Yang Berdiam di Dalam Kanvas Julius Ariadhitya Pramuhendra
Pada setiap karya, ia selipkan sebuah cerita untuk seseorang yang tak pernah ada dalam kanvasnya
Julius Ariadhitya Pramuhendra adalah sebuah nama yang menjadi bahan perbincangan sepanjang 2010 dalam dunia senirupa Indonesia. Karya instalasi Ashes to Ashes yang digelar dalam Hong Kong Art Fair 2010 banyak mencuri perhatian. Di tengah pergulatan warna dan tema berbagai kreasi seni yang tampil dari berbagai galeri besar dunia, ia muncul dengan warna monokromatik hitam putih. Instalasi itu terdiri dari sebuah drawing foto realis, sebuah meja dan jam dinding terbakar. Dalam drawing, tampak sang seniman beserta keluarganya menikmati perjamuan makan yang mengingatkan pada lukisan Leonardo da Vinci, Last Supper.
Kekuatan karya dan kemampuan teknis yang dibawanya pada saat itu sempat membuat namanya disebut-sebut sebagai calon terkuat penerima penghargaan seniman pendatang baru terbaik. Sayangnya, kesempatan itu belum tiba. Meski demikian, beberapa galeri internasional melirik potensi pria yang baru genap berusia 27 tahun pada 13 Agustus itu. Paling tidak, sebuah pameran tunggal telah disiapkan di Taipei pertengahan tahun ini. Ia juga menyiapkan satu pameran tunggal istimewa yg masih dirahasiakannya. Setelah itu, sebuah pameran tunggal istimewa yang masih dirahasiakan di Indonesia sudah menanti. “Tunggu tanggal mainnya, akan banyak kejutan!,” Hendra, sapaan akrab Pramuhendra, mencoba berahasia.
Terus terang, nama Hendra dalam kancah dunia senirupa terbilang relatif muda. Baru sekitar tiga tahun terakhir. Tepatnya ketika ia membuat sebuah pameran tunggal berjudul Last Supper di Galeri Cemara, Jakarta, tahun 2008. Pameran ini agak mengejutkan publik, di mana ia merepresentasikan lukisan-lukisan Da Vinci melalui dirinya sendiri dengan menggunakan teknik drawing menggunakan arang yang cukup matang. Tak sia-sia apabila ia menerima penghargaan Honorable Mention drawing Award, the 12th International Biennale Print and Drawing Exhibition 2006 di National Taiwan Museum of Fine Art. Kematangan berpikir, keunikan keahlian yang dimiliki, serta konsep kuat membuat karya-karyanya banyak diperhitungkan.
Seperti juga seniman arang yang biasanya memotret biografi mereka di atas karya, demikian pula pada Hendra. Segala hal yang dibuatnya tak pernah lepas dari dirinya sendiri: sekolah taman kanak-kanak, kehangatan di meja makan, kerinduan pada keluarga, kegelisahan, dan juga, persoalan agama. Hal ini membuat karya-karyanya terasa sangat personal. Salah satunya adalah Missing Moment yang berkisah tentang reformasi 1998 yang diletakkan di dinding studionya di Bandung ketika dewi bertandang. Gambarnya mengingatkan pada kubah gedung parlemen dalam sapuan hitam putih, seperti memori yang semakin gelap. “Saya mencoba menyambungkan diri dengan peristiwa reformasi. Tapi selalu gagal. Ketika semua bicara tentang reformasi, yang teringat pada saya hanyalah kegelapan, Dua hari sebelumnya ayah meninggal,” ujarnya membuka pembicaraan.
Siang itu, dewi menemuinya di studionya di Bandung. Studio itu terletak di dalam kompleks militer Kodam Siliwangi, bekas gudang senjata yang sudah dikosongkan. “Saya sibuk sekali bulan-bulan ini,” ia menjelaskan mengapa pemotretan harus dilakukan di sana. Studio itu amat bersih dan tertata rapi. Beberapa karya dia dan teman-temannya menyandar dinding.Di tengah ruangan terlihat karya bergambar adik perempuannya yang dibuat dari cat air – tetap dengan warna monokrom hitam putih- yang belum diselesaikan. Pada ujung ruangan terdapat ruang kaca yang berisi buku-buku dan keyboard: sebuah tempat di mana ia bisa mendinginkan diri dan bermain musik kala jenuh melanda pikiran. Suara berisik dari plastik tertiup angin yang diletakkan di atas atap untuk mencegah bocor memberikan kenangan tersendiri. Kedamaian terasa.
