Bunker Kenyamanan
Memainkan emosi, memainkan imajinasi. Itulah hal yang selalu ingin ditaklukkannya
Sejurus mata memandang adalah hamparan hijau rumput dan pepohonan. Di sela-sela hehijau rumput ada batuan putih membentuk aksentuasi seperti salju meleleh pada awal musim semi. Angin sepoi semilir, menggesek dedaunan, memberi irama tersendiri di samping suara hewan pengerat yang sore itu sudah bekerja keras. Suasana sore kian sejuk, menghapus dua jam perjalanan penuh kemacetan hari Jumat dari Jakarta menuju studio TonTon, Gading Serpong, Tangerang. Segelas es teh dan roti isi daging di atas meja kayu panjang melengkapi pertemuan dengan Antony Liu, 43 tahun, arsitek yang namanya selalu menjadi langganan penghargaan desain arsitektur di Indonesia, IAI Award.
“Desain arsitektur tidak cukup hanya dilihat atau diceritakan. Tapi harus dialami,” Antony memberikan penjelasan mengapa wawancara harus dilangsungkan di studio dan rumah tinggalnya yang terletak hanya beberapa ratus meter. Dan apa yang dikatakannya benar. Segala hal yang tertulis atau tergambar dalam media-media yang pernah menuliskannya tidak bisa mewakili perasaan dan kenyataan saat memasuki studionya – seperti terlukis di atas-, maupun suasana rumah tinggalnya yang bernama Bea House yang mendapat pujian IAI Award 2009.
Pengalaman dalam ruang itulah yang menjadi fokus Antony dalam merancang. Atau setidaknya yang terasakan sepanjang pembicaraan.
“Waktu kecil, saya membayangkan punya rumah di gunung. Ada embun yang terasakan setiap pagi dan malam. Sejuk. Penuh hijau. Ada sungai yang mengalir. Dan hal itulah yang saya wujudkan dalam Bea House,” ia mengisahkan filosofi bangunan rumah tinggalnya kini. Bea House berasal dari kata Beautiful House, bagi Antony berarti rancangan Tuhan sangat indah dalam keluarganya, berdiri di atas lahan seluas 1500m2 dengan luas bangunan 425m2 di atas hamparan rumput hijau dan pepohonan. Suasana benar seperti di gunung. Ada bau gunung yang menguap dari embun yang dimunculkan dari celah-celah bebatuan sungai buatan yang mengalir air jernih membelah rumah. Angin terus semilir membunyikan Mongolian Wind Chime. Sejauh 40 meter memandang adalah hamparan rumput segar. “Saya memang suka menyepi,”ujarnya.
Keinginan ini tak berlebihan manakala mendengar kisahnya kemudian. “Waktu kecil, keluarga kami tinggal di rumah kecil, 6 x 15 meter, saling berdempetan. Seperti slumdog deh,” ia mengutarakan masa lalunya, sedikit melebihkan tentunya, di daerah Pasar Baru, Jakarta. Tak ada ruang gerak bermain bebas seperti lapangan, apalagi taman hijau. Setiap musim liburan tiba, sang ayah mengajaknya menuju villa kakeknya yang ada di Puncak. Udara masih bersih, murni. “Saat itu umur saya 9 tahun, saya bertekad, suatu saat nanti saya ingin punya rumah seperti di gunung,” katanya bercita-cita. (Kelak rumah itu terealisasi di usianya ke 41.)
Di keluarga itu, Antony adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya memiliki perusahaan biro reklame khususnya menangani poster-poster film bioskop di awal tahun 1970-an. Waktu kecil, ia sering diajak sang ayah ke studio di mana para seniman poster bekerja. Mungkin karena asyik, ia gemar berlama-lama di studio itu untuk mengamati para seniman melukis. Kadangkala, ia minta diajarkan teknik melukis. Itu sebabnya kemampuan menggambarnya terasah. “Waktu SD saya sering dimarahin guru karena saya dianggap digambarin,” ungkap Antony yang pernah menjuarai lomba gambar tingkat DKI Jakarta saat duduk di kelas 5 SD.
