Sang Petualang
Dunia acting menjadi pelengkap petualangan kehidupan yang selalu diciptakannya
Penuh kontradiktif. Perasaan itu muncul sesaat setelah melihat penampilan Ario Bayu Wicaksono pagi itu. Wajahnya segar. Rambutnya yang habis dipotong cepak masih sedikit basah. Tubuhnya tinggi dan berisi dengan tatapan mata tajam di bawah alis tebalnya. Lalu kemanakah si Amir yang homoseksual tulen yang diperankan oleh Bayu (nama akrab Ario Bayu) dengan sangat luget dalam pementasan drama musical Onrop! itu? Sebaliknya, ia memperkenalkan diri dengan gestur tubuh yang tegap bak polisi. Sisi maskulinitas tampak menonjol pada dirinya. Sedang beraktingkah dia sekarang?
Bayu tersenyum menanggapi keraguan itu. Bukan yang pertama ia memerankan pria homoseksual. Sebelumnya, ia berperan serupa di film Pesan dari Surga dan Kala yang disutradarai Joko Anwar. “Saya senang sekali kalau kelelakian saya dipertanyakan. Ini artinya saya berhasil memerankan dia,”ujarnya diplomatis, matanya menatap tajam. Suara musik jazz kembali mengalun di restoran tempat pertemuan. Suasana terasa seperti sebuah penggalan adegan drama ketika seorang tokoh lelaki meyakinkan kekuatan cinta pada kekasihnya. Apalagi kemudian terlihat ia menghembuskan asap rokoknya dengan mendongakkan kepalanya. Membiarkan suasana lengang. Seperti sedang berpikir.
Sudah lima tahun ia meniti karier sebagai model dan aktor. Selama itu ia memilih peran yang lebih memerlukan tantangan penjiwaan. Mungkin karena dilandasi rasa cinta dan penghayatan yang dalam, setiap peran yang dilakoni hampir pasti menuai puji. Salah satunya film Kala yang disutradari oleh Joko Anwar, ia memegang peran utama untuk pertama kalinya, di mana film tersebut sudah beredar lebih dari 40 festival film di dunia. Meski pada kenyataannya, ia malah mendapatkan nominasi sebagai Best Supporting Aktor versi Indonesia Movie Award dalam film Laskar Pelangi (2009), sekaligus nominasi Best Favorite Supporting Actor pada ajang yang sama. Kali ini kembali namanya disebut-sebut karena permainannya di Onrop!
Atas kerja kerasnya tentu saja apabila sepanjang tahun ini, ia sudah disiapkan dengan berbagai kontrak di film dan iklan. Salah satunya Catatan Si Boy, di mana ia harus menghidupkan sosok utama dalam film yang pernah membuai mimpi remaja Indonesia di tahun 1980an. Setelah berkisah panjang lebar tentang film barunya itu, tiba-tiba ia berhenti bicara. Lalu bertanya, “Kenapa ya, saya banyak berperan sebagai the lover?” Lagi-lagi matanya yang tajam menatap.
Lalu kembali ia berkisah. “Nikmatnya menjadi seorang aktor kita bisa merasakan petualangan kehidupan yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya,” katanya. Dalam arti sesungguhnya, ia memang petualang. Ia memutuskan pergi dari Selandia Baru di mana ia tinggal bersama orang tuanya di sana sejak limabelas tahun lalu dan menuju kota di mana ia dilahirkan. Selama tinggal di negara kiwi, ia hanya merasakan dua kali pulang kampung. Itupun karena kakeknya meninggal atau ikut sang ayah dalam urusan bisnis. Atas dasar itulah ia kembali ke Indonesia. “Kalau ayah saya merantau ke Selandia Baru, saya merantau ke Indonesia,” ia terbahak.
Bayu adalah anak sulung dari dua bersaudara. Ayahnya memutuskan menetap di Selandia Baru setelah menyelesaikan pendidikan Master di bidang bisnis di sana. Awalnya mereka berbisnis di bidang furnitur, tapi hanya bisa bertahan selama setahun karena situasi bisnis sulit ditebak. Dalam kondisi seperti itu sang ayah memutuskan untuk berbisnis makanan, meskipun sebenarnya mereka tak memiliki kemampuan itu. “Ibu saya bahkan tak bisa masak,” ia menegaskan. Mereka lantas berjualan sate (kebab) di pasar tradisional di sebuah kota kecil di Selandia Baru. “Kami satu keluarga yang menjalankannya. Tugas saya memotong daging. Ayah memasak nasi. Ibu menggoreng nasi. Tapi saya juga melakukan pekerjaan lain apakah itu membuat sate ataupun mencuci piring,” ujarnya tanpa beban.
