Nyanyi Sunyi Nasirun
Maka kini kita akan mengerti mengapa Nasirun menikmati hidup dan terus “bertapa”
Maafkan. Kali ini Nasirun tak tertawa. Ia sedang bercerita tentang masa lampaunya. Ia bahkan lebih banyak diam. Suaranya serak. Kepulan asap rokoknya lebih banyak. Nafasnya memberat. Nasirun, 45 tahun, seniman kontemporer yang juga sufi itu, tampak mempertimbangkan segala hal yang akan diungkapnya. Mungkin ini aib, ujarnya. Tapi dari peristiwa inilah segala perjalanan artistik kehidupan yang membentuk karakter dan kepribadiannya dimulai. “Mungkin saya punya selera humor. Slengekan. Tapi semua itu saya lakukan untuk menutup masa lampau saya. Saya tidak ingin merasa kecil ketika melihat orang besar, dan tidak merasa besar ketika melihat orang kecil.”
Baru kali ini melihat Nasirun tanpa tawanya yang khas, bebas, merdeka, yang tak pernah lepas dari dirinya. Perbincangan ini terjadi di siang hari – waktu yang biasanya digunakan mengaso secara teratur – di kediamannya yang asri di Yogyakarta. Semalam, ia mengadakan pameran tunggal pelukis Soenarto PR, sebagai wujud bakti pada seniornya. Sementara itu, setelah menyelesaikan pameran tunggal dan akbar Salam Bekti akhir 2009, ia menyelesaikan 1200 karya kecil (rencana dipamerkan tunggal menyambut ulang tahunnya yang ke-45 Oktober lalu, tapi gagal), serta 100 karya lain dalam satu tema. Saat ini beberapa karyanya sedang dipamerkan di Jakarta, Yogyakarta, dan Shanghai.
“Saya tidak bisa membayangkan kini,” ia memecah keheningan. “Saya pergi dari rumah dengan membawa daun pintu, satu-satunya harta berharga di rumah, dan meninggalkan ibu saya yang janda tua berada di sana,” ia mengenang suatu peristiwa di tahun 1983. Ibu, yang harus membesarkan ketujuh anak sendirian setelah suaminya meninggal waktu Nasirun, anak ke enam, masih sangat kecil, harus bekerja keras sebagai buruh tani di Cilacap, Jawa Tengah. “Yang perlu diingat, ada pesan moral luar biasa waktu itu, yakni hak sebagai anak, semoga tidak dikategorikan durhaka, saya menuntut hak ingin sekolah tapi tak ada dana.”
“Saya ingin melakukan pendobrakan,” ia ungkapkan alasannya. Kelima kakaknya tak satupun tamat dari pendidikan dasar. Untuk mencapai keinginan sekolah, ia sudah bekerja sebagai buruh tani agar bisa menamatkan pendidikan madrasah tsanawiyah-nya. Waktu itu, ia rela berangkat sesudah adzan Subuh untuk bekerja sebelum menuju sekolah yang berjarak 6 kilometer dari rumahnya dengan berjalan kaki. Meski dalam fasilitas yang amat terbatas, Nasirun berkali-kali memenangkan kompetisi menggambar di tingkat karesidenan Banyumas. Untuk mendapat pendidikan lebih tinggi itulah ia menjual daun pintu itu seharga 70 ribu dan berkelana ke Yogyakarta. Pesan Ibu waktu itu,” Ya sudahlah, saya kasih saku berupa ucapan bismillah hirohman nirrohim yang tiada habis.” Nasirun langsung terdiam.
Magnet Yogya memang luar biasa. Tradisi adiluhung dan berbagai budaya yang begitu kaya menelusup dalam pikirannya. “Ada banyak stilisasi yang begitu indah. Ini kan seperti untuk mengasah relung-relung hati (ia tertawa sejenak) supaya indah,” ujarnya sambil malu-malu. Di sini, pemuda pesisiran ini lantas mengambil pendidikan jurusan kriya batik di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR). Sejak itulah intensitasnya pada dunia Jawa, lengkap dengan segala mitologinya, kisah Mahabarata, pewayangan, terekam dalam benaknya. Ia bekerja membatik dan membuat kartu ucapan. Baginya, adalah amat menyakitkan ketika menyadari tak ada apapun di atas meja makan. Pekerjaan itu terus dilakukan hingga tamat dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
“Dari kecil saya adalah pekerja keras. Tidak pernah mengeluh. Segala sesuatu saya garap dengan sangat serius. Saya celelekan itu kamuflase. Saya orang yang serius. Karena kalau tidak serius akan sangat melelahkan. Tidak intim. Tidak ada kasih sayang. Dengan adanya kasih sayang, ide itu mengalir. Deras!,” ia membuka rahasia energi yang muncul dari dalam dirinya. Kerja keras itu akhirnya mendapat balasan setimpal ketika karya lukisannya terjual pertama kali di tahun 1993. Sejak itulah namanya terus meroket.
