Menjemput Impian
Ia mengolah buncah keinginan dan harapan yang terpendam dalam kesabaran
Suara jengkerik dan hewan pengerat menjadi orkestrasi malam di “ruang kerja” Atilah Soeryadjaya. Sebuah meja kayu panjang ditutup dengan kain batik motif lama ditemani vas berisi bunga sedap malam yang wanginya terus menguar sepanjang percakapan. Sejurus pandang menatap lepas ke taman tempat pohon-pohon tinggi berdekatan kolam renang. Aroma rumput basah sesekali terbawa desir angin bersamaan dengan gemericik air kolam. Suasana terasa hening, khusuk, dan meditatif. “Di sinilah, saya mencipta Matah Ati,” ia membuka pembicaraan. Matanya berbinar. Ada kebahagiaan, ada kebanggaan.
Di atas meja terletak bermacam media yang memberitakan kesuksesan pergelaran perdana Matah Ati pada Pesta Raya Malay, Festival of Art, di Theater Hall, Esplanade, Singapura, Oktober lalu. Dalam pertunjukan keliling dunia tersebut, Atilah bertindak sebagai konseptor, penulis naskah, penata kostum, sutradara, sekaligus produsernya. Banyak pengamat seni lokal dan asing memberikan apresiasi positif terhadap garapan Atilah yang dianggap memberikan angin segar dalam seni pertunjukan Indonesia. Ia mementaskan Langendriyan, yakni perpaduan seni drama dan tarian khas Kraton Mangkunegaran, Solo. Sebentar lagi, Matah Ati akan segera pentas di Kuala Lumpur, Hongkong, Beijing, dan beberapa Negara Eropa di sepanjang tahun 2011. “Yang terpenting, kesuksesan ini terjadi berkat energi seluruh tim yang menyatu dan inilah hasil karya kita bersama,” ia menegaskan.
Meski sesungguhnya, kegemilangan dicapai dengan perjuangan panjang. Terutama bagi Atilah yang selalu mengaku sebagai “pemula” dan “pecinta seni”. Tidak mudah mewujudkan gagasan besarnya yang tiba-tiba meledak tak bisa dihentikan. Itu sebabnya, dalam perjalanan mencapai Matah Ati, ia gagal menyampaikan keinginannya kepada beberapa profesional yang sempat ia ajak kerjasama. Dan apabila pada akhirnya ia terlalu banyak mengambil porsi dalam pertunjukan, hal itu disebabkan oleh perasaan, “Akhirnya saya merasa, hanya saya yang tahu apa yang saya inginkan.”
Kendala itu bisa dipahami. Selama ini ia selalu menyembunyikan diri, kemampuan, dan seluruh pengalaman hidupnya. Wajar apabila orang melihat sebelah mata dan mempertanyakan dirinya yang nihil track record dalam dunia tari dan pertunjukan. Sebagian mengenalnya sebagai istri dari salah satu taipan terkaya Indonesia, Edward Soeryadjaja. Tapi apakah keberhasilan Matah Ati hanya karena sebuah keberuntungan?
Jauh dari seluruh hiruk pikuk itu. Marilah kita menempatkan ia kembali pada porosnya. Atilah adalah cucu Mangkunegoro VII, raja di Kraton Mangkunegaran, Solo. Ayahnya seorang pangeran. Ia lahir di Solo, 28 April 1961, dengan nama Bandara Raden Ayu Atilah Rapatriati (yang artinya prajurit yang bersinar). Sang ibu adalah adik kandung Dullah, pelukis istana di masa pemerintahan Soekarno. Karena tak ingin anaknya tinggal di dalam tembok kraton seperti galibnya seluruh anak cucu raja, sang Ibu mengajaknya tinggal di kediaman Dullah di Istana Negara, Jakarta. Ia bersekolah di kompleks istana. Teman mainnya Guruh Soekarnoputra. Saat ini ia sudah aktif kursus model, vokal, dan tari.
Namun sayang, kehidupan di istana tidak berlangsung selamanya. Ketika pasukan Cakrabirawa memasuki istana, Atilah kecil diungsikan ke Solo. Ia masuk ke kraton dan tinggal bersama keluarga besar trah Mangkunegoro. Dan di sinilah ia mulai merasakan kehidupan yang di mata Atilah kecil menjadi nestapa. Sebagai orang bebas dengan kehidupan menyenangkan, tiba-tiba harus pindah ke lingkungan aristokrasi dengan aturan-aturannya yang kadang sulit dipahami pikiran anak-anaknya. Ia harus belajar menjadi putri Kraton: etika, budaya, dan harus belajar tarian Mangkunegaran yang kala itu tak sesuai kesukaannya. Ia tak bebas. Untuk mengintip apa yang ada di luar tembok kraton saja ia harus memanjat pohon. Karena segala sesuatunya disediakan, ia hanya bisa menelan ludah ketika melihat penjual es. Tapi suatu hari, ia tak tahan. Pada penjual es ia berkata melalui kisi-kisi pagar, “Pak saya ingin es, tapi nggak punya uang..”
