“Accupunto” Leonard Theosabrata
Antara kepuasan ego dan pasar, antara fungsi dan artistik, antara hitam dan putih, ia memilih berada di antaranya.
Lagu Killing Me Softly berirama jazz mengalun lembut di butik Accupunto, Grand Indonesia, Jakarta – mengawal pertemuan dengan desainer produk dan juga pemilik perusahaan, Leonard Theosabrata (33). Penampilannya segar, kendati mengenakan atasan hitam dengan detail unik dan celana panjang hitam yang begitu kontras dengan warna kulitnya. Kacamatanya bulat, bergagang. Rambutnya disisir artistik. Terasa benar ada gaya dan selera yang tinggi di balik penampilannya yang sederhana – mengingatkan pada desain produk-produk Accupunto yang modern, minimalis, tapi juga menyimpan sensualitas di balik detail lekukan kecil yang diciptakannya.
Bulan lalu, Accupunto meraih penghargaan Primaniyarta untuk kategori eksportir barang dan jasa ekonomi kreatif dari pemerintah Republik Indonesia. Hal ini menjadi bukti bahwa kerja keras Leo dalam dunia desain tidak hanya mengejar ego kesenimanan yang bersemayam, melainkan juga menjawab tantangan pasar. Sebelumnya, ia menaklukkan berbagai penghargaan kompetisi desain bergengsi di dunia. Di antaranya Red Dot Design Award 2003 (Jerman), Good Design Award Japan 2005, Well Tech Award 2006 (Itali) sehingga karyanya dipajang di Science and Tecnology Museum sepanjang Milan Fair 2006, serta Wallpaper Design Award 2009 untuk karya kolaborasinya dengan desainer dunia Michael Young for Accupunto.
Penghargaan dan prestasi ini rupanya tetap membuat Leo rendah hati. Sore itu, ia menyapa riang seolah pertemanan ini sudah demikian akrab. Ia meminta maaf karena waktu pertemuan terbatas. Belakangan, ia terhanyut dalam aktivitasnya bersama partner bisnisnya yang lain di Brightspot Market, yakni sebuah konsep retail yang unik yang diselenggarakan beberapa kali setiap tahun di beberapa tempat di Indonesia. Pada saat wawancara terjadi, ia dalam persiapan pembukaan The Goods Department, yakni toko eksperimen yang seluruh isinya dikurasi oleh tim Brightspot. Kini, ia juga merambah dunia maya melalui website gayahidup yang dikelolanya: whiteboardjournal.com. Kesibukan ini kian melengkapi urusan Accupunto yang kini sudah berjumlah 3 gerai di Jakarta.
Aktivitas yang dilakukan tersebut merupakan sebuah program eksperimen dalam dunia retail di Indonesia. Ada kreativitas baru yang menjanjikan. “Saya amat pembosan, butuh segala hal yang menantang. Dan seperti Ayah saya, bila dapatkan sesuatu yang menantang, saya sanggup (bekerja) 24 jam,” katanya jujur tentang kesibukan yang membuatnya menjadi workaholic, sekaligus membuka tabir dirinya sendiri.
Leo adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Ia menyebut sang ayah, Yos Theosabrata, sebagai seorang industrialis dan inventor, yang amat berpengaruh. “(Karakter) Ayah sangat hitam putih. Dia mendidik secara ekstrim tapi liberal. Pikirannya selalu dipenuhi dengan ide-ide besar,” ujarnya. Bahkan soal selera “diarahkan” dengan caranya sendiri, yakni dengan mendekatkan anak-anaknya pada benda-benda dan fasilitas terbaik di dunia. Misalnya saja, ia pernah diajak berkeliling dunia oleh ayahnya dengan menggunakan penerbangan first class dan menginap di hotel berbintang lima. Sementara sang ibu adalah perempuan yang amat baik sehingga sanggup menyentuh sisi emosional dan sentimental pada dirinya.
