Intermezzo Kehidupan
Di balik semua gemerlap cerita kesuksesan Sanur di mata internasional, ada tangan-tangan cekatan Tatie di balik segala detail dan jamuan
Dari Tatie ke Tandjung Sari
Tandjung Sari Hotel awalnya adalah sebuah rumah liburan keluarga Wija Wawo Runtu yang saat itu masih beristrikan Judith. Bersama kelima anaknya, mereka menikmati pemandangan laut dan indahnya pantai Sanur di awal tahun 1960. Rumah tersebut berubah menjadi penginapan ketika teman-teman dekat Wija merasakan tinggal di sana, dan memberikan inspirasi agar membangun bungalow yang bisa disewakan. Selanjutnya penginapan berkembang menjadi hotel dengan tetap bernuansa rumah. Dari mulut ke mulut hotel tersebut semakin dikenal, hingga dalam sebuah buku Architecture Bali: Birth of the Tropical Boutique Resort (Phillip Goad, Patrick Bingham-Hall), Tandjung Sari diklaim sebagai konsep butik hotel pertama di Asia Tenggara di tahun 1960-an.
Ketenaran hotel tersebut sampai mengundang aktor Hollywood John Wayne, Ingrid Bergman dengan suaminya Larst Smith, Ratu Ingrid dari Denmark, serta para Duta Besar Negara sahabat di era tahun 1960-an, yang saat itu belum terbentuk hotel. Menyusul kemudian beberapa musisi/penyanyi kondang asal Inggris seperti Mick Jagger dan David Bowie pernah menyempatkan menginap di sana. Saat itulah peran Tatie Wawo Runtu menyeruak. Tatie adalah perempuan yang dinikahi Wija setelah berpisah dengan Judith.
Terlahir sebagai perempuan Jawa-Sumatra yang energik, Tatie, bersama Wija mulai membenahi dan mengatur segala sesuatunya yang berkaitan dengan pengembangan Tandjung Sari, mulai dari detail penataan interior ruang dan kebun hingga pengaturan jamuan makan. Apa yang dilakukan oleh pasangan tersebut puluhan tahun lalu tetap terasa. Kendati hotel butik kian menjamur, Tandjung Sari tetap menjadi destinasi eksklusif yang favorit. Kini, Tatie masih tinggal di dekat Tandjung Sari. Tak ada yang berubah darinya. Ia tetap saja disibukkan dengan berbagai aktivitas, terutama memasak, menjamu, dan pesta!
Sebuah Pertemuan
Pertemuan perdana dengan Tatie Wawo Runtu berlangsung di kediaman barunya di Sanur, Bali. Rumah bergaya modern tropis itu berisi ruang-ruang lapang yang amat nyaman. Sejurus mata memandang ke berbagai tempat, segala hal terlihat bersih, tertata, apik, dan sempurna, bahkan hingga ke taman tak lepas dari hasil sentuhan tangannya. Staf rumah tangga terlihat hilir mudik menyiapkan segala sesuatunya dengan cekatan. Mereka mengenakan seragam dan tatanan rambut yang rapi.
Dari ruang wardrobe, Tatie berjalan dengan kepala tegak dan langkah tegap, penuh percaya diri. Terusan warna merah jambu yang dikenakan begitu kontras dengan pemandangan taman bernuansa hijau. Ia mengenakan kacamata dengan gagang merah yang mengingatkan pada sosok Miranda Pristley, tokoh utama film Devil Wears Prada yang diperankan Meryl Streep. Tentu bukan dalam arti negatif, melainkan pada nada bicara, sorot mata, dan gaya tertawanya. Konon kabarnya, sutradara Teguh Karya (almarhum) pernah terinspirasi karakter Tatie, yang lantas dijadikan sosok sentral dalam film “Ibunda” – kebetulan pula diperankan oleh Ninik L. Karim, adik kandung Tatie.
Bayangan itu langsung buyar seketika ketika Tatie memberikan senyumnya. Ah, rupanya ia cukup hangat, terbuka, menyenangkan, dan amat perhatian pada orang lain. Pada awalnya memang tidak mudah meminta waktunya untuk wawancara. Ia hanya tak ingin kisah hidupnya dibuka untuk umum. “Saya ingin menjadi orang di balik layar saja,” ujarnya. Namun setelah dibujuk oleh adik kandungnya, Ninik L. Karim, dan cucunya Annisa, barulah ia menyanggupi perbincangan ini. Untuk itu dia mempersiapkan segala hal yang sekiranya menyangkut kelancaran wawancara dan pemotretan.
