Warisan untuk Keturunan Keluarga Raja-Raja di Bali
Sebagai penglingsir, saya harus memberikan warisan terbaik untuk mereka
Pertemuan ini terjadi pada sebuah siang yang hangat di Puri Banyuning, Abiansemal, Badung, Bali. Ketika itu sebuah upacara Mendak Taru, yakni upacara memotong batang pohon untuk dibuat Topeng Betara Barong di Pura Dalem Puri – yang merupakan pura milik keluarga puri sedang berlangsung. Iring-iringan masyarakat dan suara musik tradisional menjadi latar yang magis dan romantis saat berbincang dengan Ida Ayu Kompiang Sutarti atau yang lebih di kenal dengan sebut Ibu Agung Oka yang merupakan Penglisir Puri Banyuning.
Penglingsir atau Pemucuk adalah sebutan untuk orang yang dituakan, pemimpin puri, atau pemimpin lembaga kekerabatan puri. Sementara yang disebut sebagai puri dalam tradisi Bali adalah tempat tinggal para bangsawan di Bali, khususnya mereka yang merupakan putra dari keturunan raja-raja.
Ida Ayu Kompiang Sutarti merupakan istri dari bangsawan (Alm) Drs.I Gusti Agung Gede Oka, yang merupakan Generasi ke X keturunan kerajaan Mengwi. Kerajaan Mengwi sendiri sangat berpengaruh di wilayah Bali dan Jawa bagian timur pada sekitar abad 17. Di masa kerajaan dulu, masing-masing putra raja akan diberikan wilayah kekuasaan. Putra ke-9 dari raja Mengwi diwariskan wilayah kekuasaan yang bertempat di Sayan, Ubud-Gianyar. Sejalan dengan perubahan sejarah yang ada dan di bawah kepemimpinan I Gusti Agung Banyuning pada waktu itu, puri kemudian pindah ke Desa Bongkasa, yang sekarang ini masuk dalam kecamatan Abiasemal, Kabupaten Badung.
Sesuai tertera pada namanya, Ida Ayu merupakan wanita perempuan keturunan Brahmana. Namun karena cinta tak pandang bulu, maka pilihan hatinya jatuh pada pria simpatik dari golongan ksatria yang ditemuinya di lapangan olah raga. I Gusti Agung Gede Oka adalah atlit lompat tinggi, sementara Ida Ayu memacu dirinya sebagai atlit olah raga lari. Api cinta kian membara, perbedaan kasta tidak menghalangi cinta mereka. Karenanya, sesuai adat dan tradisi, Ida Ayu Kompiang Sutarti menjalani proses “Kawin Lari” oleh I Gusti Agung Gede Oka – yang kemudian membawanya dalam sebuah pernikahan agung pada tahun1950-an. Pada awalnya dari pihak keluarga perempuan kurang menyetujui pernikahan ini karena artinya turun kasta dari Brahmana ke kasta Ksatria. Namun setelah mengandung putra pertama, restu itu datang juga.
Di keluarganya sendiri, Ida Ayu adalah putri ke tiga dari 16 bersaudara (dari 4 ibu). Dalam tradisi Bali yang menganut sistem garis keturunan patrilineal, perempuan yang sudah menikah sudah dianggap menjadi “milik” keluarga laki-laki. Oleh karena itu, pada saat pernikahan terjadi tak ada pemberian apapun dari pihak keluarga perempuan. Sebaliknya, pihak keluarga pria-lah yang memberinya seperangkat perhiasan – yang akhirnya menjadi koleksi pertama dan sangat berharga padanya.
“Setelah menikah, saya pun menjadi istri dan bagian dari keturunan keluarga bangsawan Mengwi. Sebab itu, saya mulai memerhatikan penampilan, terutama perhiasan,”ujar Ida Ayu, yang setelah menikah sempat tinggal di Yogyakarta karena tugas suami. Almarhum suaminya juga pernah menjabat sebagai sosok penting di daerah Bali dan menduduki jabatan sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di luar tugas tersebut, keduanya adalah “pemilik” Puri Banyuning – yang dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai kraton (kerajaan).
