Mercusuar Keberanian
Yenti Garnasih
Saya tidak bicara uang, tapi kehormatan. Bukan soal kekayaan, tetapi keadilan
Perempuan yang berjuang dalam dunia pidana kejahatan pencucian uang itu bernama Dr. Yenti Garnasih SH,MH. Ia adalah doktor pidana pencucian uang (PU) pertama di Indonesia yang belakangan ini menjadi primadona, khususnya ketika berbagai kasus korupsi besar-besaran terasa menguap begitu saja. Salah satu perjuangan yang berhasil mendapat pengakuan adalah ketika ia memaksa majelis hakim untuk menerapkan pembuktian terbalik kepada bekas pejabat pajak Bahasyim Assifie. Bahasyim harus bisa membuktikan bahwa dugaan PU sebesar Rp.932 Miliar adalah tidak benar.
Selama ini pembuktian terbalik banyak dihindari oleh para penegak hukum dengan berbagai alasan. Padahal ia yakin, hal tersebut sangat bisa dilakukan. Untuk itu, dengan bekal pengetahuan dan keahliannya dalam PU, ia pun berhadapan dan berusaha meyakinkan dewan majelis hakim, jaksa, dan 7 anggota tim dari OC Kaligis- yang kebetulan semua berjenis kelamin pria. “Yang penting bagi saya adalah bisa mewakili keadilan masyarakat. Kegalauan masyarakat. Ketika dakwaan tidak bisa meyakinkan hakim, sementara dengan kasat mata masyarakat tahu,”ucapnya. Ia prihatin dengan pandangan internasional tentang praktek sistem peradilan di Indonesia, yang bahkan pernah terburuk nomor 2 di dunia.
Ia ditemui di sela kesibukan mengajar di Universitas Trisakti Jakarta. Sembari menyantap sarapan pagi, ia berkisah pentingnya penerapan pasal PU di Indonesia. Siang itu, ia harus segera pergi ke Badan Narkotika Nasional. “Saya memaparkan keterkaitan narkotika dan PU di depan para penyidik, PPATK,IT, dan pihak perbankan. Minggu depan, gantian ke pihak Kejaksaan Agung,”ucapnya sambil menyebutkan aktivitas terakhirnya sebagai koordinator praktisi Hukum di Universitas Trisakti, Wakil Ketua Pusat Studi Hukum Pidana, dan Ketua Asosiasi dan Masyarakat Hukum Pidana DKI Dan Banten. Ia juga menjadi tenaga ahli di berbagai pembuatan UU, diantaranya PU, tindak pidana korupsi, KDRT, human trafficking, pornografi, intelejen, sampah, hingga perampasan aset.
Aktivis hukum dan penasehat ahli Indonesia Police Watch (IPW), Johnson Panjaitan memuji berbagai langkah yang dilakukannya. Secara tegas dalam bidang akademik, Yentisudah meninggalkan menara gading – ia memilih untuk mengabdi pada masyarakat, tak sekedar berada di dunia akademisi, dan memberikan kemampuan pada saat negara dikepung oleh mafia penegak hukumnya sendiri. Pencucian uang yang diajukan untuk melawan korupsi ternyata tidak bisa dengan mudah dilakukan aparatnya sendiri. “Apa yang dilakukan bukan tanpa risiko, tapi dia tidak berhenti memperjuangkan. Ia orang yang sangat tegas, tajam, dan berani bertarung di lapangan,” Puji Johnson.
Ketika ditemui di kampus keesokan harinya, Yenti tengah membimbing mahasiswa pasca sarjana dari universitas lain yang mengambil tesis mengenai PU. Ia seperti tersenyum lega.Dunia yang digelutinya kini sudah mulai terang, dan kian benderang di tengah banyaknya kasus korupsi di Indonesia yang seolah tak terselesaikan. Dua belas tahun lalu, ketika ia mengambil pendidikan doktoral, bidang ini tak dilirik. “Orang lebih senang membicarakan kasus korupsi atau antiteror,” katanya. Padahal waktu itu Indonesia termasuk dalam daftar hitam negara-negara yang tidak kooperatif dalam memberantas PU.