Senyuman itu berubah menjadi tawa lepas saat ia bercerita tentang kelima adiknya. “Mereka menjuluki saya dengan nama Queen Elizabeth. Saya memang selalu menegur mereka. Terutama urusan jaga kesehatan. Itu kan untuk kebaikan mereka, saya tidak peduli dibilang “cerewet” atau apapun,” ia tertawa – dengan gaya yang tetap anggun. Lalu terdiam sejenak, sebelum melanjutkan pernyataan. “Saya juga tak lelah mengajari anak cucu saya tentang table manners yang saya kenal dari orang tua saya semenjak kecil.” Soal terakhir ini memang cukup penting bagi Tatie yang eksis dalam dunia jamu-menjamu.
Setelah bertahun-tahun bolak-balik tinggal di Bali, Belanda, dan Itali, Tatie akhirnya memutuskan kembali ke Bali. Ke Sanur. Ia sungguh tak ingin merepotkan anak-anaknya kelak. Untuk keperluan tersebut, perempuan 73 tahun yang bernama asli Oemiyati ini mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk membangun rumah modern yang memudahkan. “Di sini saya juga ingin merasakan kembali masa-masa kenangan bersama suami, Pak Wija,” sejenak ia termenung, mengenang almarhum suami yang sudah berpulang 9 tahun lalu.
Wija. Wija. Wija. Tidak mudah bagi Tatie melupakan kenangan hidupnya pada pria flamboyan berdarah Manado-Belanda. Nama ini selalu disebut Tatie dalam menjelaskan apapun yang sudah dilakukan selama ini. Ia seakan menemukan sebagian jiwanya. Wija-lah yang membuka bakat dan kekuatan Tatie – janda dengan empat anak. Seperti mutiara yang ditemukan dan diasah dengan baik oleh Wija, ia baru disadarkan betapa ia memiliki bakat soal desain (fashion dan interior), memasak, dan urusan jamu menjamu – sesuatu yang bahkan tak pernah ada dalam pikirannya. Bisa dibayangkan, setelah menikah dengan Wija, ia menjadi ibu dari 10 anak; satu diantaranya, Wita, lahir dari buah cinta keduanya. Tandjung Sari Hotel dan rumah tangganya menjadi tempat untuk melakukan berbagai eksperimen luar biasa.
Ketika ia bertemu Wija empat puluh lima tahun lalu, situasi Bali dan Sanur masih sepi. Hotel sangat jarang. Belum ada listrik, sehingga mereka masih menggunakan lilin dan lampu teplok yang tiap beberapa jam harus dinyalakan kembali atau diisi minyaknya. Belum ada telepon ataupun intercom. Apabila tamu-tamu di kamar membutuhkan layanan, mereka menggunakan “kentongan” yang disediakan di luar kamar. Para petugas sangat hafal dengan suara kentongan dari kamar berapa.
Dalam situasi yang masih sederhana tersebut, ia bersama Wija menggarap dan mengembangkan Tandjung Sari. Tatie memulai dari membuat dan mengkreasi pernak-pernik kamar yang digarapnya sendiri, seperti sprei, korden, tatakan gelas, hingga tempat tidur. Untuk interior, sengaja dibuat khas kental dengan suasana Bali dan Indonesia, dengan menampilkan dekorasi batik dan tenun, serta barang-barang antik koleksi Wija dan Tatie. “Kebetulan saya dan Pak Wija cocok soal desain furniture. Kita selalu berunding,” ungkapnya.
Penataan kebun diatur sedemikian rupa dengan menggunakan tanaman local. Belakangan apa yang mereka kerjakan disebut sebagai konsep lansekap Balinese Tropical Garden. Keduanya memang terhitung maju dalam berpikir ke depan pada saat itu. Termasuk membuat konsep interior bernuansa tradisional yang ekslusif, bercita rasa, dan akrab (intimate), yang tetap dipertahankan sampai hari ini. Ketika wacana tentang hotel butik didengungkan pada tahun 1980-an, keduanya sudah melakukannya dua puluh tahun sebelumnya.