“Tiada lain cita-cita saya menjadi pelukis kala itu,” kenang Antony yang memiliki spesialiasi pada lukisan naturalis dan potret. Melihat kemampuannya yang mengagumkan pada usia yang relatif muda, seorang perempuan Perancis pernah mengajaknya untuk membuat galeri ketika ia masih duduk di bangku SMP! “Tapi saya tak berani,” katanya. Sejenak, ia masuk ke dalam ruang kantor dan membawa lukisan yang pernah dibuatnya waktu masih sekolah, yakni lukisan Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger. Lukisan itu terasa hidup, matanya mengintimidasi. “Ini bukan berkisah tentang hero. Tapi lebih ke tantangan untuk membuat tekstur kulit atau kerut di dahi. Waktu mengerjakan sangat asyik, ketika selesai bisa dinikmati.”
Sementara itu, perkenalannya pada dunia arsitektur terjadi tanpa sengaja dan ia langsung jatuh cinta. Ketika sedang berada di sebuah toko buku, matanya tertumbuk pada buku-buku mengenai arsitektur dan interior. Iseng, membuka-buka, dan mimpi masa kecilnya seperti hadir kembali. Saat itulah terjadi perubahan pikiran dari keinginan menjadi seniman menjadi seorang arsitek. Lulus SMA, hanya satu jurusan yang diambilnya: Arsitektur, Universitas Tarumanegara, Jakarta. Berbekal kemampuan menggambar dan sifat pekerja keras, sembari menyelesaikan kuliah ia bekerja paruh waktu di kantor konsultan. “Terus terang, saya mahasiswa yang paling jarang kuliah!”
Ia sempat bekerja di sebuah kantor konsultan selama empat tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk mendirikan Studio TonTon bersama Ferry Ridwan. Proyek pertamanya, The Bale Resort di Bali, yang awalnya sudah dirancang arsitek asing. Saat melihat lanskap di mana villa itu dibangun, lagi-lagi, hayalan bermunculan. “Saya langsung membayangkan punya rumah yang punya kolam renang privat, outdoor dan indoor shower, serta skylight,” dan itulah yang diwujudkan di kediamannya kini. Sementara itu, The Bale Resort mendapatkan penghargaan IAI Award 2002 dan terpilih dalam 80 Best New Hotel in The World 2003 versi Conde Nast Traveler.
Dan begitulah proyek demi proyek terus mengalir. Namun idealism ke-Antony-an itu tak boleh pergi dari dirinya. Seperti diungkapkan oleh Ferry Ridwan, “Dalam
soal kerjaan, dia tak mau yang standar. Harus mencari sesuatu yang baru. Karena itu, proyek lebih selektif dan harus di luar biasa.” Antony selalu menginginkan orisinalitas. Ia tak ingin membuat sebuah karya yang sudah dibuat oleh orang lain, apalagi memindahkan bangunan ke tempat lain. “Arsitek bukan tukang, tapi seperti koki. Saya terima dia mau nasi goreng. Tapi jangan kasih tahu saya berapa banyak cabe atau kecapnya. Biarkan nasi goreng ala saya.”
Setiap detail rancangannya selalu ada rahasia – mungkin karena kegemarannya berhayal – adalah keunikannya. Seperti ia membuat bentuk-bentuk seperti salju yang meleleh di atas tamannya yang hijau sebagai wujud kesegaran di musim semi. Rupanya di atas tanah berbatu putih itu terletak tanah yang tak subur sehingga ia harus menyiasatinya. Atau ruang pertemuan winter yang ia sengaja letakkan di sebuah gang sempit dan tiba-tiba di dalamnya terasa lega dan pemandangan putih seperti suasana musim dingin, dengan pendingin udara jauh lebih dingin dibanding ruang lain. Ada permainan di dalam sebuah bangunan utuh. Memainkan emosi. Memainkan imajinasi. “Ini kan seperti memecahkan tantangan.” Ia tertawa.
