Pesan dari Sehelai Kain
Okke Hatta Rajasa
Seperti perajin yang menenun dengan segenap hati dan rasa, maka seperti itulah ia memberikan jiwa pada sesuatu yang dicinta
Perkembangan tenun Indonesia yang semakin gemerlap dalam dunia fashion tahun belakangan ini rasanya agak sulit dipisahkan dari sebuah nama: Cita Tenun Indonesia (CTI). Organisasi para pecinta tenun untuk melestarikan dan sekaligus memasarkan tenun Indonesia ini telah membuat produk tenun menjadi the new lifestyle. Kegemilangannya bahkan sudah melebar hingga ke manca negara. Dan di balik segala keberhasilan, ada jerih payah Okke Hatta Rajasa, Ketua CTI, untuk mewujudkan mimpi: tenun go internasional.
Begitulah. Okke dan CTI tidak hanya memikirkan tenun menjadi lebih berkilau, namun juga menyentuh persoalan yang lebih esensial: berbagi pengetahuan dan wawasan, sekaligus pemberdayaan perempuan dan masyarakat perajin. Memecahkan kebuntuan pada tenun yang awalnya hanya dipakai dalam acara adat dan formal. Sebagaimana diketahui, sebelum CTI lahir pada tahun 2008, tenun berada dalam kondisi suram diakibatkan oleh berbagai keterbatasan. CTI mempertemukan dan menjembatani antara pengguna dengan perajinnya, antara produksi dan pasar. Hasilnya Anda bisa lihat tenun menjadi demikian seksi, seperti dalam pergelaran CTI di Jakarta Fashion Week lalu.
Okke ditemui di rumah dinas menteri, Kompleks Widya Chandra, Kebayoran Baru, awal Maret lalu. Sepanjang percakapan, ia mengisahkan sejarah tenun beberapa daerah dengan baik, memberi kesan tentang pemahamannya. Tidak tersirat sedikit pun bahwa terjunnya di dalam dunia tenun hanyalah karena posisinya sebagai istri pejabat yang penuh agenda seremonial – sebagai istri dari Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa. Sebaliknya, ia terjun langsung ke berbagai daerah, mengajak tim desainer, desainer interior, dan desainer tekstil untuk mengenal perajin, mengetahui kesulitan yang ada, mencari penyelesaian dengan sangat elegan dan pendekatan profesional, dengan satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan.
“Saya sangat menikmati ketika berada bersama perajin,” ia tersenyum. Sebentuk romantisisme mengendap dalam alam bawah sadarnya. Setidaknya, kesimpulan itulah yang terasakan pada akhir pertemuan yang hangat. Kekakuan pada awal pertemuan sudah cair saat secara mendadak Hatta Rajasa mengintip aktivitas istrinya dan menyempatkan diri berfoto bersama. “Saya nervous di depan kamera karena biasanya kan bukan fokus pada saya,” ia merendah, “Jadi ketika ada Bapak, ada yang saya pegangin.”Tawanya langsung pecah. Sejak itulah percakapan menjadi mengalir.
Okke lahir di Palembang, 19 Oktober 1956. Ia sulung dari 5 bersaudara. Ayahnya seorang tentara pada masa Jepang yang akhirnya memilih berkarier di perusahaan minyak asing Stanvac, sebagai Kepala Personalia. Dari sang ayah, ia belajar tentang kejujuran, apa adanya, dan segala sesuatu yang diperoleh harus berdasar prestasi. Ibunya seorang guru yang sangat mengatur anak-anaknya. “Sejak dulu ibu saya sudah membuat coffee morning atau high tea. Beliau modis sekali dan suka melukis.” Dari namanya saja, Oktiniwati Ulfadariah, dipanggil dengan nama Okke, sudah ketahuan kalau keluarganya berpandangan Barat, namun juga kuat menjaga agama.
“Mohon maaf, kita tinggal di kompleks minyak di mana semuanya orang asing, berpindah-pindah dari Riau, Palembang, dan Jakarta,” ia menceritakan kehidupan masa kecil, diawali permintaan maaf, bermaksud untuk tidak menyombongkan diri. Karena sang ayah bekerja di perusahaan asing, standar hidup keluarganya tinggi. “Waktu tinggal di kompleks saya ada batas. Di rumah sudah ada nanny, koki, dan housekeeper,” ia tertawa, mengenang situasi di mana ia dibesarkan.
“Saya produk ortu bahwa dokter atau insinyur adalah orang berhasil,” katanya kemudian. Cita-cita menjadi arsitek harus kandas, karena sang ayah memintanya menjadi dokter. Ia lantas mengambil pendidikan dokter gigi di Universitas Mustopo, Jakarta, hingga lulus. Meski sempat diterima di Universitas Indonesia jurusan Arkeologi tahun berikutnya, akhirnya ia teguh memilih menjadi dokter gigi. “Setelah lulus dan punya anak, saya bersyukur, karena karier dokter gigi membuat saya dekat dengan anak-anak, tak perlu jauh dari rumah.”