“Justru dengan menjadi pedagang sate, saya jadi tahu tentang dunia marketing dan menjadi dewasa dibanding teman seumur,” ia berkata terus terang. Dari bibir tipisnya langsung muncul berbagai cerita yang kian meyakinkan bahwa dirinya dan keluarganya adalah tipe pekerja keras demi melanjutkan kehidupannya sebagai perantau. “Sekarang ini kami sudah memiliki koki dan restoran kecil. Setelah dua belas tahun berjuang,” ucapnya. Ayahnya sangat membebaskan dirinya, sementara sang ibu cukup keras mendidiknya. “Kami hanya boleh menonton berita,” katanya sambil tertawa, membayangkan kini dirinya justru berada di dalam dunia hiburan.
Kemampuan beraktingnya terbentuk ketika ia mengambil kelas teater sejak duduk di bangku SMP. “Dari kecil saya suka sastra, drama, dan juga suka menghayal. Saya tak suka pelajaran matematika,” katanya jujur. Meski demikian, semua pelajaran itu rasanya tak mudah dicerna olehnya. Waktu kecil, ia mengalami apa yang disebut sebagai learning disability. “Kalau saya baca-caba buku, apa yang saya alami seperti simtom-simtom disleksia. Ini pendapat saya, karena saya belum pernah konsultasi secara klinis mengenai hal ini.” Lalu dengan fasih ia mengambil contoh-contoh pesohor seperti Albert Einstein dan Tom Cruise, yang mengalami hal serupa, seolah memberikan kebanggaan untuknya atas bakat yang diterimanya. “Saya baca susah. Saya lebih ke visual.”
Atas alasan itulah ia menikmati dunia teater. “Dalam dunia pertunjukan hampir 95% terdiri atas emosi. Saya merasakan pengalaman orang lain, termasuk dalam memahami struktur psikologisnya.” Dan benar, dia menemukan tempatnya di dunia teater. Pementasan besar pertamanya berjudul Romeo Juliet and Viola. Lalu ketika mengikuti Festival Young Shakespeare Company di Hamilton, ia terpilih sebagai dalam 20 terbaik dari 4000 peserta dari berbagai Negara, dan mendapat kesempatan belajar teater di London selama beberapa bulan. Di sana, ia dilatih oleh aktor-aktor senior, melihat pertunjukan teater besar, dan mendapatkan kesempatan untuk berpentas di salah satu gedung teater besar. “Saya mendapat kartu ucapan selamat dari Perdana Menteri Selandia Baru kala itu,” katanya bangga.
Di tengah kebanggaan dan kebahagiaan pulang dari London, ia malah merasakan kegamangan: meneruskan kuliah atau bekerja? Sayangnya, perasaan inferior karena learning disability masih menghantui. Walhasil, ia memutuskan untuk bekerja. “Setiap mau ambil kuliah selalu ada keraguan.. Dan sebenarnya kepergian saya ke Indonesia adalah sebuah pelarian,” akunya pelan.
Lalu mengapa Indonesia? “Awalnya saya berpikir Indonesia sebuah negara yang menarik. Banyak gelembung-gelembung kenyataan. Dalam bayangan saya pasti seru tinggal di Indonesia,” kata Bayu yang akhirnya mengaku depresi dan insomnia parah ketika tinggal di Jakarta. Kalau di Selandia Baru selalu ada hasrat untuk memberontak dalam situasi yang serba teratur, sebaliknya ketika di Indonesia. “Saya menjadi orang yang berusaha menaati peraturan,” ungkapnya. Perlu waktu hingga empat tahun lamanya untuk bisa beradaptasi di Jakarta dan suasana kotanya. Ada nada menggebu-gebu kalau ia sudah bicara tentang politik di Indonesia yang acapkali membuatnya frustasi.
Ketika tiba pertama kali di Jakarta, ia tinggal di rumah kawan neneknya di Pondok Pinang Jakarta. Ia tak menguasai bahasa Indonesia, dan membayangkan suasana seperti di Selandia Baru. Strateginya: tekad – atau tepatnya nekad. Setiap hari ia membawa CV-nya ke gerai cepat saji Mc Donald dan membayangkan bekerja sebagai pegawai di sana. Juga mendaftar menjadi bartender. Tapi job pertamanya malah pemotretan sebagai model yang dibayar seratus ribu lima bulan setelahnya. Saat itu apa saja dilakoni demi bisa menghidupi diri hingga menyusul film pertamanya: Bangsal 13. “Bahkan ketika itu saking tak punya uang, saya jalan kaki setiap hari dari Pondok Pinang ke Pondok Indah untuk syuting film pertama.”