“Terus terang, saya tak pernah berpikir terjun ke dunia hukum seperti sekarang ini,” ungkapnya jujur. Ia membayangkan menjadi seorang seniman. Lingkungan masa kecil membentuknya demikian.Ia lahir di Sukabumi pada 11 JAnuari 1959, sulung dari 6 bersaudara. Ayahnya, Soepantho, seorang kolonel angkatan darat, sempat menjadi bupati Purworejo tahun 1975-1985, disiplin mendidik anak-anaknya. “Setiap triwulan, kami harus dapat rangking. Pesannya, sebagai anak bupati, kami sangat disorot, karena itu semua harus punya prestasi,” kata Yenti yang terlihat antusias ketika bercerita tentang masa kecilnya yang berpindah-pindah karena tugas ayahnya. Meski tegas, sang ayah memanjakan dan memperkenalkannya pada dunia seni: menari, menyanyi, dan modeling. Setiap ada tamu atau acara kabupaten, ia dan adik-adiknya harus menari di pendopo. Sang Ibu, Nany, awalnya adalah seorang guru, sebelum ayahnya diangkat bupati.
Karena seni lebih menarik perhatian, ia meneruskan pendidikan di jurusan Seni dan Sastra di IKIP Yogyakarta. Waktu itu, ia dikontrak sebagai model sebuah label batik terkenal. Tapi kuliahnya tak selesai karena ia keburu menikah dengan seorang perwira menengah senior, empat belas tahun lebih tua dari usianya. “Adik-adik suami sudah mengantri mau menikah. Saya rela menikah muda, tapi dengan perjanjian, kelak saya tetap meneruskan sekolah dan bekerja,” ucapnya tersenyum, enggan bercerita panjang. Kehidupan pernikahan dengan seorang prajurit tidak mudah, penuh peraturan, dan kadang membuatnya tertekan. “Saya selalu berusaha tersenyum. Kadang hidup memang seperti sandiwara,” kata Yenti.
Ia lantas bekerja apa saja sambil mengikuti tugas suami. Ia sempat bergabung di perkebunan milik ayahnya sebelum bekerja secara professional di sebuah yayasan pendidikan milik Kodam. Pada saat itulah hatinya terketuk melihat Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang dilewatinya setiap hari sebelum tiba di tempat kerja. “Saya berpikir, betapa nikmatnya kuliah dulu sebelum ke kantor,” ucapnya. Keinginan itu timbul karena pengalaman pribadinya. “Di lingkungan terdekat dan bahkan ayah pernah menjadi korban pemerasan,”lanjutnya, tanpa menambahkan lebih lanjut mengenai peristiwa masa lalu itu.
Di tengah tidak adanya dukungan ayah dan keluarga, ia terus melanjutkan kuliah. “Saya tahu, suami pasti orang yang sangat tertekan atas keputusan saya,” ibu dua anak ini menyebut nama suaminya, Brigjen TNI Bambang Prasetyo. Risikonya, ia harus sambil menggendong-gendong anak dan bahkan meyakinkan atasan suami bahwa ia tak akan melupakan kewajibannya sebagai istri prajurit – hingga akhirnya berhasil meraih gelar sarjana di Universitas Pakuan Bogor (transfer dari STHB) karena mengikuti dinas suami sebagai komandan Kodim. Sebagai istri perwira menengah, ia harus membagi waktu untuk aktif di Persatuan Istri Prajurit (persit). Ia lalu menjadi dosen Universitas Pakuan selama setahun, kemudian mengajar di Universitas Trisakti sejak tahun 1993, sambil bekerja sebagai asisten ahli di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), dan meneruskan pendidikan S2 dan S3 di Universitas Indonesia.
Mengenai PU, ia punya cerita menarik. “Ketika itu, saya masih junior, saya dikirim ke berbagai negara untuk seminar PU. Waktu itu kesannya PU adalah jurusan buangan,” tuturnya tertawa. Setiap kembali dari berbagai seminar bidang yang tak favorit itu, ia tak pernah ditanya – berbeda dengan bidang kejahatan antiteror dan korupsi. Saat itu ia hanya beranggapan bahwa tidak ada peristiwa yang sia-sia dalam kehidupan ini. Ia pun memelajari sendiri. Ketika mengajukan doktoralnya, ahli di bidang PU di Indonesia belum ada. Ia terbang ke Amerika untuk mengumpulkan berbagai jurnal mengenai PU.
