Mengenang Simbol Kejayaan
“Pilu rasa hati ketika menatap foto-foto lama yang terpasang di Keraton Surakarta”
Derai gerimis kecil mengantar pertemuan dengan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari. Dahulu, kita mengenalnya sebagai Gusti Koes Murtiyah, dipanggil sebagai Gusti Mung, puteri mbalelo dari Keraton Surakarta Hadiningrat, karena kegigihan untuk membela tradisi yang seharusnya tetap dilestarikan di wilayah keraton. Suasana tampak sedikit mendung di sepanjang perjalanan dari ruang pertemuan menuju kraton Surakarta, di mana ia lahir 48 tahun lalu. “Anda akan mengerti keindahan dan kekayaan perhiasan milik kraton Surakarta dari sini,” ia membuka pembicaraan.
Meski warnanya sudah mulai kusam, pintu gerbang kraton masih menyisakan kejayaan di masa lalu ketika bangunan itu didirikan pertama kali di tahun 1744 oleh Sri Susuhunan Pakubuwono II. Dua abdi dalem yang mengenakan kemeja dan celana panjang (bukan baju abdi dalem) tampak membungkuk dan memberikan hormat ketika Gusti Mung memasuki pintu kraton Kori Kamandungan. Sebagai Kanjeng Ratu – putri dari Sri Susuhunan Pakubuwono XII – Gusti Mung berjalan melenggang dengan kepala tegak untuk tetap menjaga wibawa. Lantas membawa dewi menelusuri tempat-tempat yang menjadi kesehariannya di masa lalu, sebelum akhirnya dipinang oleh kekasihnya, Eddy Wirabumi (Kanjeng Pangeran Arya Wirabhumi)
Siang itu kraton terasa sunyi. Keheningan menyelinap. Lengang. Bangunan mewah itu hanya diisi oleh Gusti Mung dan putrinya Sedah Mirah, dan dewi. Ia membuka sandal, dan ditinggalkan di tempat bernama Sri Manganti. Lalu kembali menyusuri halaman luas bernama Kedhaton yang dirindangi oleh pohon-pohon sawo kecik. Tanahnya berupa pasir yang seolah basah dan lembut ketika menempel di telapak kaki – adalah pasir dari pantai laut selatan – supaya selalu mengingatkan pada Ratu Pantai Selatan yang juga menjadi istri bagi para raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sembari berjalan, ia bercerita segala pengalamannya sebagai putri raja yang tinggal di dalam tembok kraton secara detail. Seluruh kisahnya amat menarik, penuh suka, banyak pula duka, perpaduan antara intrik politik, kemewahan, keseharian, hingga cerita para hantu yang mengingatkan pada novel Harry Potter. Rasanya, tak selesai dalam semalam untuk mengisahkannya.
Sepanjang lorong, berbagai lukisan lama digantungkan di dinding. Lukisan itu berisi gambar para raja dan permaisuri dengan berbagai busana kebesaran. Salah satunya adalah Ratu Hemas, putri Hamengkubuwono I yang dijodohkan dengan Pakubuwono X, yang diharapkan dapat memersatukan kembali kasunanan Surakarta dan kasultanan Yogyakarta. Usianya masih 16 tahun ketika dipersunting sebagai permaisuri oleh raja berumur 60 tahun tersebut. Dia mengenakan busana kebaya pendek dengan selempang dan bintang penghargaan. Sepasang subang, kalung berbatu giok, serta gelang, melengkapi busananya. Pada jari telunjuk, jari manis, dan jari kelingking masing-masing dipasang cincin batu giok dan berlian.
Berbagai perhiasan tersebut masih terpasang di foto-foto dengan indahnya. Sinar berlian, kekuatan batu dan warna, serta desainnya yang elok benar-benar mengagumkan mata. “Tapi sayang, semua itu hanya tinggal kenangan,” tandas Gusti Mung. Seharusnya, perhiasan-perhiasan tersebut merupakan warisan kraton Surakarta yang harus dilestarikan. “Namanya, Ageman Keprabon. Siapapun (dari keluarga raja) berhak mengenakan, tapi bukan memiliki, Bahkan raja ataupun permaisuri,” keluh Gusti Mung, sembari menceritakan bahwa perhiasan keraton itu sudah berpindah tangan karena dijual oleh oknum-oknum dari dalam kraton itu sendiri.
