Suara Lain
Kekuatan dalam menghadapi kehidupan dibangkitkan dari semangat yang terus membara dalam dirinya
Pertemuan ini terjadi pada situasi ketika jutaan mata menatap pada perkembangan kasus dugaan korupsi yang menimpa salah satu hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Risikonya mudah ditebak. Birokrasi menjadi lebih berbelit sehingga memerlukan ekstra waktu dan kesabaran, untuk bisa bertemu salah satu hakim agung, satu-satunya perempuan, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S.H, M. H. Namun untunglah, situasi ini berubah seratus persen ketika bertemu Maria di ruang kantornya yang dingin dan sunyi di lantai 13 gedung MK Jumat siang itu. Ia menyapa hangat dan bersahaja. Busana biru tua dengan perhiasan mutiara.
“Saya baik-baik saja di sini, meski banyak sorotan ditujukan pada tempat saya bekerja,” ujarnya membuka pembicaraan. Nada suaranya menenangkan. Meski kemudian muncul pengakuannya. “Memang ada perasaan limbung pada hari-hari pertama, aduh saya mau kerja apa, karena semua ribut, ada Tim Investigasi. Padahal kalau ketemu kami sering bercanda,” ungkap Maria yang baru dua tahun terakhir menjadi Hakim Konstitusi. Tapi sekarang, tuturnya, tiada lagi beban itu. “Biasa, masing-masing media punya versinya sendiri.”
Nama Maria, selain dikenal sebagai hakim konstitusi perempuan pertama di Indonesia, adalah sosok yang dikenal berani menyuarakan perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam pengujian materi Undang-Undang. Di antaranya UU Penodaan Agama, UU Pornografi, dan UU Pemilu dengan Putusan suara terbanyak. Di sini jelas, ia menyuarakan suara perempuan, kendati tak mengatakan pendapatnya didasari gender. Akhir November lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menganugerahkan penghargaan S.K. Trimurti Award 2010 untuknya. Dewan juri beranggapan bahwa Maria mengambil jalan yang bersih dan teguh dalam menegakkan hukum dengan integritas tinggi.
Jauh sebelum menduduki posisi sebagai Hakim Agung, ia adalah seorang dosen dan ahli perundang-undangan yang berdedikasi dan jujur. Tak jarang, ia terlibat dalam legislative drafting sebagai ahli. Integritas terhadap penegakan hukum tidak diragukan. Dengan latar belakang akademisi ia memahami bagaimana negara ini seharusnya berjalan. Seperti dikemukakan oleh Irianto Subijakto S.H. LLM, advokat, mantan direktur LBH Jakarta yang kini duduk di dewan pengawas Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, “Maria adalah orang yang tepat, di posisi tepat, dan waktu yang tepat.”
Atas segala keberhasilan, Maria sungguh bersyukur. Segala hal yang kini ada di depan mata dan dirasakannya benar-benar jauh dari apa yang pernah ia impikan. Sejak kecil, ia selalu saja dihantui perasaan bahwa orang-orang hanya akan memperhatikan penampilan, bukan kepiawaian. Itu sebabnya, ia tak pernah membayangkan langkahnya bakal sejauh ini. “Saya hanya ingin menjadi seorang guru piano saja,” ungkapnya, seolah meyakini bahwa dirinya tidak akan pernah akan hidup dalam gelimang sorot kamera seperti sekarang. “Saya benar-benar beruntung mendapat dukungan yang terus menerus dari orang-orang di dekat saya.”
Di Surakarta, 14 Juni 1949, Maria dilahirkan. Tubuhnya normal. Wajah indah dengan hidung mancung. Ayahnya guru SD yang juga wartawan kantor Berita Antara hingga akhir hayatnya. Ibunya, seorang ibu rumah tangga yang mencintainya, sulung dari delapan bersaudara. Sayang, kebahagiaan ini sempat terusik karena panas tinggi yang dialami saat usianya 3,5 tahun. Salah satu kakinya mengalami paralysis karena diduga mengidap virus polio.
Sang Ibu tak ingin ada hal yang tak menyenangkan pada gadis kecilnya. Maka dibawanyalah Maria ke berbagai dokter yang diharapkan memberi kesembuhan. Segala obat tradisional diminumnya. Setiap kali ke Jakarta, Maria dibawa ke Cikini, salah satu rumah sakit yang mempunyai fasilitas dalam penanganan polio. Lalu ketika RS DR Soeharso di Solo dibuka tahun 1951, ia menjadi pasien hari pertama. Segala hal dilakukan, hingga suatu kali, seorang dokter asal Jerman yang merawatnya, yaitu dr. Tills mengatakan pada ia dan ibunya, “Mungkin kakinya tak normal, tapi ia memiliki otak yang cemerlang.” Dan ia berusaha memercayai kata-kata dokter itu.