Hendra melewati masa kecil hingga remaja, dikatakannya sangat menyenangkan dan mengenangkan, di kota Semarang, Jawa Tengah. Keluarganya harmonis dan hangat. Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara. “Ayahku guru fisika, tapi jago menggambar. Setiap hari dia drawing dengan menggunakan bolpen. Bagus sekali. Gayanya sangat Renaissance, kolosal dengan pendekatan gelap terang,” ia berkisah tentang ayahnya. Kedekatan itu terlihat dari beberapa foto yang dipasang di facebook-nya. Sang ibu, yang sangat dibanggakannya, awalnya adalah seorang ibu rumah tangga yang akhirnya terjun di bisnis catering demi melanjutkan kehidupan bersama lima anaknya yang masih kecil.
“Kalau kau tanya peristiwa terbesar dalam hidupku, mungkin tahun 1998, ketika reformasi itu terjadi. Tapi maknanya bukan sebuah kemenangan, tapi sebuah kesedihan teramat dalam,” ia menautkan kembali persoalan diri dengan karyanya. Pernyataan ini menjadi teramat dalam ketika ia sampaikan dalam perjalanan dari studio menuju Selasar Soenaryo tempat wawancara akan dilakukan.( Ia sengaja mencari tempat yang indah dan nyaman untuk berbicara).Hari hujan. Sepanjang jalan berkelok tampak berjajar pohon tinggi dan rindang, seperti bingkai pemandangan lukisan mooi indie. Di dalam mobil terdengar lagu Like a Waterfall yang syahdu, ciptaannya sendiri. “Ini lagu untuk temanku ketika ayahnya meninggal. Aku membuatnya sampai mau menangis,” kata Hendra yang akan meluncurkan album musik terbaru bersama grup Watercolour tahun ini.
Tapi sang ayah tak sempat menularkan kebisaan menggambar pada dirinya, seperti juga bakatnya pada musik. Sang ibu menerangkan, Hendra hampir menguasai seluruh alat musik, kecuali alat tiup, meski tidak pernah mengambil kursus, dan tidak memiliki alat sama sekali. Ia sendiri ketika kecil juga tak tertarik pada dunia seni dan musik, bahkan hingga ayahnya meninggal di sebuah kecelakaan dalam perjalanan ziarah, pada usianya ke-13. Ia hanya membayangkan jadi pilot. Lalu ketika ia masuk ke jurusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, semata-mata karena atas alasan praktis: antara ingin jadi seniman atau desainer grafis. Ia mulai mencintai gambar ketika duduk di bangku SMA. Itupun karena kegiatan ekstra kurikuler sekolahnya.
“Pada suatu hari yang cerah, Ucok memintaku untuk fokus ke drawing saja,” ia mengenang suatu waktu yang amat bersejarah buatnya. Ucok adalah nama panggilan dari Aminudin Th Siregar, dosen di ITB dan kurator seni. Awalnya memang coba-coba, namun ternyata bakatnya ada di sana. Apalagi ia menggunakan teknik charcoal (arang), media yang langka digunakan oleh seniman muda. Sejak itulah, ia secara serius memperdalam kualitas drawing menggunakan arang sehingga mendapatkan penghargaan internasional seperti tersebut di atas.
Namun memang tidak mudah untuk meniti hidup menjadi seorang seniman. Masa depannya sulit diramalkan. Sementara ia merasa tak sabar “membahagiakan ibu”. Itu sebabnya, ia sempat berkeinginan untuk bekerja di bursa yang kemudian ditentang oleh Ucok – seseorang yang akhirnya banyak berjasa dalam perkembangan kesenimanannya. “Buat apa saya lelah mendidik dia sampai jadi sarjana kalau akhirnya bekerja di dunia lain. Sayang, dia punya kemampuan menggambar yang demikian baik,” cerita Ucok, yang akhirnya menjanjikan Hendra untuk bisa pameran dan membantunya masuk ke medan senirupa. Dan hal itulah yang terjadi. Ketekunan dan peluang bersatu dalam sebuah kerja keras. Ia mengasah kemampuannya: monokrom hitam putih, arang, identitas.
Berbagai pilihan ini tidak serta merta. Seperti dikatakannya, arang sangat filosofis. Dalam lukisan-lukisan lama, arang adalah salah satu teknik kuno, yang banyak digunakan pada masa Renaissance. Ia mereguk semangat jaman itu, dengan mereinterpretasi terhadap kebakuan yang ada, termasuk dalam cerita-cerita kitab. Beberapa karyanya antara lain Last Supper dan Crucifixion. “Hitam dan putih, di sana dibutuhkan satu lapis imajinasi, ” tutur Hendra yang selalu menyiapkan karya-karyanya bak sutradara: naskah, acting, fotografi, dalam sentuhan dramatik. Puitis. Sebelum kemudian ia menggarapnya di atas kanvas berukuran besar.