Pertemuan dengan masyarakat kebanyakan terjadi ketika ia harus menjalani Wajib Kerja Praktik sebagai dokter. Okke beberapa kali terkekeh mengingat berbagai pengalaman yang dijalaninya masa itu. “Begitunya lugunya pandangan masyarakat waktu itu. Jadi suatu ketika, teman dokter saya dipanggil ke rumah untuk membantu melahirkan, anak kerbau., Atau ketika pulang rawat gigi, saya dibawakan telur bebek, ”wajahnya berbinar-binar. “Saya suka banget karena saya tidak dapatkan kehidupan nyata seperti masyarakat awam, segalanya saya dapat. Itu sebabnya, sekarang waktunya bersama mereka. Saya benar-benar bisa meninggalkan formalitas. Saya lebih senang menjadi diri saya sendiri,” pengalaman seperti itulah yang rupanya ia rindukan selama ini.
Okke menikah dengan Hatta, dan menjadi ibu untuk empat anaknya: Reza, Aliya, Azimah, dan Rasyid. Karier menjadi dokter gigi memang menyenangkan baginya. Ia menjadi pegawai negeri dan menjadi dokter di puskesmas di wilayah Depok. Sempat membuka praktik swasta di RSI, namun akhirnya ia memutuskan keluar – sembari mengubur keinginan awal untuk buka di rumah. “Waktu itu saya merasa saya tidak bisa mendidik anak dengan baik. Setiap pulang dari praktik, anak-anak baru berlarian mandi, dan ini membuat sedih.“
Sebagai PNS, ia tetap bekerja di puskesmas di wilayah Depok hingga Hatta diangkat dalam Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Terkait dengan jabatan suami, ia mendapat kepercayaan sebagai Ketua I SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu) yang bertanggung jawab atas program Indonesia Pintar untuk pendidikan (perpustakaan keliling) serta program Indonesia Kreatif yang memberdayakan masyarakat rural ke global. Di Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional), ia duduk sebagai Ketua Bidang Pameran dan Kerjasama Luar Negeri. “Saya beruntung bisa memadukan semuanya. Antara pendidikan, kreativitas, dan aktivitas di CTI.”
CTI adalah murni idealisme pribadi. Ketika usianya baru 16 tahun, ia mendapat kain tenun Komring, yang lantas hanya disimpannya begitu saja di peti kayu berukir – dua-duanya pemberian neneknya. Komring adalah nama kampung Okke di Palembang. Di masa lalu, di kampungnya ini nilai perempuan yang akan menikah ditentukan kepandaiannya menenun. Lalu ketika ia menikah, ia memajang kain kuno tersebut di rumahnya. “Alasannya, saya ingin punya rumah yang berbeda dengan yang lain. Eh, giliran anak-anak saya sekolah di Bandung, mereka membawa serta kain tersebut, biar selalu merasa di rumah katanya,” Okke tertawa. Kain ternyata juga pengikat kehangatan keluarga.
Lalu ketika turut sang suami kunjungan kerja ke Belu tahun 2002, ia kembali mendapat kain adat Belu. Kali ini pemberinya adalah tetua adat. “Lalu saya bertanya, mengapa Bapak memberi saya kain? Lalu dijawab bahwa kain adalah bentuk penghormatan tinggi untuk orang lain – dalam keseharian mereka mengenakan kain itu,” Okke menuturkan kain yang bercorak unik seperti ular itu. Karena motifnya bagus, ia lantas mencari tahu mengenai seluk beluk kain Belu – dan saat itulah ia jatuh cinta pada dunia kain. “Di balik kain banyak cerita. Tak hanya soal moral, tapi juga filosofi kehidupan. Saya kagum karena semua cerita mereka kerjakan, tidak dengan verbal, tapi bahasa tangan, rasa, dan itu luar biasa.”
Kegelisahan pada tenun itu acapkali disampaikan pada teman-temannya, hingga akhirnya tercetuslah CTI, yang tidak saja mengekspresikan pada fashion tapi juga interior. Organisasi tersebut sangat serius, bahkan memiliki akte notaris. Pada awalnya, ia mengundang desainer busana dan desainer tekstil. Ia menyampaikan niatnya bahwa membangun sesuatu yang besar untuk bangsa tidak bisa dilakukan sendirian, harus bergerak bersama-sama. “Mau nggak kalian berbagi ilmu?,” Okke menjelaskan betapa tidak mudah mengajak kerjasama kaum seniman dari masing-masing bidang tersebut. Ego seniman masih berkuasa. Tapi dengan komunikasi, pendekatan dari hati ke hati, proses tersebut berjalan dengan mulus. “Buat saya pribadi, saya hanya ingin membuat sesuatu yang terbaik untuk orang lain.”