Awalnya tak pernah ada masalah pada dirinya yang dibesarkan dalam keluarga penuh kasih sayang. Ia bersekolah di sekolah putri Santa Maria, diantar oleh sang ibu yang selalu menemaninya. Ketika duduk di kelas dua SD, ia mulai berangkat sekolah sendirian dengan berjalan kaki. Saat itulah ia terkejut mendapati lingkungan yang tak selalu bersahabat dengan kondisi tubuhnya. Perasaannya mulai bergejolak ketika banyak anak yang menirukan cara berjalannya. Sangat menyakitkan! “Sejak itulah saya merasa bahwa orang hanya melihat dari sisi fisiknya saja,” ia mengisahkan asal perasaan inferiornya. “Saya selalu terpikir, apakah kelak saya akan bisa jadi orang..”
Ia mengakui, sepanjang perjalanan hidup, ia dibayangi wajah-wajah yang seolah mengejek kekurangannya. Namun kata-kata dokter Jerman itu juga memberinya ketenangan dan membangun kepercayaan pada dirinya. Dan ia merasa diuntungkan memiliki guru-guru (suster-suster) di sekolah yang amat menyayangi. “Di lingkungan terdekat, semua orang bisa menerima saya. Sejak kelas dua SD saya ikut aktif ikut koor di gereja,” ia memberikan senyuman. Waktu luang yang lain ia gunakan untuk memelajari piano. Musik seperti sebuah teman yang paling akrab untuk mengeluarkan segala kesah yang ada. Itu sebabnya, ia sudah mempersiapkan pendidikannya di akademi musik di Yogyakarta.
“Sebenarnya masuk hukum memang karena keterpaksaan,” ujarnya terus terang. Keinginan untuk menjadi guru piano jauh lebih menguasai. Namun, ia berpikir panjang. Masukan ayahnya agar ia mengambil pendidikan hukum cukup masuk akal. Orang Indonesia belum mengenal musik, ia belum bisa hidup dengan musik pada akhir tahun 1960-an. Meski di sisi lain, ia masih juga gamang dengan penampilannya. “Rasanya masuk hukum, menjadi hakim, tak mungkin…” Tapi sang ayah terus mendesaknya untuk tetap sekolah. “Bapak mengatakan, warisan yang saya berikan dan bisa untuk menjaga kamu, adalah pendidikan. Harta, dapat hilang dalam sekejap.”
Alasan itulah yang membuatnya terus bertahan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Ia sendiri tak pernah yakin bisa kuliah di kampus yang dalam pikirannya penuh dengan demonstrasi mahasiswa di pertengahan tahun 1960-an itu. Dua tahun pertama, ia merasakan betapa kuliah hanya dijejali dengan menghafal pasal-pasal dalam hukum. “Saya serahkan sama Tuhan. Prinsip saya waktu itu adalah serviam (saya mau mengabdi), seperti moto SMA saya,” ia terdiam sejenak. Tahun ketiga, ia mulai menikmati dunia pendidikannya. Ketika lulus, ia menjadi mahasiswa teladan. “Saat itulah saya merasa Tuhan telah memberikan jalan di sini.”
Perjalanan dalam dunia hukum mengalir dengan cepat. Bahkan sebelum ia memikirkan ke mana ia akan melangkah, pada Tahun 1975 Prof. Mr. Prajudi Atmosudirdjo memintanya untuk menjadi asisten dosen Hukum Administrasi Negara di UI. Lagi-lagi, ia bertanya pada ayahnya. Jawab sang ayah,” kalau kamu bekerja di tempat lain, kamu tidak akan sekolah lagi karena kamu harus bekerja. Tapi kalau mengajar, kamu akan sekolah lagi“. Ia lantas memilih opsi kedua. Ia mengajar dan meneruskan pendidikan notariat, pasca sarjana hingga doctoral di UI, semua di bidang Hukum Kenegaraan. Sejak 1982 ia mulai mengajar Ilmu Perundang-undangan bersama Prof. Dr. A.Hamid S. Attamimi, SH, dan ia belajar Legal drafting di Belanda serta Legislative drafting di Boston University, Amerika Serikat. Ia menikah dengan seorang dosen bernama C. Soeprato Haes. Begitulah Maria, ia mencintai apa yang diberikan untuknya.
Di sela waktu mengajar, Maria menulis beberapa buku mengenai ilmu di bidang Perundang-undangan. Salah satunya, Ilmu Perundang-undangan, kini menjadi salah satu teks wajib di seluruh fakultas hukum di Indonesia. Tentang hal ini, ia mengingat jasa sang ayah. “Bapak berkata, ‘Kalau kamu ingin terkenal, kamu harus menulis’,” nasehat itu disertai sebundel catatan dari ayahnya mengenai tip membuat tulisan opini dan feature yang bagus – yang hingga kini masih disimpannya. Ayah, adalah panutan baginya. “Saya melihat Bapak saya. Waktu tidur saya masih mendengar mesin tiknya berbunyi hingga jauh malam. Ia seorang pekerja keras.”
