Mari Kuayun Tubuhmu dengan Sarungku
Dengarkan percakapan tubuh dengan sarung dalam pameran Teguh Ostenrik kali ini
Sosok-sosok tubuh dari besi bekas berjajar sepanjang ruang di Jakarta Art Distrik, Grand Indonesia, awal November lalu. Mereka seolah menggeliat, bergerak, acap terasa pasrah, namun dalam gestur amat indah bak menari dengan kain sarung yang tak hendak melepaskan dari dari tubuh yang diikuti. Pemandangan ini masih dikuatkan oleh sosok yang tertoreh di atas kanvas, menyatakan hal serupa. Suasana sedikit mengintimidasi di sini, di pameran tunggal Teguh Ostenrik berjudul Sarong, Identity?, dikuratori oleh Jean Couteau, yang diselenggarakan oleh Semarang Gallery.
“Belajarlah dari puisi,” ucap Teguh Ostenrik menanggapi kuratorial yang menyatakan bahwa berbagai karya tersebut bercerita mengenai metafor pemberontakan yang dilakukannya. Seperti terlihat nyata, sosok-sosok yang dibangkitkan Teguh terasa berada dalam situasi dialog dengan sarung-sarungnya dalam media tiga dimensi dari bahan besi bekas maupun di atas kanvas.
Memang dalam dialog lebih terasakan kehangatan pelukan kain sarung seolah enggan untuk dilepaskan dibanding pemberontakan itu sendiri. Seperti berada dalam posisi dilematis dialogis. Di tengah pertentangan, Teguh, menjelaskan,”Pemberontakan tidak harus dengan kekerasan. Sebaliknya, kita bisa lakukan dalam ronta ataupun rintihan. Marilah masuk dalam area yang lebih sublim.” Lulusan sekolah seni di Jerman itu rupanya lebih memilih memberontak dalam diam. Seperti halnya karya ini dipersembahkan: orang-orang yang terbungkam.
Inspirasi sarung itu tiba ketika ia pergi ke Birma. Semua orang mengenakan kain sarung. Dari tukang becak sampai menteri, dari polisi sampai imigrasi. Suasana itu lantas menyergapnya. “Seksi sekali,” ia berujar sembari mengingat betapa sarung dalam kesehariannya, lingkungan sosialnya, adalah bagian yang menjadi simbol sosial. “Sarung merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang di Asia Tenggara, yang sadar kepada cuaca dan lingkungan tropis. Ventilasi silangnya bisa mengantisipasi kelembaban udara di daerah tropis.”
Namun sesungguhnya di balik soal teknis, sarung punya sisi sosial sebagai alat pemberontakan masa kolonial. Sarung masuk bersamaan dengan masuknya ajaran islam di Indonesia dibawa dari Yaman. Meski di banyak negara Arab, sarung tidak memiliki kedudukan yang tinggi sebagaimana di Asia, kecuali sebagai penutup tubuh yang nyaman karena bentuknya. Sementara di Indonesia, sarung selain sebagai pakaian formal – seperti yang ada dalam pakaian adat Nusantara – juga dipakai dalam keseharian.
Sejarah pernah mencatat, seorang ulama NU, Abdul Wahab pernah menolak menggunakan celana panjang ketika diundang ke istana oleh Presiden Soekarno. Waktu itu ia beranggapan bahwa celana panjang merupakan bagian dari kolonialisme – dan ia mengganti dengan sarung (meski sebenarnya sarung pun hasil dari pengaruh budaya lain, bukan?). Dari pengalaman ini, kita bisa melihat bagaimana sarung menjadi simbol pembebasan tubuh yang radikal di masa itu.
Namun anehnya, atau uniknya?, dalam dunia yang semakin global, sarung sebagai identitas dan symbol kebebasan itu justru semakin membelenggu pemakainya. “Sarung” diartikan dengan begitu sempit. Khususnya dalam kebebasan beragama di Indonesia belakangan ini. Tentu Teguh tidak apolitis dalam menggarap karya-karyanya, seperti juga ketika ia menyampaikan pendapatnya melalui pameran sebelumnya yang bertajuk De-Facement beberapa waktu lalu.
Dalam karya ini, apa yang dilakukan Teguh adalah semacam respon terhadap kondisi religiusitas di Indonesia. Sarung – menjadi semacam symbol religiusitas yang sempit – menjadi amat membelenggu ketika Indonesia harus berdiri berjajar dengan bangsa-bangsa lain. Dulu sarung begitu multifungsi, kini identitasnya terbelenggu. Sebuah ironi yang harus disikapi.
Apapun yang didapatkan dari pertemuan antara sisi sosial dengan karya yang dibentuk oleh Teguh kali ini adalah sebuah pertanyaan, di mana Andalah yang berhak mengintepretasikannya. Secara bebas. Secara luas! (Rustika Herlambang)
terimakasih