Meski demikian, keadaan tersebut tidak pernah membuatnya depresi. Ia tetap saja riang dan suka bergaya. Karena melihat bakat menjadi model sangat besar, kakak sepupunya, BRA Satoeti Yamin – istri dari perancang mode dan peragawan Rahadian Yamin – mengajaknya ke Jakarta pada tahun 1976. Sembari meneruskan pendidikan SMA-nya, Atilah dibimbing menjadi seorang model oleh Rahadian Yamin, dan bergabung di agensi model IMA (International Modelling Agency). Kali ini ia mengambil les tari Bali.
Dari Jakarta, ia melanglang ke Jerman agar tidak dijodohkan. Tujuan awalnya untuk sekolah bahasa dan mendalami sekolah seni kontemporer. Namun pergerakan nasib tetaplah sebuah misteri. Siapa sangka, ketika sedang menyanyi di sebuah kafe bersama teman-temannya, seorang produser musik tertarik pada suara, terlebih pada wajah eksotiknya? Itulah jalan pembuka kariernya sebagai penyanyi dan penari melalui managemen Hermes Music Company yang membawanya lebih dari 700 pementasan sepanjang tahun 1980-1987 di berbagai kota di Eropa. Sebanyak lima album Latin Carribian diwujudkan, di antaranya mendapat Golden Records dari Ariola Records di Jerman, Austria, dan Luxemburg. Ia juga menjalani karier sebagai model, selain mengambil pendidikan musik dan tari kontemporer di Dortmund, Jerman (1980-1985).
“Saya memang tak bisa berhenti belajar,” ungkap Atilah yang malam itu memperlihatkan video youtube ketika dirinya sedang menyanyi dan menari. Wajahnya eksotis dengan rambut panjang lurus hingga melebihi pinggang yang dihias dengan bunga kamboja. Pernah suatu saat ia pentas di Jakarta, pelukis Basuki Abdullah mengabadikannya. Lukisan itu kini tergantung di dekat pintu pengalaman hidupnya. Ia sempat menikah dengan produser besar yang menemukannya tersebut dan diberkati dengan dua anak. Setelah sebelas tahun, mereka berpisah. Ketika berkisah tentang masa lalunya, Atilah tampak sangat hati-hati.
“Setiap kali keliling ke berbagai kota, saya selalu menyempatkan diri untuk melihat pertunjukan seni,” katanya. Sepulang dari Jerman, Atilah menuju Amerika. Kali ini ia mengambil diploma desain interior di Delta College, New Orleans, Lousiana, Amerika Serikat, tahun 1992. Setahun sebelumnya, ia belajar di bidang yang sama di Interior Design London School, London. “Saya memang paling suka ikut workshop pendek. Dengan demikian, saya bisa belajar banyak hal dalam waktu bersamaan,” ucap Atilah yang sejak tahun 1980 juga belajar seni beladiri Tibetan Martial Art di Nepal. Maka bisa dibayangkan betapa beragamnya pengalaman dan pendidikan yang pernah ditempuh.
Ketika baru saja kembali ke Indonesia, ia bertemu dengan Edward Suryadjaya. “Waktu kecil, saya pernah bermimpi bertemu pangeran. Dan benar, saya bertemu pangeran Soeryadjaya,” Atilah tertawa. Keduanya sama-sama sendiri ketika memutuskan menikah di tahun 1998. Atilah kini menjadi ibu enam anak, nenek dua cucu, sementara putri bungsunya masih berusia 6 tahun, Latisha Soeryadjaya. “Melahirkan kembali membuat saya jadi muda,” ungkapnya. Dan memang sejak saat itu kehidupan Atilah berubah. Ia menjadi ibu rumah tangga yang membantu penuh usaha suaminya. Segala kegiatan berkesenian hampir berhenti total. Tapi bersama Edward, ia berkeliling ke berbagai negara untuk melihat pertunjukan seni kelas dunia. Edward pula yang mendorong Atilah mencintai budayanya sendiri.
Sesekali, ia menjadi rindu pada dunia panggung dan terutama hasrat untuk mengembangkan kesenian tradisional Indonesia yang kian terpinggirkan. Alasan itulah yang membuatnya sibuk sebagai ketua Mitra Wayang Barata beberapa waktu lalu dengan mengajak teman-teman sosialitanya. Namun ketika wayang sudah berjalan lancar, ia seperti kembali mencari tantangan. Awalnya memang gara-gara dirisaukan oleh sebuah pemberitaan mengenai kota lahirnya yang dianggap sebagai surga kaum teroris. “Saya ingin memperkenalkan Solo dalam arti sebenarnya melalui budaya,”katanya. Klise memang, tapi hal itu benar-benar dibuktikannya. Ia menuju Solo mengadakan audisi penari, mengundang para koreografer profesional, penata musik, serta sutradara.
