Mencari Ruh Tari
Ia seperti pendekar dalam mencari sumber pengetahuan demi sebuah darma kehidupan
Ingatan Fajar Satriadi masih begitu tajam. Standing Ovation itu kembali bergemuruh sepanjang akhir pertunjukan Matah Ati dua hari berturut-turut di Esplanade Singapura, Oktober lalu. Ia sangat bahagia bisa memberikan seluruh energi dan kemampuan sehingga bisa memberi “nyawa” dalam pertunjukan garapan Atilah Soeryadjaya itu. “Saya merasa bahasa tarian itu membius penonton lintas budaya. Pada saat itulah, saya bangga menjadi orang Indonesia. Ada kesadaran nasionalisme yang terungkap kembali,” ujar Fajar yang berperan menjadi Raden Mas Said dalam pergelaran akbar yang juga dipentaskan di Indonesia Mei lalu.
Sebentar lagi, Matah Ati akan melakukan tur keliling ke Asia dan Eropa. Pertunjukan ini kian menambah panjang pengalamannya bekerjasama dengan para maestro tari Indonesia sejak tahun 1990. Di antaranya Sardono W. Kusumo, Miroto, Retno Maruti, Elly D. Luthan, dan Atilah Soeryadjaja. Tak hanya untuk kapasitas lokal, tapi juga berbagai event tari internasional, seperti di Jerman, Brazil, Jepang, Amerika, dan Inggris. Sementara sepanjang 2009 lalu, ia berkeliling beberapa kota di Inggris untuk mementaskan karya sendiri, Suara-Suara dan Tiga Karakter Topeng. Ia juga memberikan workshop tari di dalam negeri dan di Iuar negeri.
Ditemui dalam dua pertemuan terpisah di kediaman Atilah di Jakarta, ia antusias bercerita tentang aktivitas terakhirnya. Setiap hal yang dikatakannya tentang tari dituturkannya dalam bahasa yang ringan dan menyenangkan. “Setiap gerak tari Jawa adalah sebuah perlambang berbagai hal yang ada di alam,” ia memulai pembicaraan sembari berdiri tegak, memberi contoh gerakan pohon cemara berderai ditiup angin, lompatan burung prenjak, dan gerakan belalai gajah. Tapi ketika akan memeragakan sebuah potongan Matah Ati, ia menunduk sebentar, diam, dan khusuk. Lalu tiba-tiba bergerak sembari menembang dengan suara berat yang berasal dari perutnya. Ada greget (ruh/spirit) dan dimensi energi yang langsung terasakan di sekelilingnya. Begitu nyata.
Padahal Fajar tidak lahir dan dibesarkan dalam lingkungan tradisi kuat seperti halnya banyak maestro tari lain. Sebaliknya, ia lahir sebagai anak kota dan tinggal di lingkungan Angkatan Udara di Halim, Jakarta, 16 Oktober 1968. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara, kesemuanya lelaki. Sang Ibu adalah perempuan Jawa berasal dari Bogor, tak bisa menari. “Menari adalah keinginan Bapak,”kisahnya.
Ayah Fajar, Tunggal Tarunadi, dibesarkan dalam suasana gending-gending Jawa, di mana kakeknya memiliki seperangkat gamelan Jawa – yang hilang segala kekayaan karena berjudi. Walhasil, ayahnya sempat hidup susah, dan terpaksa masuk militer demi bisa bertahan hidup. Karena prestasi bagus, ayahnya dikirim sekolah ke India dan Autralia. Meski demikian, ayahnya mendidik anak-anak dengan bekal kecintaan pada tradisi adiluhung bangsa yang didapat dari ajaran Soekarno. Salah satunya dengan memanggil guru tari senior, Moch Jubad dan Wisnu Priyadi, yang waktu itu merupakan mahasiswa ASKI, untuk mengajar tari Jawa klasik untuk Fajar yang ketika itu berusia 10 tahun.
Pada awalnya sempat terjadi resistensi pada dirinya, sampai kemudian ia menikmati proses belajar tari. “Waktu kecil, sembari memegang sampur, saya berkata akan berkeliling dunia dengan ini,”Ia tertawa mengenang harapan masa kecil yang kini telah terwujud. Selain tari, ayahnya juga memperkenalkan pada karawitan, dunia sastra dan sufistik Jawa melalui komik-komik, serta berbagai buku yang mengajarkan nasionalisme. Setiap liburan panjang, ia dikirim ke Solo. Ia juga sudah mulai berpentas dengan teman-teman gurunya, yang tak lain para mahasiswa ASKI.