“Saya juga tak suka pura-pura dan tak bisa pura-pura. Kadang kelihatan ekstrim. Tapi itulah saya,” katanya sembari mengaitkan dengan gaya desainnya kini: “Saya suka sesuatu yang bermakna di balik bentuk sederhana. Tak ada basa-basi. Mengutamakan kenyamanan dan rapi.”
Cita-cita yang diingat Leo hanyalah ia ingin menjadi arsitek – mungkin karena kesukaannya pada menggambar. Beberapa kali ia memenangkan kompetisi menggambar. Sayangnya, bakat seni ini sengaja dicegah agar tidak berkembang terlalu pesat. “Saya tak ingin Leo menjadi terlalu seniman. Seniman tak bisa bisnis. untuk bisnis perlu bergaul. Ada kesengajaan saya untuk mengurangi sisi dia menjadi seniman,” ungkap sang ayah yang ketika itu juga seorang pengusaha di berbagai bidang, salah satunya di furnitur.
Leo sendiri malah menyibukkan diri dengan bermusik. “Saya ikut drama, musik, koor, kompetisi menyanyi dari SD sampai SMA. SMA ikut nge-band,” ia tersenyum-senyum. Band idolanya Weezer, band alternative dari Amerika di era 1990-an. “Hidup saya penuh dengan musik hingga kuliah di Houston,” ungkap Leo yang selulus SMA melanjutkan pendidikan di jurusan Desain Grafis di Art Institute of Houston di Texas, Amerika Serikat, sebagai kelanjutan dari hobinya menggambar.
Namun ajaibnya, kesukaan pada musik itu tiba-tiba hilang ketika melanjutkan pendidikan desain produk di Art Center College of Design di Pasadena, California. “Apakah karena saya sudah tidak lagi bisa menikmati musik, ataukah karena mendapat gairah baru di sekolah saya?,” ia berpikir. Pertanyaan itulah yang kemudian dijawab oleh Yos, ketika mempertemukan Leo dengan dunia desain produk. Rupanya, diam-diam sang ayah sudah memiliki target. Dengan kata-kata yang mendalam, Yos mengatakan bahwa ia punya bakat di desain produk.Dan memang, kata-kata ayahnya terbukti. Di sekolah yang baru, ditambah dengan pengalaman desain grafis, Leo menemukan jiwanya. “Dunia ini ternyata glamor. Ketika saya ke Milan Fair, rasanya saya sedang menghadiri konser musik,” Leo tergelak.
Meski berangan-angan bekerja di perusahaan besar seperti Apple Computer, dan membuat produk konsumen, pada saat-saat tugas akhir ia justru membuat kursi! Accupunto – adalah nama kursi pertama yang dibuatnya – yang namanya diambil sebagai nama label gerainya -, sekaligus mengantarkannya pada berbagai pernghargaan tingkat internasional seperti disebut pada awal cerita. “Kenapa kursi, mungkin karena tuntutan karier,” ungkapnya realistis, menyadari dilahirkan dari keluarga pebisnis furniture dan memilik pabrik sendiri. “Kebetulan saya menikmati kerja di pabrik. Saya senang memelajari sesuatu. Buat saya proses jauh lebih menarik ketimbang hasilnya,” ujar Leo yang setiba di Indonesia tahun 2002 langsung mendirikan usaha sendiri, PT Accupunto. Pengalaman menyatakan bahwa: “Rasanya saya tidak bisa bekerja pada orang lain.”
Untuk mencapai eksistensi Accupunto – kursi yang menawarkan kenyamanan – itu, perjalanannya sangat panjang. “Saya belajar dari pengalaman hidup,” tuturnya sembari menyebutkan berbagai pengalaman menyentak dalam hidupnya. Realitas acapkali memotivasi dia untuk terus mengubah strategi bisnis dan “mendinginkan” egonya. Seperti dalam 3 tahun terakhir, ia harus mengubah arah produk yang awalnya berorientasi ekspor menjadi retail lokal karena situasi perekonomian. “Saya sedang fokus membesarkan Accupunto sebagai label furniture seutuhnya. Saya ingin tumbuh sebagai pemilik bisnis,” ungkap Leo yang dalam setahun terakhir, ia membantu desain dan pemasaran produk matras – hasil temuan sang ayah – Airgonic.
