Perempuan dalam Tari
Retno Maruti
Apakah pencarian identitas diri perempuan dalam karya-karya yang diciptakan adalah bagian dari luapan kegelisahan dirinya sendiri?
Di teras itu, Retno Maruti menari. Angin berdesir, menyentuh dedaunan pohon tinggi yang rindang, menggesekkan irama alam, membuat sepotong gerakan tarian itu menyatu dengan alam sekitarnya. Ia terus menari, seolah kilatan kamera yang mengambil gambarnya adalah bagian dari pementasannya. Siang terik terasa sejuk tepat di teras rumah kediaman Maruti di Jakarta Timur. “Maruti itu artinya angin,” kata Maruti, di sela-sela kesibukannya mempersiapkan pementasan bertajuk Sawitri di Gedung Kesenian Jakarta, akhir Mei.
Pementasan Sawitri merupakan syukuran 35 tahun berdirinya Padnecwara, padepokan tari yang dipimpinnya. Berkisah tentang kesetiaan dan perjuangan seorang perempuan untuk mendapatkan cinta sejatinya – sebuah perjuangan yang mengingatkan pada diri Maruti. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan penuh keteguhan hati dan perjuangan, untuk meraih cintanya dalam dunia tari. “Menari adalah kebutuhan jiwa. Membuat fisik sehat juga perlu, tapi yang lebih penting, saya bisa merasa tenteram dan damai ketika menari,” ia memberi alasan. Senyum membayangi wajahnya.
Hampir enam decade lamanya Maruti menari tanpa henti, menyamai usianya yang kini menginjak 64 tahun. Bisa dikatakan bahwa kehidupan dan tari bergerak seiring. Berbagai pengalaman dan jam terbang semakin membuatnya matang. Setiap peran yang diberikan padanya selalu dilakoni dengan sepenuh jiwa. Begitu indahnya sehingga dulu ada pendapat sastrawan angkatan 45, Mh Rustandi Kartakusuma, yang amat terkenal, Retno Maruti adalah keindahan – sebagai sebuah puncak apresiasi atas totalitasnya dalam berkarya. “Maruti menampilkan Jawa dalam bentuk yang sempurna,” Seno Gumira Ajidarma, budayawan, mengisahkan satu pengalaman ketika melihat pergelaran Roro Mendut di Taman Ismail Marzuki di tahun 1977.
Sementara itu, seniman Danarto yang mengenal Maruti sejak tahun 1968 menyebutkan Maruti ibarat Dewi Sri. Segala sepak terjangnya, sepak terjang perputaran musim. Yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan Maruti dalam menciptakan sebuah kiblat seni pertunjukan modern Indonesia – pada masa percarian bentuk setelah kemerdekaan. Maruti membawa jauh ke depan seni tari Jawa klasik – khususnya Solo- dalam peta seni nasional yang berdaya. Ia berhasil menampilkan seni tradisi tersebut dalam kedalaman rasa yang kreatif. Meski Maruti juga belajar banyak tentang tari kontemporer dan daerah lain, rupanya spiritnya tetap pada Jawa klasik. “Saya hanya ingin jujur pada diri sendiri,” ujarnya.
Dalam silang perjalanan sejarah tari paska kemerdekaan, Maruti tepat berada dalam pusaran gelombang. Ia lahir di pusat kebudayaan Jawa, Solo, tepatnya di Baluwarti yang letaknya berada di dalam tembok keraton meski bukan keluarga Raja. Anak ke dua dari tujuh bersaudara ini (tiga di antaranya meninggal muda) mendapatkan pendidikan langsung dari kraton Solo yang dikenal kuat memegang tradisi dan ritual. Di antaranya, pada maestro berbagai tari klasik Jawa KRT Kusumokesowo, Sukorini, Basuki Kusworogo, dan Laksminto Rukmini. Ia juga satu sekolah dengan putri-putri Raja, suatu pengalaman yang akhirnya membentuk karakter pribadinya di kemudian hari.