Dengan kepribadian yang selalu menginginkan sesuatu di luar standar, lantas seperti apakah perempuan yang mampu menaklukkan hatinya? Antony lantas tertawa. “Kali ini sulit menjawabnya. Harus terasa seperti arsitektur. Saya tak suka yang terlalu “manis”, buat saya cantik bukan yang terlalu banyak riasan. Natural saja,” ujarnya sembari menujuk Fonny Tanudjaja, ibu dari tiga anaknya.
Ketika bicara mengenai perkawinan, Antony mengungkapkan filosofi Conrad Wedding Chapel di Bali yang pernah dirancangnya bersama Andra Matin. “Kapel berbentuk segitiga adalah perwujudan hubungan alam, Tuhan, dan manusia. Satu sisi maskulin terasa berat dan masif, ditopang satu sisi sangat tipis.
Karakter lelaki sepertinya berat tapi sebenarnya dia rapuh, karena itu harus ditopang oleh perempuan,” jelasnya, lalu tersenyum, seperti bercerita tentang karakter dirinya. “Penopang saya harus bisa meredam emosi karena saya sangat spontan. Ide saya sangat banyak, dia harus bisa lebih rileks,” ucap Antony yang dikenal sebagai sosok family man oleh teman-temannya karena tak bisa jauh dari rumah dan keluarganya. “Ia tak bahagia kalau dapat tugas luar kota,” Ferry Ridwan menegaskan. Ketika ikut tur arsitektur di Jepang selama dua minggu, ia memutuskan pulang tiga hari sebelum waktunya.
Situasi ini terasakan ketika Antony tiba di rumahnya sore itu. Ketiga anak dan dua anjing yang lucu menyambut kedatangannya dengan riang. Kemesraan itu terasakan di sana. “Ia baik, benar-benar tipe yang takut akan Tuhan. Apa yang dibaca dalam alkitab kita berusaha terapkan dalam kehidupan walaupun tidak 100 persen karena kedagingan kita,”tambah Fonny. Antony tak suka keluyuran malam, meskipun beberapa proyeknya berada di wilayah dunia hiburan: X2, X Lounge, dan KTV. Hobinya nonton home theater bersama keluarganya. “Saya suka film-film yang lebih dialog, seperti Babel atau Eat, Pray, Love.”
Lalu ketika menuju ruang keluarga, Antony menunjukkan sebuah lukisan kontemporer yang baru saja dibuatnya. Lukisan itu bergambar naga berwarna biru muda berukuran 3 x 1 meter. “Saya surprise melihat lukisan Yoshitomo Nara di sebuah lelang, dijual seharga 5 milyar. Rasanya saya ingin segera pulang dan melukis,” katanya. Tantangan itulah yang lantas diwujudkannya dalam waktu dua bulan. Selama itu, ia benar-benar membenamkan dirinya pada lukisannya. “Bahkan makan pun disuapin!,” ia terbahak, membayangkan kebiasaan jelek yang selalu terjadi ketika pikirannya dipenuhi ide.
“Sebentar lagi, saya akan membuat rumah pohon untuk anak-anak di halaman samping. Bayangkan, ketika bangun tidur, Anda sudah berada di puncak pohon,” ia tertawa. Hidupnya dipenuhi dengan impian. Impian itu menjadi tantangan. Antony pasti dengan segera menaklukan. (Rustika Herlambang)
Pengarah Gaya: Avanti Anggia. Foto: Shanty Dewi. Lokasi:
Dear Mas Antony Liu,
May I have your contact number and office address?
Saya bekerja di Bakrieland dan diminta untuk search alamat and contact numbers mas Antony and mas Ferry untuk divisi Development kami.
Btw, background saya sendiri civil eng.
Trima kasih banyak bantuannya.
God bless you always.
Salam,
Troy (ms.)
your good
Boleh kah saya dapat alamat studio tonton? Tks
bisakah sy mendapatkan alamat dan no kantor pak antony liu. Tks