Dahulu kala, Ageman Keprabon yang berupa busana dan perhiasan dibawa (disimpan atau dirawat) oleh permaisuri raja. Bila ada acara kenegaraan maka seluruh putra-putri raja menuju ke sana dan langsung diberikan perhiasan untuk dikenakan sesuai dengan usia, kedudukan, dan upacara yang berlangsung. Terakhir kali Ageman Keprabon berada di dalam kraton, namun setelah kraton terbakar pada tahun 1984, perhiasan itu dititipkan pada salah satu putri raja karena raja tak memiliki permaisuri. “Tapi sekarang ada enam koper perhiasan hilang,” gusar Gusti Mung. Ia sendiri tak memiliki perhiasan warisan kraton. Beberapa yang dimiliki adalah koleksi pribadi, beberapa di antaranya diberikan oleh sang bunda, Pradopo Ningrum.
Setelah berkeliling kraton, Gusti Mung mengajak mampir Keputren. Di tempat inilah ia dilahirkan dan dibesarkan dengan penuh cerita suka duka – dan terutama mengenai perhiasan yang dimiliki dan dikenakannya. Rumah itu besar dengan beranda luas yang rindang. Bentuknya memanjang dengan lorong panjang. Di lorong itulah terletak pintu-pintu.masing-masing kediaman istri-istri Sinuwun. Sebanyak lima istri dengan 35 anak tinggal di sini. Beberapa hari sekali masing-masing keluarga melayani Raja di kediaman. Bergantian sesuai jadwal.
Namun kadang kala, Sinuwun lupa belum memberikan gaji bulanan pada setiap istrinya. Atas alasan tersebut, di masa kecil Gusti Mung sering disuruh oleh Ibunya untuk meminta uang pada bapaknya. Ia selalu diberi upah bila berhasil membawa pulang uang gaji Ibunya. “Tapi setiap kali mendapat upah, Ibu selalu mengatakan, daripada membeli baju, lebih baik membeli perhiasan,” kenang Gusti Mung, suaranya terdengar serak. Jadilah upah yang dikumpulkan tersebut menjadi sebuah perhiasan kecil seperti cincin.
Lalu, sebuah kenangan tentang perhiasan kembali menggenang. Ketika sedang santai dan melihat putri-putrinya mulai beranjak dewasa, sang Ibu mengatakan pada Sinuwun, bahwa sudah saatnya mereka diberikan ageman (perhiasan). Oleh sang ayah, permintaan tersebut disanggupi. Keesokan harinya, salah satu kakak kandung Gusti Mung mengambil janji tersebut. Sang ayah memberikannya sebuah emas batangan – yang lantas disembunyikan dalam (maaf) celana dalam untuk dibawa pulang supaya tidak menimbulkan kecemburuan pada anak-anak dari istri yang lain. Sang ibu lantas melebur emas tersebut menjadi beberapa perhiasan untuk diberikan pada anak-anaknya.
Ketika suatu kali perhiasan baru itu dipakai, anak-anak dari ibu yang lain menanyakan asal-usul perhiasan pada sang ayah. Sayangnya, sang ayah menyanggah – mungkin atas nama keadilan. Tapi akibatnya, istri Sinuwun yang lain beserta anak-anaknya menuju ke depan pintu kediaman mereka, sambil berteriak-teriak: “Maling, maling !!” Gusti Mung tersenyum kembali mengingat semua hal yang telah lalu. Ia belajar benar dari kehidupan di kraton. Salah satu perhiasan itu masih disimpannya hingga kini. “Sekarang peninggalan dari Ibu tinggal anting dan cincin. Dari bapak, saya pernah dapat gelang ular.”