Untuk menjalankan siklus bisnisnya, ia terus menerus melakukan ekperimen. “Saya memang tak bisa diam. Sekarang, saya sedang belajar menjahit, belajar mengenai kulit, supaya saya bisa fokus pada suatu hal. Kalau tidak, dalam dunia nyata, pikiran saya kemana-mana, makanya ubannya makin gila. Banyak pikiran.” Ia tertawa terbahak-bahak.
Kulit adalah media yang sedang dieksplorasi selain kayu. “Intinya adalah produk alam. Keduanya adalah hal terbaik yang bisa kita tawarkan dan merupakan produk basik. Sejak jaman dulu kala orang sudah menggunakannya,” ia memberikan alasan, sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya, “Saya suka sesuatu yang ada respon tactile. Bukan berarti retro, tapi kayu dan leather ada jiwanya. Sesuatu yang hidup yang tak bisa digantikan. Ini hanya soal respek.” Seperti memahami arah pembicaraan menuju pada gerakan hijau, Leo mempersiapkan jawabannya. “Alam memiliki kemampuan healing. Dan saya pasti akan bertanggung jawab atas berbagai hal yang memengaruhi kelangsungan bisnis saya,” ucapnya diplomatis.
Lalu perempuan seperti apa yang mampu memikat sosok seperti dirinya?
“Pasti yang dilihat fisik dulu. Memiliki tubuh proporsional. Kulit adalah hal terpenting buat diri saya. Dan dia harus memiliki mata yang indah,” katanya terus terang. Karisma dari seorang perempuan sangat dia agungkan. Dalam artian, tanpa perempuan itu bicara, aura atau karismanya sudah terpancar. “Ini hanya soal absolute total package,” ungkapnya sembari memberikan nama Cate Blanchet sebagai tipikal perempuan yang ia sukai. Tentu saja, Irene Yuliana, yang menjadi istrinya kini, memiliki apa yang diidamkan Leo – bapak dari dua anak, River dan Skye.
Setelah menikah, Leo mengakui kehidupannya semakin matang. Dia mulai meresapi apa yang ia sebut sebagai esensi kehidupan. Saat berkarya, ia bisa tuangkan semua “sisi pemberontakannya”. Accupunto seperti berada dalam dunianya sendiri. Dan sebagai desainer produk sekaligus pemilik perusahaan, ia punya kesempatan untuk mengeksplorasi kegilaan ide-idenya di dalamnya. “Saya bukan seniman murni.” Darah campur ini membuat ia bisa memasang harapan setinggi-tingginya. “Kalau diibaratkan dalam fashion, saya berharap Accupunto seperti label Margaret Howell dan Band of Outsiders. Kalau lebih mainstream seperti Muji,” katanya. Tentu produk yang diinginkan haruslah eksklusif dan abadi, dan ia membandingkannya seperti Hermès. “Aku juga suka Obin.” Berbagai nama yang disebutkan di atas seperti membentuk arah pergerakan rencana bisnisnya di kemudian hari dengan sangat hati-hati.
Hati-hati? Supaya tidak terjadi kesalahan fatal di dalam hidupnya seperti tato di lengan kanannya. “Ini adalah kesalahan umur 17 tahun dan selalu mengingatkan saya betapa naifnya. Karena ingin berbeda sama yang lain, saya menggambar sendiri tatonya. Tapi rupanya hasilnya jelek,” ujarnya. Tato itu tak pernah bisa hilang dan selalu muncul bila ia mengenakan kemeja lengan pendek kesukaannya – seperti selalu mengingatkan bahwa kesalahan itu jangan sampai terulang. Situasi itulah yang menyemangati Leo agar semakin matang dalam mengambil keputusan. Untuk selalu menjaga mimpi-mimpinya di masa depan. (Rustika Herlambang)
Stylist: Karin Wijaya. Fotografer: Honda Tranggono. Lokasi: Accupunto, Grand Indonesia.
it’s nice……. good job
Update nya dirapel ya ? Sway banget nunggunya … wkwkwk …
good