Sebagai anak muda Jakarta, ia sering dilihat dengan sebelah mata karena aktivitasnya sebagai penari. “Secara empiris, saya sering dikecilkan dan dimarginalkan karena menari. Pada saat itulah saya belajar musik dengan band anak muda yang bersentuhan dengan modernisasi supaya seimbang dengan seni tari,” kata Fajar yang lantas membentuk sekelompok band anak muda. “Narinya, boleh nari Jawa Klasik. Tapi musiknya Deep purple,” katanya tertawa. Hal itu terbukti ampuh untuk mengibas segala persepsi negatif masyarakat. (Ketika kuliah nanti, ia membuat grup band Sansekerta, sebuah grup musik teaterikal, pernah menerbitkan beberapa album. Ia memegang gitar dan menjadi vokalis.)
Tinggal di kompleks angkatan udara membuat ia sempat tergiur masuk Akademi Militer di Magelang. Tapi hanya 1,5 bulan, pikirannya kembali terbayang pada dunia tari, satu-satunya cita-cita yang pernah diinginkan. Dalam kegamangan, sang ayah memberinya semangat: “Kamu tidak usah takut menjadi penari, saya akan tetap mendukungmu.” (Sayang, sang ayah meninggal dan tidak sempat melihat kejayaan anaknya). “Saya pernah melihat ayah menangis ketika saya menari,” ujarnya lirih. Ia lalu mengambil pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (STSI, yang dulunya bernama ASKI).
Ia memperkuat latihan kepenariannya dengan bela diri Perisai Diri, olah diri di bawah pembimbing Prapto Suryodharmo (Padepokan Lemah Putih), meditasi pada Romo Pudjo Darmo, dan pernafasan dengan Tri Makna di Bedugul Bali. Ia merasa bersyukur dalam sejarah pencarian hidupnya berlangsung aman, lancar, dan dikelilingi guru-guru besar. Sardono W. Kusumo mengenalkannya pada ruang profesionalitas. Dari Agung, ia belajar tentang mistisisme (“Katanya, hayatilah tubuhmu karena kamu adalah seorang penari.”). Ada Mimi Rasinah yang keindahan tarinya mengajarkan semangat di jiwa dalam menari. Ada Ketut Ceni yang mengajarkan tentang kearifan tradisi.
Pertemuan dengan banyak maestro ini semakin meyakinkan dia bahwa seorang penari harus memiliki koneksi yang kuat antara pikiran dan tubuhnya, atau yang sering ia sebut sebagai dimensi kesadaran. “Guru-guru saya bilang, kamu tak akan dapat roh-nya kalau tidak nglakoni (melakukan) seperti halnya empu-empu tari zaman dulu melakukannya,” ujar Fajar yang sejak bertemu Sardono di tahun 1990-an mulai mengalami kegilaan eksplorasi pada ketubuhan (nglaku).
Hal itu hanya bisa dicapai dengan cara menyiksa tubuhnya dalam konteks pencarian. “Istilahnya, tidak mencengengkan tubuh. Tanpa melewati itu, kita tidak akan mencapai sebuah pemahaman, yakni darma, untuk sampai ke kebahagiaan,” kata Fajar yang harus belajar meng-alami lima elemen kehidupan: air, api, tanah, cahaya, dan angin. Misalnya, ia menari di puncak gunung Lawu dengan membuka baju, berendam di mata air sungai Pengging, bersemedi di atas ratusan kalajengking warna merah di gunung Wilis, menutupi tubuh dengan kain hitam sepanjang jam 10-12 siang agar cakra-nya terbuka, dan masih banyak lagi. Banyak sekali pelajaran kehidupan ia dapatkan dari pengalaman ini.“Saya tak lari untuk kesaktian, tapi saya lari dalam dimensi gerak dan ketubuhan.”
Ia mencari kesadaran tubuh, dan menyatukan apa yang disebut sebagai jagad besar dan jagad kecil. Tak jarang orang bertanya pada aktivitasnya yang satu ini. Lalu dijawabnya,” Saya menemukan kiblat papat limo pancer.” Yang dimaksud adalah ia menemukan keseimbangan. Ia percaya, menjadi penari memang harus punya intesitas, kesungguhan, kesadaran, dan mendalami hingga sumber asalnya. Pada saat itulah ia merasakan sesuatu yang sangat indah. “Menari adalah saat kita berdoa kepada Tuhan. Merasa dekat dengan Tuhan. Ketika menari, konsentrasi sangat tinggi disertai dengan kepasrahan,” ia berucap.
