Christine Tannuwidjaja – OPPO. Fotografer: Hakim Satriyo. Lokasi: LIPI
“Saya memang selalu gelisah. Peneliti itu haram hukumnya tenang, karena realitas selalu bergejolak. Segala hal yang mapan harus dipertanyakan,”ia tersenyum, menebar virus kesadaran.
Mbak Rustika, bisa minta kontak Ibu Jaleswari untuk keperluan wawancara? terima kasih.