Ayahnya adalah seorang pengajar di konservatori karawitan Surakarta, yang juga piawai wayang. Ibunya, ibu rumah tangga, bisa membatik dan rias pengantin – keahlian yang juga dimilikinya kini. Hari-hari masa kecilnya adalah tradisi Jawa klasik dengan dengaran musik senada. Guru tembangnya adalah Bei Mardusari dan Sutarman.Lingkungan tradisi yang kental ini kian mengasah rasa dan intuisi, satu bekal penting bagi seorang penari. Ia lantas mengenang satu pengalaman magis ketika menarikan Bedoyo Ketawang di tahun 1965. “Waktu menari, saya merasakan angin tiba-tiba datang, pasir di keraton tiba-tiba tersibak seolah ada sesuatu yang bergerak melewatinya. Saat itu Raja mengatakan bahwa Kanjeng Ratu datang,” ungkapnya. Nyai tersebut dipercaya sebagai sosok Kanjeng Ratu Kidul, penguasa laut selatan, memberi restu para penari.
Sebelumnya, ketika masih remaja, ia sering pentas di Sendratari Ramayana Prambanan (SRP) di Klaten. Untuk pertama kalinya, ia bergabung dalam sebuah pertunjukan kolosal, menekankan orientasi kelompok, dan kesempurnaan tari sesuai aturan. Di sini pula tarian dan musik gaya Yogya dan Solo -yang selama ini tidak pernah sesuai- berhasil berpadu dengan manis. Ini artinya sebuah tindakan yang amat progresif di masa itu. Maruti berperan sebagai Kijang Kencana dengan sangat baik. Ia bahkan pernah dipuji secara langsung oleh Presiden Soekarno. Popularitasnya melonjak, ia pun sempat dinamakan si Kijang Kencana.
Pementasan di Candi Prambanan itu rupanya amat berkesan. Selain ia belajar dalam dunia tari seluas-luasnya, ia juga diperkenalkan bagaimana sebuah pertunjukan besar digelar dan perlu banyak dipelajari: koreografi, music, lampu, dan bagaimana memimpin semuanya. Sebuah keinginan besar langsung muncul di dalam pikirannya kemudian. Kelak, keinginan untuk menjadi koreografi dan berdirinya Padnecwara adalah bagian dari hasrat masa remajanya ini.
“Dulu cita-cita saya jadi sekretaris,” ia membuka rahasia. Dalam pikirannya, sekretaris memiliki kemampuan untuk mengorganisir segala sesuatu, terbayang cita-cita besarnya untuk mengorganisir sesuatu yang besar dalam dunia tari. Ia pun sempat mengikuti pendidikan sekretaris di Akademi Administrasi Niaga di Solo. Sayang, tak diselesaikannya karena ia harus menuju ke Amerika dan Jepang untuk sebuah misi kesenian bersama penari Sardono W. Kusumo, yang juga penari dari Prambanan. Ia memutuskan menikah dengan penari yang dikenalnya sejak di Solo, Arcadius Sentot Sudiharto.
Pada saat yang bersamaan, Taman Ismail Marzuki berdiri sebagai Pusat Kesenian. Situasi ini menumbuhkan iklim di mana ia bisa bebas berkarya dengan semangat yang lebih baru. Berbagai perubahan dan gerak jaman memengaruhi perkembangan Maruti berikutnya. Ia sudah bergerak dari penari menjadi koreografi, dan bersama suami mendirikan Padnecwara, organisasi yang mengelola seni Jawa, memberi apresiasi seni tradisi, dan mengembangkan budaya Jawa. Dari sinilah ia menciptakan karya-karya besarnya: Damarwulan, Abimanyu Gugur, Roro Mendut, Sawitri, Sekar Pembayun, Keong Emas, dan masih banyak lagi.