Perasaan itulah yang akhirnya menguasai dirinya ketika sedang menari. Apakah menari di atas pentas, di depan samudera luas, di atas tebing, atau di puncak gunung. Irama itu tidak hanya terpaku pada gending, tapi juga deburan air, gemericik aliran sungai, hembusan angin, juga desah dedaunan. “Panggung tidak hanya formal, tapi alam. Ketika memahami hal itu, saya tidak lagi membuat perbedaan antara tari dan kehidupan. Dimensi saya tetap orang modern, tapi saya terus melakukan pencarian, kungkum dan lain-lain, agar selalu berada di dalamnya. Ini adalah piranti yang dalam tari akan bisa memberikan kehadiran. Penonton pasti akan menangkap kesungguhan proses kita ini.”
Perjuangan itu juga dialami ketika akhirnya terpilih menjadi sosok RM Said. Atilah tak sedikitpun melirik karena tubuhnya besar. Namun karena semua koreografer merekomendasikan ia, Atilah tak punya pilihan selain menantang untuk menurunkan berat badannya sebanyak 15 kilo. Ia tunjukkan hasilnya dengan kerja keras selama 3 bulan. “Namun, yang saya sukai suaranya. Power-nya menunjang, kuat sekali,” tutur Atilah. Sebagaimana diketahui Matah Ati adalah sebuah pementasan langendriyan yang memadukan lagu dan tari. Dan rupanya, kekuatan suara adalah poin penting lain pada dirinya.
Lalu ia bercerita tentang pengalamannya ketika berpentas ke berbagai belahan dunia dan bertemu dengan berbagai maestro tari. Pernah pada suatu saat setelah ia memberi workshop, pertunjukan, dan dialog (inter-art) di Jepang, seorang pendeta berusia 92 tahun, waktu itu tahun 2008, mendatangi dan menepuk-nepuk perutnya. Pendeta itu mengatakan bahwa teknik pernafasan perut itu sangat popular di Jepang ketika ia masih muda, tetapi sekarang tidak lagi bisa ditemui. “Saya katakan, Indonesia pun punya tradisi suara besar yang berasal dari tokoh-tokoh raksasa seperti Rahwana,” ia tersenyum. Pengalaman ini semakin membanggakannya. “Menurut saya, menolehlah pada diri sendiri. Tradisi Indonesia itu punya pengetahuan (knowledge) yang luar biasa,” ujar Fajar yang hingga kini masih terus diliputi rasa keingintahuan akan segala hal yang menyangkut sumber tradisi untuk digali, dieksplorasi, dan diekspresikan dalam nafas kekinian.
Dan ia memilih menjadi seorang penari independen – sebuah sikap hidup yang amat berani. Sebagai penari independen, ia harus selalu menjadi yang terbaik di setiap “pekerjaan” yang dilalui. “Panggung ibarat medan perang. Kalah dan menang menjadi sangat penting untuk kelanjutan hidup saya,”katanya serius, sembari bercerita mengenai lemahnya penghargaan finansial terhadap tari di Indonesia yang berbeda dengan negara seperti Eropa. Dan mengapa ia memilih sendiri? “Bagi saya, kebebasan itu merupakan kejernihan dalam melihat kehidupan,” lanjut Fajar yang melanjutkan pendidikan S2-nya di STSI demi menggali keilmuan atas dunia tari. Ia menjadi dosen tamu di beberapa universitas di Indonesia dan di Inggris. “Sebagai dosen tamu, saya bicara tentang pengetahuan, bukan rutinitas. “
Dengan segala aktivitasnya, perempuan seperti apa yang disukainya? Fajar tergelak. Pipinya memerah. “Dia harus kreatif, tahu apa yang mau dikerjakan. Cerdas, smart, kreatif, dan tidak lelah bekerja,”katanya cepat. Ia mengisahkan kisah cintanya pada istri yang telah memberinya dua anak lelaki. “Anak sulungku suka karawitan. Anak bungsuku suka menari,” katanya senang. Hidupnya lengkap.
Ia tiba-tiba terdiam, mengingat esensi tari yang pernah diajarkan oleh ayahnya. Belajar menari untuk menghaluskan perilaku dan budi pekerti – sesuatu yang kian langka belakangan ini. Lalu ia membayangkan seandainya seluruh konflik perpecahan yang ada di negeri ini bisa didamaikan melalui kearifan budaya yang ada, betapa berdayanya! Fajar tampak berharap banyak. Dan dunia tari tradisi pun akan terus bergerak. (Rustika Herlambang)
Stylist: Dhani David.Foto: Randy Pradhana Busana: Koleksi Atilah Soeryadjaya. Lokasi: kediaman Atilah. Fotografer: Randy Pradhana
Leave a Reply