“Saya yakin sekali dapat nilai cumlaude!,” ia bicara dengan penuh percaya diri, berkaca dari perjuangan yang sudah dilakukan selama ini. Tapi rupanya, keyakinan itu bukan kenyataan. Ia tidak mendapatkan nilai prestisius dalam dunia akademis itu, dan rupanya, peristiwa tersebut amat memukulnya. Dalam hati dan pikiran sedih -yang sensitif ketika itu – ia merasa sedang didzolimi oleh sebuah lembaga akademis. Setelah seminggu terpuruk patah hati, ia bangkit, seperti tertantang. “Baik. Kalau gagal memperoleh dari lembaga, saya harus mendapatkan nilai cumlaude dari masyarakat.” Dan itulah yang dilakukannya kemudian. “Trauma itu ternyata menjadi amunisi untuk melawan mafia hukum di Indonesia. Dia semakin jujur dan berani, itu menjadi modal yang sangat baik,” Johnson yang juga sahabat Yenti menanggapi.
Ketegasan itu dituangkan dalam berbagai tulisan mengenai hukum yang dikirim ke berbagai media masa lokal dan internasional. Ia yang pertama kali mewacanakan Soeharto sudah bisa menjadi tersangka segera setelah mantan presiden Indonesia itu turun (dalam kolomnya di beberapa surat kabar nasional), begitu pula saat timbul kasus Indorayon, ia mampu bersikap kritis.“Saya dikenal bukan karena instan,” kata Yenti yang kini memperjuangkan pasal perampasan aset- sebagai tindak lanjut dalam pasal PU. Di ruang sidang, ia amat perkasa. Ketika seorang pengacara perkara PU menolak kehadirannya karena dianggap tidak dikenal, ia (yang juga menyelesaikan pendidikan pengacara) menantang dewan hakim,”Jangan sampai ada kebodohan yang mengalahkan satu kebenaran.”
Lalu tiba-tiba ia tersenyum sendiri. “Dulu saya ingin seperti professor-profesor saya di sekolah. Mereka terkenal, bicara di televisi, dan orang-orang mengikuti apa yang dikatakannya,” ia tertawa. “Saya ingin terkenal, lucu ya, tapi alasan itulah yang membuat saya bekerja keras untuk mencapainya. Kata-kata ayah, kekayaan atau ketenaran itu harus kamu dapat dari prestasi,” Yenty, seperti menemukan dirinya sendiri. Kebahagiaan semakin terbaca di wajahnya. “Ayah saya akhirnya bangga. Di lingkungan suami, saya diminta untuk bicara di depan perwira pejabat di lingkungan Kodam Udayana tentang Timor Timur dari sudut pandang saya.” Berbagai persoalan yang membelit dirinya perlahan sirna.
“Saya ingin orang tahu saya adalah perpustakaan untuk membantu penegakan hukum, membantu masyarakat,” ujarnya tegas, dengan mata berbinar-binar. Namun tiba-tiba ia menunduk, teringat akan berbagai persoalan yang menimpa negara. “Belakangan ini saya semakin risau melihat perkembangan penegakan hukum pidana yang semakin terpuruk. Para penegak hukum terkesan tak berdaya menghadapi berbagai modus kejahatan ekonomi, profesionalitas dan integritas mereka mengundang tanya mengapa sulit menangkap kasus terkait Gayus, travelers check, Century, dll, yang sebenarnya amat mudah apabila menggunakan PU. Sementara mengungkap terorisme yang jauh lebih sulit malah sukses,” ia mencurahkan perasaannya. Ini artinya perjuangannya harus terus dilanjutkan.
“Saya jadi teringat lukisan terbaru yang saya buat. Rasanya saya kok seperti mercusuar. Ketika berjuang, saya benar-benar sendirian,”ia berujar, nadanya kian pelan. Diam. Menunduk. Lalu menghela nafasnya panjang-panjang. Mungkin memang jalan hidupnya harus tetap menjadi mercusuar, yang selalu mengingatkan, meski ia hanya berdiri sendirian. (Rustika Herlambang)
Stylist: Zia Baagil Foto: Randy Pradana Rias: Yachiko Busana: Deden Siswanto. Lokasi: Universitas Trisakti
DIADILI TANPA BARANG BUKTI
Diadili Tanpa Barang Bukti
DIVONIS 10 TAHUN
EDIH MENCARI KEADILAN
Edih Kusnadi,warga serpong Tangerang yang dituduh menjadi bandar narkoba,disiksa polisi,dipaksa mengaku lalu dijebloskan kepenjara.