“Dalam tradisi dan adat kraton, perhiasan adalah sebuah simbol. Ia tidak hanya mewakili kemewahan,” Gusti Mung kembali membuka cerita. Perhiasan untuk anak gadis dan perempuan dewasa, menikah, atau tidak menikah masing-masing berbeda. Tidak boleh dicampur adukkan. Misalnya saja, anak gadis tidak boleh mengenakan perhiasan Cunduk Kembang. Seorang janda raja yang tidak ingin menikah, hanya boleh mengenakan bros dan cincin. Sementara janda raja yang masih ingin menikah, ia harus mengenakan subang. “Ini artinya, kalau dia sudah tak memakai subang, dia sudah tak boleh diganggu. Ini kan simbol etika dan moral di kerajaan yang menjadi pedoman masyarakat. Tanpa banyak bicara, masyarakat sudah tahu siapa yang mereka temui hanya berdasarkan perhiasan (dan busana) yang mereka kenakan,” tambah Gusti Mung.
Perhiasan juga menjadi sebuah petanda atau firasat. Keluarganya sangat mempercayainya. Pernah suatu kali Gusti Mung sedih karena mata cincin kesayangannya hilang. Padahal cincin itu diletakkan dalam almari penyimpan. Saat itulah sang Ibu berkata, bahwa mata cincin yang hilang itu memberi petanda bahwa ada orang yang dekat dengannya akan meninggal. Sayangnya, orang terdekat tersebut adalah ibu kandungnya sendiri, dan perbincangan itu menjadi perbincangan yang terakhir. “Saya pernah melarang seorang teman mengenakan cincin yang matanya hilang. Dia tak percaya. Beberapa hari kemudian kakak kandungnya meninggal tanpa sakit. Antara percaya dan tak percaya, tapi hal itu terjadi,” ungkapnya.
Lalu ketika pertemuan ini berlanjut keesokan harinya di kediaman Gusti Mung, ia memperlihatkan berbagai koleksi perhiasan miliknya. Beberapa ia pinjam dari saudara-saudaranya yang lain. Setumpuk album kuno yang berisi foto-foto keraton Solo di masa kejayaan dari tahun 1800-an hingga 1945 disiapkan di atas meja. Ia kembali mengisahkan satu persatu perhiasan yang dikenakan oleh para ratu-ratu dan anak-anak raja – yang seharusnya seluruh perhiasan itu masih ada sebagai Ageman Keprabon. “Itulah, saya selalu pilu kalau melihat foto-foto masa lalu. Perhiasan itu benar-benar hanya tinggal cerita tentang sebuah kenangan kejayaan Kraton Surakarta Hadiningrat.” Mata Gusti Mung menerawang. Ia sedang bermimpi, suatu saat Ageman Keprabon itu kembali ke “rumahnya” sendiri. (Rustika Herlambang)
Fotografer: Ferdy Adrian.
bedanya kerajaan di Jawa khususnya dengan bbrp kerajaan Eropa adalah mengenai profesionalitas dalam mengelola asetnya. Kerajaan jawa kurang memiliki data terutama tentang kekayaan, aset. andaikan tercatat tp tidak diperbaharui sesuai dengan ketentuan sekarang (sesuai UU / peraturan) di NKRI, jadi banyak tanah swapraja yang sengketa, perhiasan tidak tahu kemana, pusaka kerajaan juga tidak tahu kemana…akhirnya “pribadi maling/Oknum” yang diuntungkan.
Banyak tanah keraton diserobot (Mis : PG Colomadu) yang akhirnya merugikan keraton. andaikan bisa dikelola asetnya dengan baik pasti akan memberikan benefit utk keraton (entah besar/kecil) dan mungkin bisa membantu keraton untuk merawat dirinya sendiri
tapi memang perubahan jaman tidak bisa dilawan oleh keraton2 yang ada, tapi Keraton Solo tetap ada dan eksis sampai dengan sekarang meskipun sesuai dengan ramalan “mung sak megare payung”
(Agus – lahir dan besar di Solo, sekarang domisili Surabaya)