Petualang Kehidupan
Passion itulah yang membuat saya selalu kembali, dan kembali…
Perjumpaan dengan Kemal Jufri terjadi pada sebuah senja di Anomali Coffee, Setiabudi Building, Jakarta. Ia duduk di dekat kaca, menghadap jalan raya dan gedung-gedung tinggi di seberangnya, lalu bercerita tentang pengalaman hidupnya sebagai jurnalis foto dengan amat ekspresif. Setiap foto yang dibuatnya adalah cerita panjang yang sangat personal, dibuat dengan sepenuh jiwa dan mata hatinya. Tak berlebihan kiranya bila tahun ini ia mendapat juara ke dua World Press Photo (kategori People in The News Stories), penghargaan dalam tiga kategori dari Picture of The Year International – semacam World Press Photo versi Amerika, serta China International Photo Contest yang memberikan Gold Prize. Ia adalah jurnalis foto pertama Indonesia yang meraih penghargaan tertinggi untuk fotografi jurnalistik itu.
Kemal terlihat menawan dengan kemeja biru tua yang berpadu celana kargo khaki. Dari salah satu sakunya, ia mengeluarkan Krama, syal kotak-kotak khas Kamboja, benda yang amat berguna untuk melindunginya dari berbagai kendala cuaca. “Karena saya bekerja dalam suasana ekstrim, saya perlu menyiapkan busana kerja yang berteknologi quick-dry, celana berkantung-kantung, serta sepatu nyaman yang juga berteknologi tinggi,” katanya. Jika ia dianggap punya “taste” jurnalistik baik, demikian pula dalam penampilan. “Bukan soal modis, hanya segala hal ini membantu saya dalam bekerja dengan nyaman,” elaknya.
Saat ini, Kemal adalah fotografer freelance di berbagai penerbitan internasional, seperti Time, Newsweek, The New York Times, Stern, Der Spiegel, Business Week, dan masih banyak lagi. Tahun ini adalah tahun ke tujuhbelas ia terjun sebagai jurnalis foto. Sejak 1998, setiap tahun, ia selalu meraih penghargaan fotografi dari berbagai institusi, seperti beberapa fotonya yang menjadi salah satu Best Picture of The Year versi Majalah Newsweek, US News & World Report dan Time. “Tak terbayang sih jadi jurnalis foto seperti sekarang ini. Dulunya ingin menjadi desainer grafis atau arsitek, karena sejak kecil saya memang sudah tertarik dengan seni visual.”
Kemal adalah anak kedua dari tiga bersaudara, satu-satunya lelaki. Lahir di Jakarta 37 tahun lalu. Ayahnya, Fikri Jufri, wartawan senior yang juga salah satu pendiri Majalah Tempo dan Jakarta Post. Waktu kecil, ia sering diajak ayahnya ke kantor Tempo. “Ruangan yang paling disukainya adalah wilayah artistik dan kamar gelap,” kata Fikri menegaskan bahwa urusan visual sudah menjadi incaran anak lelakinya itu.
Ketika ditemui di rumahnya, Fikri memamerkan dua lukisan ketika Kemal masih kecil dan sempat sebentar menjadi murid Pak Tino Siddin, dan satu foto dirinya yang dibuat oleh Kemal ketika awal baru belajar fotografi. “Lihat, fotonya sudah seperti gaya Cartier-Bresson,” Fikri bangga, dan membandingkan dengan foto bidikan Henry Cartier-Bresson yang terletak di sampingnya. Di dinding yang lain, terpasang foto ketika Kemal kecil memeluk erat-erat sang ayah. Sementara sang Ibu, Anisa, telah meninggal ketika usia Kemal masih 13 tahun. “Ia terpukul dengan kematian ibunya yang mendadak.”
Setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya di Hawai, Kemal kembali ke Indonesia. “Waktu itu dia belum berpikir mau melanjutkan pendidikan ke mana,” cerita Fikri, yang lantas menyampaikan informasi mengenai workshop fotojurnalistik yang diadakan oleh Galeri Antara. Siapa sangka, saat itulah Kemal seperti menemukan sebagian jiwanya. Segera, ia ikut workshop fotojurnalistik, disambung dengan magang di kantor berita Antara, dan memulai petualangan sebagai jurnalis foto. “Oscar Motuloh dan Yudhi Soerjoatmodjo adalah orang yang paling berjasa dalam mengembangkan potensi saya,”ucap Kemal. Dari keduanya, ia banyak belajar dan dikenalkan dengan karya-karya jurnalis foto dunia. Pernah dalam suatu masa Kemal menjadi asisten Sebastiao Salgado, fotografer kondang kelas dunia asal Brazil.