Semua itu dilakukan penegak hukum tanpa ada barang bukti dari tersangka Edih. Sialnya lagi fakta-fakta hukum yang diajukan Edih tak digubris dan hakim memberinya vonis 10 tahun penjara. Memang lebih ringan dari tuntutan jaksa yang 13 tahun,tapi Edih tetap tidak terima karena merasa tidak bersalah. Dia mengajukan banding namun dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi DKI mengajukan kasasi namun ditolak, Ia mendekam di Rutan Cipinang. Ditemui di Rutan Edih yang sangat menderita itu menyampaikan kronologi kasusnya. Dia menganggap kasusnya itu direkayasa oleh polisi “SAYA MOHON BANTUAN AHLI-AHLI HUKUM UNTUK MEMBANTU MEMBONGKAR REKAYASA KASUS INI” katanya. Sedihmya lagi, dan Edih tidak habis pikir mengapa hakim menjatuhkan vonis 10 tahun atas keterangan satu orang saksi. Padahal dia dituduh mau terima narkoba,ditangkap tanpa barang bukti. Saksi tersebut adalah iswadi yang ditangkap tangan membawa narkoba.
Kasus ini bermula ketika Edih ditangkap di jalan Gajah Mada jakarta pusat,pada 14 mei 2011 “saya dituduh mau terima narkoba dari iswadi,tapi saya ketemu iswadi dipolda. Tidak ada barang bukti narkoba disaya maupun dikendaraan saya tetapi dibawa kepolda” kata Edih.
Sebelumnya polisi sudah menangkap dua orang Iswadi Chandra alias kiting dan Kurniawan alias buluk. Ditemukan barang bukti sabu 54 gram yang sudah dicampur tawas, dia mendapatkannya dari pulo gadung. Saya hanya mengenal Iswadi dan tidak kenal dengan Kurniawan katanya. Edih menduga dia ditangkap lantaran dijebak oleh Iswadi. Saat polisi menangkap Iswadi dan Kurniawan kebetulan Edih menghubungi Iswadi,tapi tidak diangkat beberapa jam kemudian bari Iswadi yang menghubungi saya terus untuk ketemu,karena mau kekota saya janjian saja ketemu sekalian untuk membicarakan pekerjaan asuransi. Saya bekerja diperusahaan asuransi, ujar dia.
“pada saat setelah penangkapan,sebelum dites urine, saya dikasih makan dan minum kopi 2 kali bersama kurniawan. Hasilnya positif tapi samar samar. Saya menduga itu direkayasa polisi memasukan amphetamine kedalam minuman saya. mereka kesal karena dinilai saya tidak kooferatif. Kata Edih.
Edih mengatakan ia mempunyai hasil rontgen dan surat dokter dari poliklinik Bhayangkara yang menyatakan bahwa lengannya patah.
Seluruh isi vonis hakim pengadilan Negeri Jakarta Timur itu dianggapnya tak masuk akal. AMAR PUTUSAN “MENYATAKAN TERDAKWA EDIH SECARA SAH DAN MEYAKINKAN BERSALAH TANPA HAK ATAU MELAWAN HUKUM MENERIMA NARKOTIKA SEBANYAK LEBIH DARI 5 GRAM MELALUI PEMUFAKATAN JAHAT” Ini aneh sekali, saya menyentuh barang itu saja tidak,apalagi menerimanya. Barang bukti dari saya sebuah ponsel, tidak ada sms atau pembicaraan tentang narkoba didalamnya. Ini sungguh tidak adil, kata Edih.
Sementara dalam pertimbangannya majelis menyatakan: MENIMBANG BAHWA WALAUPUN PADA SAAT TERDAKWA DITANGKAP,TERDAKWA BELUM MENERIMA SABU YANG DIPESANNYA TERSEBUT, MENURUT HEMAT MAJELIS HAL ITU DIKARENAKAN TERDAKWA KEBURU DITANGKAP OLEH PETUGAS. DAN WALAUPUN TERDAKWA MEMBANTAH BAHWA DIRINYA TIDAK PERNAH MEMESAN SABU PADA ISWADI MAUPUN RIKI,NAMUN BERDASARKAN BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN URINE NO B/131/V/2011/DOKPOL YANG DIBUAT DAN DITANDATANGANI OLEH dr. BAYU DWI SISWANTO TERNYATA URINE TERDAKWA POSITIF MENGANDUNG AMPHETAMINE”. Sedangkan terdakwa tidak pernah mengajukan dari pihak yang berkompeten.
Saya dites urine 22 jam setelah ditangkap, sempat dikasih makan dan minum kopi 2 kali, saya menduga mereka mencampurkan amphetamine kedalam kopi saya. Bagi saya tidak masuk akal ada benda itu dalam urine saya karena saya tidak menkomsumsi narkoba. Kata Edih lagi. Dia cuma berharap para hakim bertindak adil dan mendengarkan keluhannya dan membebaskannya.