Padnecwara yang sudah menghasilkan tiga generasi tari ini dilangsungkan secara pro-bono. “Ini saya lakukan sebagai ucapan terima kasih saya pada guru-guru saya,” kata Maruti. Ia tak pelit berbagi ilmu dan proses regenerasi selalu ditekankan. Untuk pergelaran Sawitri, lakon yang pernah ditarikannya berpuluh tahun lalu, akan diperankan oleh anak semata wayangnya, Genoveva Noiruri Nostalgia. “Inti ceritanya sama, tapi pengembangannya sangat berbeda,” kata Maruti, tetap dengan nada suara lembut.
Baginya, sebuah lakon adalah sebuah amanat. Oleh karenanya, totalitas dalam berkarya harus diwujudkan secara utuh, dalam artian tidak hanya diwujudkan secara keindahan visual ataupun teknik, tapi juga spirit sosok yang dilakonkan tersebut. “Saya tidak boleh mengubah citra lakon tersebut secara sembarangan,” akunya. Itu sebabnya, sebelum pentas Maruti bersama timnya pasti akan melakukan ziarah atau napak tilas ke makam. “Kami menenangkan diri dan memohon ijin karena akan mementaskan kisahnya,” ujar Maruti. Ia percaya bahwa spirit itu akan hadir di setiap pergelaran. “Dengan ziarah, para penari akan bisa melakukan tugas denga penuh percaya diri, fasih bercerita, karena meng-alami-nya. “Tanpa begitu, karya tidak bisa berdaya,”ia membuka rahasianya.
Di balik penampilan yang kalem, sesungguhnya bergelora semangat yang menyala-nyala, mempertanyakan identitas perempuan melalui tariannya. Lihat saja berbagai karya yang diciptakannya: Damarwulan, Sawitri, Sekar Pembayun, Roro Mendut, adalah sosok-sosok nyata perempuan berdaya. “Kebetulan sebagian besar anggota Padnecwara adalah perempuan, sehingga ketika bercerita tentang dirinya sendiri, kita akan lebih memahami,”kata Maruti yang mereinterpretasikan karya-karya sejarah yang lebih banyak berkisah tentang perjuangan perempuan. Sekali lagi dalam tata cara yang amat cantik dan elegan. Seperti dikatakan Seno, “Ia mencipta sebuah lakon yang diambil dari sejarah atau kitab mahabarata Ramayana dengan penafsiran yang sama sekali baru. Ia seperti mencari identitasnya sendiri, kejawaannya, melalui dirinya sendiri.”
Begitulah. Ia tak pernah berhenti berkreasi menciptakan kebaruan. Yang diinginkannya adalah dunia tari yang memberikan “nyawa” pada kehidupannya itu terus berkembang dan tidak mati di tengah persaingan dunia seni dan hiburan yang kian banyak dan beragam, sementara hak cipta masih belum tercipta. “Kuncinya harus jujur lahir dan batin. Kadang saya mencipta, tapi, eh dianggap saya yang meniru. Memang sebal, tapi saya tak mau terlarut pada sakit hati. Itu adalah bagian dari roman berkesenian di Indonesia,”ujar maruti yang selalu bermeditasi bila kegalauan itu terjadi.
Dan hasilnya, Maruti tak pernah habis dibicarakan dalam lintas batas waktu dan generasi. Berbagai penghargaan atas prestasinya diterimanya dengan rendah hati, seperti Penghargaan Akademi Jakarta atas pencapaian seumur hidup dan pengabdiannya pada bidang kesenian dan humaniora pada tahun 2005. Rupanya, dalam lintas keberuntungan itu ada kerja keras dan pemikiran yang terus menerus, sehingga bahkan hingga kini Retno Maruti adalah sebuah nama yang terus dinanti. (Rustika Herlambang)
Stylist: Jo Elaine. Tata Rias: Erica Jennings. Fotografer: Priscillia
Saya suka..
Meski ƍäª mudeng istilah2..