Soal menu jamuan yang amat sederhana pun menjadi perhatian Tatie. Ia mencoba membuat menu-menu baru dari koleksi buku masakan. “Sebetulnya saya tak pernah belajar memasak. Tapi saya selalu memerhatikan ketika Ibu saya memasak,” aku Tatie yang baru memasak secara serius setelah menikah dengan Wija. Sifat perfeksionis menantangnya agar membuat menu jamuan lebih baik, termasuk membuat eksperimen menu Indonesia dan menu barat. Bila menemukan sebuah menu menarik dari jamuan teman, ia pasti akan membuatnya sendiri di rumah. “Soal makanan, saya sangat sensitif. Saya bisa mengingat rasa masakan yang pernah saya makan dan saya inginkan, dan mencoba membuatnya.”
Ia katakan bahwa kunci masakannya terletak pada perasaannya. Takaran-takaran yang ada di buku masakan hanya lewat di pikirannya. Saat memasak, ia hanya percaya pada jarinya untuk menentukan kadar kelezatannya. “Menu favorit Pak Wija, steak sapi lokal Bali buatan saya, yang disantap dengan mashed potatoes dicampur nasi dan sambal sebagai pengganti “mustard,” ia tertawa, mengenang begitu sederhananya racikan menu makanan. Almari pendingin belum ada. Ia harus pandai-pandai mengatur menu dan pembelian sayur, buah, dan daging secara tepat. Dan dari hari ke hari, Tatie terus bereksperimen dengan menu-menunya.
Kemahiran Tatie dalam urusan masak memasak rupanya tercium sampai ke Amerika. Kritikus makanan dari New York Times, Craig Claiborne, pernah membuat feature tentang menu masakan Tatie di koran prestisius tersebut pada bulan November 1974. Karena unik, resep Tatie tersebut masuk dalam dua buku resep makanan Craig. Salah satunya buku Craig Claiborne’s Favorites from The New York Times [1975] . “Saat itu ia sangat tertarik dengan bawang goreng, yang disebut sebagai salah satu delicatessen yang saat itu digunakan untuk Soto Ayam dan Opor Ayam ,” ungkapnya. Begitu pula ketika saat tinggal di Belanda. Teman-teman membujuknya untuk mengisi salah satu acara masak memasak di televise. Namun ia menolak. “Saya kurang percaya diri untuk diinterview, apalagi ditonton banyak orang di depan publik.”
Sampai suatu kali, datanglah tantangan dari Menteri Pariwisata Joop Ave. Untuk mempromosikan Indonesia, ia disarankan untuk membuat Risjtafel Masakan Indonesia. Menu pertama kalinya berupa Asampade Jeroan, Rendang, Kalio – semua masakan khas Sumatera. “Aduuh mereka suka sekali,” kenang Tatie dengan bangga. Menu-menu ini terus dikembangkan dan digabung dengan menu daerah lain seperti Lodeh, Bebek Betutu, dan banyak lagi lainnya. Hingga kini Risjtafel menjadi menu “signature” Tandjung Sari, selain “home made croissant”, yang kemudian banyak diikuti oleh hotel-hotel lain di sekitar.
Selain masak memasak, Tatie juga piawai soal jamu-menjamu. Ia dikenal sebagai tuan rumah yang baik untuk seluruh tetamu. Untuk menyukseskan acara jamuan, ia merancang konsep pesta, menu, penyajian, hingga pengaturan acara khas a la Tatie dan Wija. Pesta itu selalu bersuasana santai, rileks, dan yang paling menarik selalu ada “surprise”. Apakah itu kejutan dari acara, hiburan, makanan, maupun dekorasinya, yang sepenuhnya kreasi kolaborasi Wija dan Tatie. Undangan yang datang untuk berbagai kalangan bisa berbaur dan selalu menarik orang-orang untuk datang dan menemukan sesuatu yang baru dan dinamis. Gaya pesta ini pula yang dikembangkan di Tandjung Sari, hotel yang sengaja dibuat berkonsep pada hotel keluarga.