Seperti disebut di awal, perjuangannya berat. Mungkin karena tak punya pengalaman, ia tak mudah mengungkapkan apa yang diinginkannya dengan bahasa yang dikuasai awam. “Setelah ratusan kali saya pentas, baru sekali ini rasanya sisi kepenarian saya dibongkar,” Fajar Satriadi – penari utama Matah Ati – juga penari utama Sardono W Kusumo yang mengalami berbagai workshop kepenarian di berbagai penjuru dunia – membagi pengalaman. Awalnya, kaget. “Namun saat melihatnya memeragakan gerak tarian, ada greget yang diperlihatkannya. Tak semua penari memilikinya,” tambah Fajar yang percaya bahwa puncak pencapaian tertinggi dalam dunia tari adalah sebuah gerakan tanpa bentuk. Dan hal itulah yang dilihat dari diri Atilah. “Ia sangat baik, dan sangat perhatian. Tapi ketika latihan, ia bisa segalak seribu singa, karena ingin menjadikan yang terbaik.”
Mendengar komentar itu, Atilah tertawa. Ia memang ingin membuat gerakan-gerakan baru yang lebih bisa dinikmati oleh anak-anak muda sebagai tunas penerus tradisi budaya. “Banyak yang bertanya, aliran tarian yang saya bawakan. Saya tak tahu. Tapi bagi saya, ini aliran nyata, naif, yang mana saya tidak berpikir panjang. Bahkan daun yang bergoyangpun sudah menjadi sebuah bentuk koreografi,” katanya jujur. Dalam pembentukan kreasi, ia memadukan antara teknik tari, keindahan, serta spiritualitas. Banyak hal tercipta justru oleh hal-hal yang di luar kuasanya. Inspirasi blocking, kostum, dan gerak, misalnya, datang dari bentuk makam tokoh utama atau bahkan pergerakan daun ketika tertiup angin.
Edward, yang sepanjang wawancara namanya selalu disebut-sebut, ikut angkat bicara, “Saya akhirnya mendukung dia, meski pada awalnya was-was, dan rasanya tak berujung.” Atilah memiliki bakat – Edward menyebutnya sebagai hoki – dalam menangani sesuatu seperti yang pernah dilakukan sebelumnya. Pengalaman itu adalah kolaborasi pengembangan tradisi batik bersama Guruh Soekarnoputra pada tahun 1998. “Saya percaya, ia memiliki selera yang baik dan juga naluri bisnis,” ucap Edward yang banyak memberi masukan, saran, dan dukungan finansial. Dan keberhasilan ini menjadi catatan penting untuk Atilah. Katanya, “Saya ingin tegaskan dan sekaligus mengajak para pengusaha bahwa investasi dalam dunia seni bila digarap dengan baik pasti akan mendapat keuntungan.”
Tahun depan, Atilah akan menuju New York. Ia mendapat beasiswa mengenai penyutradaraan. Di samping itu, ia juga berniat untuk memelajari lighting di Las Vegas. Kini, dua naskah pementasan besar sudah selesai dikerjakannya, siap memberi gebrakan. “Rasanya seperti menjemput mimpi. Dulu waktu kecil saya pernah bercita-cita membuat pementasan besar di Monas,” Atilah tersenyum malu-malu. Gelang-gelang ular antik yang menghiasi tangannya berbunyi gemerincing seiring Atilah memeragakan angan-angannya.
Kemampuannya memang tidak instan. Pengalaman hidup menyatakan demikian. Bila dalam waktu sepuluh tahun terakhir berdiam, sebenarnya ia sedang “meditasi” untuk menemukan bentuk yang sempurna. Pendekar itu sudah turun dari gunung – istilah yang digunakan Fajar Satriadi – rasanya tak berlebihan. “Saya benar-benar ingin berkontribusi untuk negeri ini melalui kekaryaan,” katanya tegas. Tandas. Suaranya menggema di malam itu, diseling suara jengkerik, dan harum aroma bunga sedap malam. (Rustika Herlambang)
Lokasi: Kediaman Atilah. Make up artist: Michelle Gani. Stylist: Dany David. Fotografer: Denny Herliyanso
Great article and informative. Very proud of you to bring our cultural heritage in world stage. I would like to invite you as speaker for art & cultural history students and arrange Matah Ati to be performed in a unique place in Indonesia. Thank you
Sekadar bertanya: benarkah mangkunegaran itu keraton? ataukah sesungguhnya kadipaten? benarkah yang menjadi pemimpin di sana raja? ataukah sesungguhnya adipati? (sejarah perjanjian kalicacing, salatiga 1757). terimakasih……
very smart and lucky she is.
boleh nanya mas?? dimana ya alamat kediaman atilah??
dulu kalo gak salah di menteng persisnya sebelum rumah dubes philipina ..