Bekerja di Indonesia, tanpa referensi, bukan hal yang mudah bagi Bayu yang telah bertahun-tahun meninggalkan Indonesia. Banyak ketidakcocokan secara sosial. Ia merasakan sendiri kadangkala harga diri ditentukan oleh materi dan bukan karena kompetensi. “Bila saya tak mau berubah, saya pasti akan terisolasi. Saya tak mau menjadi alien,” katanya sembari memberikan contoh-contoh kecil dalam dunia hiburan yang digelutinya. Itu sebabnya, jarang sekali ia terlihat beredar di layar gosip televisi. “Saya ingin orang mengenal saya dengan kemampuan, bukan karena saya pacaran dengan siapa atau saya ingin punya pacar seperti apa, demi sebuah popularitas,” tegasnya.
“Proses pencarian diri saya justru terjadi ketika sendiri, jauh dari keluarga, teman, lingkungan yang aman, dan keluar dari kursi kenyamanan,” ujar Bayu yang rupanya mendirikan grup band beraliran punk and free style jazz bersama teman-temannya di Jakarta. “Ternyata dunia musik di Indonesia juga sulit. Di Selandia Baru, kita memainkan lagu sendiri, sehingga membuat kita jadi kreatif. Di Indonesia, tidak semudah itu. Rasanya kita memainkan apa yang disukai orang saja,” katanya sedih. Meski demikian, ia bekerja, berkarya, di dunia yang dicintainya: musik dan teater. Pelan-pelan, targetnya terpenuhi.
“Ketika saya meninggalkan Selandia Baru di usia 18 tahun, saya bercita-cita, ingin mengembara dan sukses di usia 25.” Namun, ketika usia dua puluh lima tiba, frame kesuksesan ini rasanya menjadi berubah. Frame kesuksesan yang dibayangkan saat itu tentu saja pundi-pundi kekayaannya terkumpul sehingga ia bisa meraih kenyamanan yang ia inginkan: memiliki rumah dengan tanah yang luas dan memiliki kebebasan dalam menentukan arah hidupnya sendiri. Salah satunya kembali ke Selandia Baru – setelah enam tahun mengembara tanpa sempat menengok orang tuanya sama sekali – dan, orang tuanya bisa berhenti memasak karena ia melihat tangan ibunya sakit. Harapannya: bisa mengajak keluarganya kembali ke Indonesia dan berkumpul lagi dengan teman-temannya. “Target saya tambah setahun lagi. Karena itulah saya memutuskan untuk masuk sinetron tahun ini untuk mempercepat tujuan saya.”
Bukankah itu sebuah kemunduran seperti yang ia pernah katakan dulu? “ Memang jalan hidup tidak selalu lurus. Kadang kita mundur dulu, mencari jalan yang lain, namun tujuan itu tetaplah sama. Dan tentu harapan saya, saya bisa memberikan kontribusi dalam perkembangan sinetron di Indonesia.,” katanya, diplomatis. “Kita harus percaya, Indonesia negara berkembang. Sinetron Indonesia pasti akan berkembang dan saya berharap akan menuju hal yang lebih baik lagi,” ujarnya optimis.
Dengan berbagai kesibukan itu, lelaki yang gemar olahraga petualang macam sepeda gunung atau buggy jumping ini belum terpikirkan untuk menikah. “Yang pasti saya akan memilih perempuan mandiri dan tidak manja. Secara fisik, saya tak punya hal-hal yang spesifik,” kata Bayu yang berniat akan tinggal di Selandia Baru di hari tuanya nanti. “Mungkin saya meneruskan usaha orang tua jualan sate,” katanya kemudian. Tentunya setelah ia mengambil pendidikan dalam industri film di London sesuai cita-cita, serta mewujudkan eksistensi lebih besar di dunia yang dicintainya kini. Entah di sini. Entah di mana. (Rustika Herlambang)
Pengarah Gaya: Karin Wijaya. Foto: Shanty Dewi. Lokasi: Koi Restaurant
Baca postingan ini jadi makinnnn ngefans ama Ario Bayu.
Saya takjub dengan Acting Ario Bayu di Kala, Pintu Terlarang, Laskar Pelangi, Darah Garuda. Saya nilai actingnya “Outstanding Performance” jika di banding dengan acting pemain sinetron yang bisanya cuma teriak-teriak dan hampa. Tapi sayang kenapa yah kok ditempatkan di pemeran pembantu? Apa sutradara kurang bisa melihat kekuatan acting yang dimiliki?