Semua kreasi “dibintangi” oleh dirinya sendiri dan keluarga terdekatnya. Ibu, nenek, adik, kakak, yang semua mendukung arahan Hendra, bahkan termasuk nude series (Crucifixion). “Tentu sangat berat buat saya. Akan lebih mudah bila dilakukan oleh model. Tetapi mereka percaya (pada saya),” ungkap Hendra yang senantiasa gelisah mempertanyakan hal ihwal identitas diri, baik secara interen, personal, maupun sosial, yang direpresentasikan dalam karyanya. “Semua beranjak dari memori. Keluarga di mana aku dibesarkan. Wilayah-wilayah diriku di tengah perhelatan seni,”ia memberikan alasannya. “Bahkan meja makan yang dibakar, itu dibuat mirip meja makan di rumahku,”tuturnya tertawa. Lalu terdiam sejenak. Berpikir. Apakah sisi-sisi spriritualitas yang tertawan di dalam karya-karyanya merupakan “panggilan” jiwa dari sang ayah?
Meski demikian, cara ia berkarya bukan dengan teknik yang rumit. Justru sederhana dan mudah dicerna. Dengan teknik menggambar yang lebih baik, ia bisa mewujudkan semua gagasan visual dan ide yang ingin ia wujudkan. “Tak semua seniman muda memiliki dua hal ini: keterampilan gambar yang baik dan konsep tajam yang relevan dengan kenyataan ia hadapi sehari-hari,” puji Ucok. Meski demikian, sesungguhnya ada yang tersisa dalam setiap karya Hendra. Seperti sebuah pertanyaan tanpa jawaban. Gelas kosong yang ditinggal pemiliknya. Jam dinding yang terbakar. Ada tempat yang disisakan untuk seseorang yang tak pernah datang. Atau mungkin juga, ia sisakan sebuah cerita. “Saya selalu meletakkan misteri di sana.”
Misteri tentang perempuan juga ada pada dirinya. “Pacarku burung-burung sekarang,” ia tergelak, mengisahkan aktivitas yang amat digemarinya. “Saya suka perempuan yang tegar dan natural. Tak suka perempuan dandan,” katanya spontan. Nama yang disebut kemudian adalah Natalie Portman dan Mariana Renata. Ia membayangkan perempuan yang kelak menjadi kekasihnya itu bisa bergaul dengan burung-burung, tak sungkan diajak ke pasar burung, menemaninya ke smart house yang didirikan bersama teman-temannya untuk pendidikan anak-anak miskin di Bandung, atau memelihara sapi bersama di rumah-rumah penduduk, seperti yang dilakukannya. “Hendra memang punya jiwa sosial sangat tinggi. Ia selalu berbagi dengan kawan-kawan dengan segala yang dimiliki,” sang Ibu menambahkan sifat-sifat Hendra sejak belia.
“Saya belajar banyak hal dalam dunia seni. Terus terang kadang saya bosan basa-basi yang ujungnya minta karya. Kita harus berhati-hati. Jadi seniman hanya punya satu tangga,” jelasnya. Sikap ini memang kadang membuat ia dicap sombong, seperti diungkapnnya. Tapi rupanya, sikap seperti itu amat diperlukan dalam dunia seni. Seperti pesan Ucok padanya. Konsistensi dan komitmen pada kerja keras harus terus dilakukan. Ia harus hati-hati dalam melangkah. Dunia senirupa tak mudah ditebak, se-moody orang yang terlibat di dalamnya. Dan ia harus terus bekerja keras demi menaklukkan dunia yang kini telah dicintainya. Sebuah dunia yang dipersembahkan untuk keluarga, terutama untuk ayahnya, yang tak pernah ada di dalam kanvas-kanvasnya. (Rustika Herlambang)
Busana: stylist: Jo Elaine. Fotografer: Teuku Adjie lokasi: Studio Pramuhendra, Bandung
Kenapa ya, aku berekspektasi foto Pramuhendra di blog ini juga hitam putih. Seperti monokromatik pada karya-karyanya. Seperti yang selalu aku ingat jika nama dia disebut. Hitam dan putih.
terimakasih… pada anak muda, aku bisa belajar tentang masa depan