Di Puri ini seluruh upacara dan perhelatan agung serta ritual keagamaan dari keluarga besar dari keturunan “Banyuning” dilaksanakan. Misalnya saja, upacara Potong Gigi, pernikahan, hingga Ngaben. Sebagai penglingsir Puri, Ida Ayu mempersiapkan, menyimpan, dan merawat seluruh pusaka puri. “Perhiasan merupakan symbol kemuliaan puri. Semua yang ada di sini adalah perhiasan khusus keluarga Puri Banyuning yang kelak akan diwariskan turun temurun kepada seluruh keturunan keluarga raja Banyuning.”
Berbagai perhiasan yang diperlihatkan tersebut sebagian berupa hiasan untuk kepala – yang memang hanya keluarga raja yang berhak mengenakannya. Semuanya terbuat dari emas 24 karat yang tipis dengan motif-motif khas Bali dan aksen dari batuan mulia seperti mirah, rubi, jade, dan safir. Ada pula gelang-gelang tangan, lengan, ikat pinggang, yang semuanya didesain atas kehendak Ida Ayu. “Saya tak tahu di mana lagi perhiasan dari keluarga suami saya. Karena itu, saya mempersiapkan seluruh perhiasan untuk menjadi koleksi Puri Banyuning yang bisa diwariskan kelak untuk generasi mendatang.” Perhiasan-perhiasan yang dikumpulkan Ida Ayu itulah yang kini dipakai untuk seluruh anak cucunya bila upacara berlangsung.
Dalam tradisi Bali, perhiasan emas dan bebatuan memiliki nilai yang amat penting dan erat kaitannya dengan agama dan adat istiadat. Hal itu bisa dipahami karena perhiasan bukan saja berfungsi untuk mempercantik dan menghiasi manusia itu sendiri, tapi hampir di semua kegiatan ritual di Bali perhiasan-perhiasan emas dan batu-batu mulia menghiasi peralatan-peralatan sacral. Mulai dari sarana persembahyangan hingga hiasan-hiasan yang ada pada setiap upacara selalu menggunakan perhiasan yang terbuat dari emas. Dalam hal ini, pemilihan pada emas bukanlah sesuatu yang serta merta, melainkan emas sebagai perlambang kemulian, kesucian, dan kemakmuran upacara itu sendiri.
Di beranda Saren Daje (Gedong) – yakni sebuah bangunan yang disediakan untuk Penglingsir Puri, di mana di dalamnya terdapat ruang suci yang biasanya dipakai untuk menyimpan pusaka-pusaka puri, dan kadang sebagai ruang pingit pengantin – Ida Ayu mengisahkan perjalanan cinta dan perhiasan yang dimilikinya. Meski usianya sudah menginjak angka 78 tahun, Ida Ayu tetaplah perempuan yang gesit. Bahkan hingga kini, ia masih mengurus seluruh bisnis keluarganya di Puri Raja Beach Hotel di Legian, Puri Banyuning sebagai Puri Wisata, dan Villa Dampati di Sanur.
Ia amat bersyukur karena kesungguhannya menyiapkan koleksi perhiasan untuk diwariskan di Puri Banyuning juga didukung oleh almarhum suami. Kebetulan pula, sang suami kerap memberinya hadiah perhiasan untuknya. Seperti yang dikenakannya siang itu. Beberapa perhiasan adalah koleksi pribadinya, seperti bros subang berdesain bunga dengan taburan batuan mulia, maupun cincin dengan satu mata blue sapphire dengan beberapa butir berlian yang menghiasi jemari tangan kanannya yang sudah dihias dengan nail art warna ungu beraksen bunga. Kemewahan ini benar-benar dihayati dalam kerendah hatian Ida Ayu.
Bisa jadi karena kesantunan Ida Ayu, Agung Gede Oka begitu mencintainya. Bahkan beberapa hari sebelum meninggal, sang suami sempat berucap, seperti dituturkan oleh menantu Ida Ayu yang menunggui sepanjang wawancara berlangsung, Lucy Agung, “Ajik (ayah) berkata, “saya akan mengajak Ibu ke Afrika, di sana saya akan membelikan Ibu berlian.” Meski janji ini tak sempat terlaksana, namun dalam pernyataan itu sangat terasa, ada cinta begitu besar yang terungkap di dalamnya. (Rustika Herlambang)
Make up artist: Carmelia. Fotografer: Yano Sumampow. Lokasi: Puri Banyuning.
Leave a Reply