Awalnya tak terpikir bahwa menjadi foto jurnalis amat berat dan dekat pada bahaya atau maut yang mengintai sewaktu-waktu. Apalagi waktu itu usianya terbilang relatif masih muda, baru keluar dari zona kenyamanan anak SMA lulusan Hawai dengan segala gaya hidupnya. Tapi itulah yang kemudian dirasakannya. Ia menjadi saksi tsunami Aceh ketika ribuan mayat terdampar di mana-mana, mayat mayat manusia yang telah terpenggal dari kepalanya pada kerusuhan etnis di Sampit , berada di tengah desingan peluru di sebuah konflik bersenjata. Dan ia harus bisa membidik dengan lensa kameranya. Bukan hal yang mudah. Diperlukan taktik, strategi, dan momen terbaik.
Kenyataan ini membuat ia tidak hanya bergulat sekedar untuk mendapatkan gambar, tapi terjadi dialog antara dia dan dirinya yang harus pula diputuskannya sendirian dengan cepat, cerdas, strategis, dan penuh perhitungan. Bisa dibayangkan, ketika mendengar desingan peluru, ia justru mendekati sumber suara karena harus mengabadikan momen tersebut. Ketika meliput letusan Merapi dan dampaknya, esai foto yang memenangkan lomba internasional tersebut, ia tidak hanya menunggu korban tiba di rumah sakit, tapi menuju lokasi ground zero bencana. Berlomba dengan maut. Segala peristiwa ini mendadak muncul di depan matanya, dan hal ini amat berat bagi jiwanya.
Ia mengisahkan bagaimana ia amat tercekat saat tiba di Aceh hari kedua setelah tsunami, dan mendapatkan ribuan mayat yang masih bergeletakan. Kejadian itu rupanya memberikan beban psikologis teramat dalam, yang menjadikannya sangat sensitif, mudah tersinggung, terlebih apabila ada orang yang berkomentar dengan kalimat semacam ,”Wah Aceh seru ya..” Ia mengalami guncangan jiwa yang harus diselesaikannya sendiri setelah tugas dari media yang mengirimkannya usai dan sekembalinya ke Jakarta. “Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Aceh, dan tinggal di sana selama hampir setahun, atas inisiatif sendiri,” rupanya pemulihan Aceh itu bersamaan dengan pulihnya pikiran dan perasaannya. Walau ia tahu bahwa seorang fotojurnalis sama halnya dengan seorang prajurit yang baru kembali dari suatu daerah konflik harus mendapat terapi khusus agar jiwa dan fikirannya kembali pulih, ia tidak pernah melakukannya karena ia tidak menyadari pentingnya hal itu. “Khusus untuk tsunami, untungnya saya berhasil memulihkan diri sendiri dengan menyaksikan pulihnya kondisi di sana.”
Berbagai memori, keseraman, kekejian yang pernah dibidiknya, dan akhirnya ia berhasil memulihkannya dengan cara sendiri, membuat ia seperti didewasakan dengan instan. “Hal itu membuat saya lebih matang dari usia saya. Sehingga pernah pada suatu masa saya merasa sulit untuk berhubungan dengan teman sebaya,” akunya. Meski di satu sisi pengalaman tersebut memporakporandakan kondisi kejiwaannya, namun di sisi lain ia seolah disadarkan untuk menjadi manusia yang lebih baik, lebih perhatian pada isu sosial di sekitarnya. “Seperti pisau bermata dua. Walau sempat terpikir untuk meninggalkan profesi sebagai jurnalis foto, namun adalah passion terhadap profesi tersebutlah yang membuat saya selalu kembali, dan kembali.”
Seiring peristiwa yang pernah didokumentasikan, pandangan tentang dunia dan kehidupan langsung bergeser dalam sudut pandangnya. Bahwa segala peristiwa yang diabadikannya sebenarnya tidak hanya mengemban sebuah pesan melalui gambar, namun lebih dari itu, ada sudut pandang personal yang ingin disampaikan. Kehidupan jurnalis foto seperti ia memang tidak hanya berhenti pada sebuah peristiwa. Mendengar orang di bunuh dan melihat orang dibunuh tentu memberikan reaksi psikologis yang berbeda. Hal yang paling berharga untuk dirinya adalah belajar mengenai realitas kehidupan itu sendiri. Ia merasa dimatangkan oleh pengalamannya mendokumentasikan berbagai peristiwa. Lalu bagaimana dia memandang dunia ini setelah mengalami berbagai peristiwa besar itu? Jawabnya, “Seperti kata Friedrich Nietzsche, The world is beautiful, but has a disease called man.”