Sikap dan nilai kejujuran itu mengalir padanya. Ketika duduk menjadi wali tingkat di FHUI ia selalu memasukkan nilai mahasiswa dengan menggunakan vulpen tinta agar tidak mudah dihapus. Ia juga menolak menerima apapun yang diberikan mahasiswanya – satu hal yang dulu sering dipertanyakan oleh ketiga anak kandungnya karena sang ibu tidak mau menerima kiriman dari mahasiswanya, sementara mereka mengirimkan jambu dari rumahnya untuk guru sekolahnya. “Di UI saya terkenal sebagai dosen yang dijuluki herder oleh mahasiswa saya kalau mengawas ujian. Ha ha ha.. karena saya tak suka orang berbuat curang,” ia tertawa, menandaskan bahkan hingga kinipun ia tak pernah berubah. “Saya selalu berpikir, kalau sekali saya melakukan kesalahan, kecurangan, saya pasti akan teringat terus seumur hidup.”
Kariernya terus berkembang. Tahun 2007, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum UI. Hingga pada akhirnya ia tiba di posisi puncak dalam bidang Hukum Konstitusi. “Saya diminta dan Presiden menganggap saya mampu duduk di sini meski melalui test,” ujarnya sembari menyebut nama antara lain, Prof. Dr. Satjipto Raharjo, Prof. Dr. Laica Maizuki, dan Prof. Franz Magnis Suseno yang menjadi pengujinya. “Bidang ini sesuai dengan pendidikan dan pengalaman yang saya geluti selama ini tapi dari sisi yang berbeda. Kalau dulu saya tahu betapa sulitnya membuat Undang-Undang, di sini saya tahu betapa tidak mudahnya untuk menguji Undang-Undang,” ucap Maria sembari berkisah sambil lalu bahwa ia melihat kwalitas perundang-undangan makin menurun setelah reformasi. Banyak hal yang seharusnya tak perlu diatur dengan Undang-Undang, melainkan cukup melalui Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.
Namun hal paling membahagiakan, ia bisa mengembangkan kemampuan. Ketika menjadi pengajar, ia hanya bisa berteori dan orang tak bisa menghakimi pendapat. Demikian pula di MK. Meski hakim berjumlah sembilan orang, bila tidak setuju, ia bisa melakukan dissenting opinion. “Jadi karakter kita masih ada. Tidak ada yang bisa menekan saya. Bahkan kalau saya punya atasan, saya tidak bisa mengatakan iya terus. Saya orang yang keras kepala dan termasuk keras dalam memegang prinsip. Kalau saya mengatakan ini salah, ya salah.” Hingga kini, Maria masih mengajar dua kali dalam seminggu, sebuah pekerjaan yang amat dicintainya karena selalu membuatnya “awet muda”. “Saya harus terus belajar, karena mahasiswa sekarang semakin kritis, informasi bisa didapatkan dari mana saja,” ujarnya.
Memang pada akhirnya bicara mengenai pengambilan Putusan di MK membuatnya selalu berpikir serius karena menyangkut nasib banyak orang. Pengalaman paling dilematis sering terjadi, sementara Putusan harus diselesaikan dalam waktu tertentu. “Kalau rasanya masih berat, saya memilih mengundurkan waktu agar pertimbangan hukumnya mantap,” tukasnya. Ia lantas mengisahkan ketika mengajukan dissenting opinion terhadap UU Penodaan Agama, sesudah pembacaan Putusan ia mendapat banyak buku dari dua belah pihak (yang pro dan kontra Putusan tersebut). “Saya baca semua buku dan bertanya, manakah yang benar, karena toh semua bersumber dari Al quran. Artinya terdapat pemahaman dan intepretasinya yang berbeda”.
Sejenak kemudian, Maria teringat akan peristiwa yang berkesan dalam dirinya. Cerita itu tentang percakapan anak-anaknya sejenak setelah ia dipilih sebagai Hakim MK. Anak keduanya, Albertus Jati Tyas Seto, mempertanyakan,” Mama kok mau jadi pejabat. Kata orang, pejabat itu banyak yang korup”. Pertanyaan itu lantas dijawab cepat oleh anak bungsunya, Nicolaus Aji Kusuma Rah Utama, “Biarin saja jadi pejabat, supaya bisa menunjukkan bahwa ada pejabat yang bersih juga.” Maria tersenyum. Percakapan itu kini menjadi pemicu semangat diri untuk terus menegakkan kejujuran dan kebenaran berdasar hati nurani di negeri ini. Sebuah semangat yang terasa menyejukkan seperti hujan di atas kemarau panjang. (Rustika Herlambang)
Busana: Oka diputra. Pengarah Gaya: Jo Elaine. Tata Rias: Ditto Purnomo Lokasi: gedung MK. Foto: Luki by Lukimages
Baca artikelmu jadi pingin nulis kolom lagi 🙂 … Tapi masih males kalau dikejar deadline lagi 😛 …