Desainer Priyo Oktaviano yang bergabung di CTI hampir dua tahun terakhir mengatakan,“Okke memiliki visi dan misi yang jelas. Konsepnya tegas. Itu yang membuat semua pihak bisa diajak kerjasama. Yang menarik, untuk melestarikan tradisi tenun, ia mengajak dan membina para perajin muda.” Priyo mengakui, setelah bergabung hampir dua tahun di CTI, wawasan dan pemahamannya akan kain Indonesia lebih terbuka. “Kini saya jadi mengerti kain, struktur kain, pewarnaan kain, dan ketika mendesain sebuah busana saya jadi lebih memahami dan mengerti arti kain diwujudkan untuk sebuah desain busana yang tepat.”
Dalam tiga tahun terakhir, CTI berhasil mengembangkan sentra-sentra perajin di daerah dengan menggandeng CSR perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Tahun kedua dirayakan dengan peluncuran buku Tenun: Handwoven Textiles of Indonesia. CTI juga melakukan show ke berbagai Negara dan mendapat apresiasi positif. Semua ini dilakukan demi mempromosikan tenun sebagai tradisi Indonesia. “Kami sudah mengusulkan ke UNESCO sebagai upaya untuk mencatatkan tenun Indonesia sebagai warisan tak benda budaya dunia,” kata Okke yang gundah karena ikat ternyata juga didaftarkan oleh negara lain.
Ketika ditanya dari mana asal mula kepandaiannya dalam mengatur semua tugas-tugasnya, Okke tersipu-sipu. “Saya belajar dari peristiwa ketika saya membesarkan anak saya, Azima dan Rasyid. Kebetulan dalam setahun itu, saya dua kali melahirkan. Karena umurnya hampir sama, saya membesarkan mereka berdua. Saya belajar bagaimana menghadapi konflik dua anak tersebut. Metode itulah yang saya lakukan ketika menyelesaikan berbagai masalah yang ada di CTI. Gaya saya mendidik anak-anak saya terapkan pula dalam pergaulan. Jadi semacam managemen rumah tangga-lah,” ucap Okke yang akhirnya didewasakan dalam dunia politik suaminya yang kadang, seperti diungkapkannya, orang tidak berpikir bahwa kami juga manusia yang punya perasaan.
Hatta mengungkapkan perasaannya pada Okke, “Tidak akan cukup kata-kata saya, tapi dalam bahasa yang lebih simpel, ia membuat saya tenang.” Okke tampak tersipu-sipu. “Memang beliau tak pernah ikut campur tangan. Tapi ketika saya ada halangan untuk membuka sebuah peluncuran buku tenun, Bapak mau menggantikan saya. Ternyata ia tahu tentang tenun juga. Saya jadi terharu, diam-diam beliau memperhatikan saya,” ia tersenyum. Rupanya perempuan yang memberdayakan perempuan penenun dan tenun ini diam-diam menanti dukungan suami yang memberinya energi berlebih untuk mengembangkan cintanya pada tradisi tenun Indonesia. (Rustika Herlambang)
Stylist: Rifina Muhamad. Rias Wajah: Nila Gusnaldi. Foto: Ariel
ibu,,saya perajin batik tenun ikat dan SARUNG GOYOR TANPA SAMBUNG TENGAH,,saya mohon kepada ibu Okke Hatta Rajasa supaya bersedia membantu dan membina kami untuk memajukan dan mengembangkan produk kami agar dikenal oleh masyarakat luas,,pasalnya pemkot di daerah kami begitu apatis dengan pemberdayaan produk lokal,,kiranya permohonan kami ini mendapatkan respon positif dari ibu
no telp saya 085259597540,,terimakasih atas perhatiannya..
Inspiring woman …. senang, bangga n terharu membaca cerita d atas, memberi inspirasi dlm membesarkan anak2 … bangga anak2nya jd anak yg benar n sekolahnya bagus …. keberhasilan seorg anak dilihat dr cara ortunya membesarkan mereka …. kasus yg menimpa anak bungsunya betul2 cobaan yg berat, saya yakin dari hati sy yg paling dalam dia anak yg baik, sy smp menangis mndngar berita n cerita smp peristiwa itu terjadi n dia msh smpt menolong korban … hal ini yg membuat sy smp mncri profil kel bpk hatta rajasa n ibu …. semoga ibu d beri kekuatan atas peristiwa ini …
ibu okke….kita sesungguhnya adalah teman lama di sman24 satu angkatan…tapi ibu sudah berubah menjadi sombong seolah tak mengenali kami lagi….ini fakta ibu….
NAMA ASLI IBU KAN , OKTINIWATI ULFA DARIAH, KOK PAKAI NAMA ORANG SIH NAMA PAK OKKE, YANG MANA ITU NAMA PAK OKKE ASLI SESUAI AKTE KELAHIRAN. IBU ITU BUKAN ARTIS , YG SUKA PAKAI NAMA ALIAS . ISTRI ORANG PEJABAT MEDTI BANGGA DENGAN DIRI SENDIRI BUKAN MNJADI DIRI ORANG LAIN , BU.