Oscar Motuloh, Direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara, memuji bekas murid fotografinya itu, “Inilah tahun emas untuknya. Integritas Kemal sudah masuk dalam taraf kematangan seorang fotografer jurnalistik. Kemampuan pembacaan terhadap sebuah pemberitaan menjadi titik jurnalistik dikuasai dengan sangat baik. Dunia fotografi berkembang terus dan ia membuktikan terus keberadaannya.” Perpaduan antara intelektualitas dan stamina sangat dijaga di tengah persaingan luar biasa. Selain menguasai simbol-simbol gambar, apalagi untuk sebuah media internasional, apa yang disajikan adalah sebuah bentuk pembacaan yang fasih,”tambah Oscar tentang Kemal yang tak mudah puas dengan setiap hasil yang dicapainya itu. Setiap karya sekarang harus lebih baik dari karya sebelumnya. Ia selalu mencari angle berbeda, momen beragam, menjajagi setiap peluang, meski untuk satu subjek yang sama, sampai ia merasa mendapatkan yang diinginkan.
Idealisme itu pula yang membuat ia memilih menjadi freelancer karena lebih cocok dengan jiwa seniman dan gaya hidupnya. “Dengan freelance, waktu menjadi milik klien hanya pada saat ia mengerjakan penugasan. “Setelah selesai, waktu kembali menjadi milik saya,” kata Kemal. Dengan demikian, ia berharap memiliki waktu luang untuk kehidupan pribadi dan dapat mengerjakan proyek fotografi di luar penugasan, di antaranya berkaitan dengan masalah kesehatan. Ia pun relatif pilih-pilih klien, misalnya untuk sebuah pekerjaan komersial ia tidak mau menerima proyek dari perusahaan rokok. “Aku anti rokok.”
Dan ia merasa bersyukur karena istrinya, Dina Purita Antonio sangat memahami dirinya. Dina adalah wartawati dan pembuat film dokumenter asal Filipina. “Saya bertemu istri saya belasan tahun lalu di Hawai, menikah pada tahun 2004. Saya jatuh hati padanya karena dia baik hati, punya selera humor, cerdas, pengertian, menarik, baik dalam kepribadian maupun fisik,” ujarnya. Matanya berbinar. Bersama Dina, ia mendirikan Imaji, sebuah payung organisasi yang digunakan ketika mereka melibatkan pihak lain dalam mengerjakan proyek.
“Kemal adalah orang yang sangat pengertian, perhatian, dan sangat suportif,” ungkap Dina yang secara fisik menyukai mata suaminya yang atraktif. Mata yang tersenyum ketika tersenyum, dan dari mata itu pulalah Dina mengerti bahwa Kemal sedang marah atau kesal. Peristiwa yang paling menyentuh Dina adalah ketika Kemal datang ke asramanya pada saat ia ulang tahun. Kemal membawa boneka beruang besar (yang hingga kini masih bersama mereka, diberi nama Mr. Bear) dan serangkai bunga. Di kala lain ia juga pernah mengajaknya ke ruang musik di asrama tersebut dan memperdengarkan sebuah lagu sendu yang membuat Dina tersentuh, bahkan hingga saat ini. “Padahal ia tak pernah belajar piano, tapi bisa memainkan piano dengan perasaannya,”Fikri mengomentari.
Dengan segala hal yang sudah diraih, ia tak ingin memiliki keinginan lain, kecuali ingin terus melakukan apa yang telah ia lakukan selama ini sebagai jurnalis foto. “Namun, saya ingin lebih memfokuskan diri terhadap isu isu sosial yang penting untuk diketahui oleh masyarakat luas dengan harapan dokumentasi tersebut dapat menginspirasi masyarakat luas untuk membuat perubahan ke arah yang lebih positif,” tutur Kemal. Dengan prinsip ini, ia merasa hidupnya akan lebih bermakna. Oh, betapa bahagianya….! (Rustika Herlambang)
Stylist: Jo Elaine. Foto: Suryo Tanggono
“Aku anti rokok.”
“Namun, saya ingin lebih memfokuskan diri terhadap isu isu sosial yang penting untuk diketahui oleh masyarakat luas dengan harapan dokumentasi tersebut dapat menginspirasi masyarakat luas untuk membuat perubahan ke arah yang lebih positif,” tutur Kemal. Dengan prinsip ini, ia merasa hidupnya akan lebih bermakna.
Semoga Tuhan memberkati…
Passion itulah yang membuat saya selalu kembali, dan kembali … wah, aku suka sekali bagian yang ini. Realitanya, passion itu kadang pergi, tapi memang dia akan selalu kembali.
Keren, membuka wawasan yang lebih luas