Beberapa tamu “besar” seperti yang tertera di atas adalah sebagian saja dari tetamu Tatie dan Wija. Kehangatan mereka membuat tetamu kembali mengunjungi Bali. Sebutlah Mick Jagger. Penyanyi gaek tersebut beberapa kali kembali ke Bali dan menginap di Tandjung Sari. Terkadang malah menginap di rumah tinggal Wija dan Tatie – selain juga Mick Jagger mengunjungi teman baiknya di Ubud, Amir Rabik, yang juga teman dekat Wija dan Tatie.
Life in Style
Meski Tatie banyak menghabiskan waktunya di dapur dan belakang layar, ia tetap perempuan kosmopolitan yang menikmati setiap detik yang berlangsung dalam hidupnya. Mengundang teman dan menjamu adalah media yang paling tepat untuk mengekspresikan diri baginya untuk bersosialisasi bersama teman-temannya. “Saya memang suka pesta!,” ia tersenyum. Hingga kini, ia masih gemar mengundang dan menjamu teman-temannya sepekan sekali di rumahnya – entah di Sanur, Itali, maupun Belanda. “Pada dasarnya, Wija almarhum dan saya senang bergaul dan berjiwa hospitality.”
Kehangatan pribadinya membuat banyak teman “jatuh hati” padanya. Tak jarang ia bertualang keliling dunia karena undangan kenalan-kenalannya, sesekali berasal dari tetamu di Tandjung Sari. “Bahkan saat ini saya berencana ke Amerika dan London atas undangan teman-teman,” kata Tatie yang dahulu kerap hadir di prêt a porter di Milan atau Paris, salah satunya bersama Non Kawilarang. Fashion adalah kegemarannya yang lain. “Dulu Pak Wija selalu memberi masukan untuk penampilan saya.”
Seperti biasa, semua berawal pada keinginan untuk tampil “sempurna”. Pun dengan dunia fashion. Dalam segala suasana keterbatasan butik daya kreativitasnya terbangun. Ia lantas merancang dan memiliki tukang jahit untuk busananya sendiri. Tapi diam-diam, Tatie bertangan dingin dalam berbisnis busana. Ia mendirikan Sari Bali Boutique di Bali Hyatt Sanur dan di Tandjung Sari Hotel yang dikelolanya sendiri selama 15 tahun, sebelum akhirnya diserahkan pada orang kepercayaannya. Ia juga memiliki drug store, yang menjual keperluan-keperluan tamu hotel.
“Tapi hidup saya lebih santai dari business woman. Saya tak pernah merasa bahwa saya seorang business woman dalam hidup saya,” katanya cepat-cepat. Ia menghela nafas. “Buat saya, yang terpenting adalah rumah tangga, di mana saya senang berkecimpung dalam rumah. Memasak, mengurus rumah, bepergian, pesta, menjamu saya suka,” ujarnya kemudian. “I live to cook,” ujar Tatie yang acap mengajak chef dan waitress dari Tandjung Sari Hotel untuk membantu kalau mengadakan jamuan makan “sitting dinner”. Kalau buffet, saya biasanya memasak sendiri dibantu staf di rumah, dan menunya saya letakkan di meja.” Ia menunjukkan meja kayu panjang di depan dapur bersihnya yang selalu ia gunakan untuk menata makanan buffet. Tamu-tamu duduk di meja makan yang berbeda dengan setting dan dekorasi menarik.
Ke depan, Tatie menikmati hari-harinya sendiri. Seluruh “pelajaran” yang telah diberikan untuk Tandjung Sari sudah paripurna dan saat ini beroperasi dengan semestinya. Namun ia pada dasarnya memang tidak bisa diam, ada saja dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Selalu ingin memutuskan bahwa segala sesuatunya benar pada tempatnya. Selain itu, ia ingin melewati masa-masa tua dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat: membaca, memasak, olah raga, melihat pertandingan bola atau tennis di televise, bepergian dengan teman-teman, redekorasi rumah, berkebun, yoga, mengadakan pesta, mengalir mengikuti kata hati, ditemani alunan musik klasik atau opera yang tak pernah berhenti. Mungkin resep ini yang membuat ia selalu tampak segar dan awet muda di usianya. Bahagia. (Rustika Herlambang) Stylist: Milka Sumampaw. Foto: Yano Sumampaw, why imaging. Make up artist: Carmelita. Lokasi : kediaman Tatie Wawo Runtu.
mba boleh tanya yang tinggal di paris itu anaknya bu tatie ya?