Masa keemasannya terjadi di tahun 1997, ketika ia meraih penghargaan Philip Morris Award dan Mc Donald Award (Lustrum ISI X). Ibarat kanvas kosong dengan tanda tangan pun sudah dinanti peminat. Saat ini pula ia diterpa isu yang tak popular: harga digoreng. Tapi Nasirun seperti tak “peduli”. Baginya berkarya adalah bekerja. Bekerja adalah nafas hidup, seperti jantung untuk tubuhnya. Ia terus menggali kemampuan dalam diri, tak tergantung galeri, berkarya sesuai hati nurani. Ia pernah menolak keinginan galeri agar tidak melukis dengan format besar. Tapi Nasirun kukuh dengan pendapatnya, sedang senang melukis dengan format besar dan akan terus dengan apa yang diyakini. (Belakangan hal itu dilakukan sebagai strategi untuk mengerem keinginan pasar yang luar biasa. Diam-diam ia pandai berstrategi demi menjaga kualitas karya dan harga.)
“Dia adalah seniman tulen, baik hati, dermawan, dan tidak komersial. Simpatik dalam pergaulan. Lukisannya mempunyai ciri khas Jawa dan karakter yang kuat, menguasai teknik, kreatif, dan ekspresif. Detailnya bagus, sehingga ada unsur dekoratif di dalamnya. Menurut saya, ia adalah penjelmaan Affandi, Hendra, Sudjojono, dan Widayat sekaligus,“ ujar Oie Hong Djien, kolektor seni rupa terbesar di Indonesia, sembari menegaskan bahwa Nasirun merupakan sosok cerdas tapi suka pura-pura bodoh. “Ia orang yang bahagia dan tak memiliki beban. Santai. Dikritik pun ia tetap tertawa dan tak diambil hati, tak marah, atau tersinggung. Saya kira itu salah satu bekal kesuksesannya.”
Dengan lagak malu-malu, sambil mengusap-usap hidungnya yang tidak berkeringat, menanggapi pernyataan tersebut, “Tentunya dampaknya besar saat ini, apakah itu dampak ekonomi ataupun popularitas, tapi hingga kini saya merasa masih berada di kumparan, beromantisme, dan bermesra-mesraan dengan masa lampau. Ini tidak ada sensasi. Memang saya menikmati masa lampau ini belum tuntas,“ ujarnya.
“Lukisan-lukisan saya seperti bentuk-bentuk masa lampau yang romantik itu. Inilah lorong-lorong dalam kehidupan saya sebenarnya,” ia menunjukkan kanvas-kanvas yang bercerita tentang mitologi Jawa, pewayangan, dan dunia spiritualitas sufistik – sesuatu yang amat dekat dengan kehidupannya – yang ditarik dalam nafas kekinian. Ia menjadikan masa lampau yang nostalgis tersebut sebagai mata air ide untuk seluruh karya. Di setiap karya pula ia meninggalkan jejak perenungan, hasil percakapan antara tradisi asal, dengan dirinya, dan lingkungan masa yang kini dimasukinya.
“Cerita Ibu tentang Bapak cukup memengaruhi lukisan saya yang naratif. Saya tak ingat wajah Bapak, tak pernah melihat potret beliau, tapi saya tahu muridnya banyak. Aduh, jangan ditanya tentang Bapak, saya tak kuat nanti,” ia tiba-tiba teringat almarhum sang ayah yang dahulu sering membaiat seorang toreqot (orang yang berdzikir dalam sufi).
“Semua karya saya ada kecenderungan ke sufi. Mungkin orang bilang mitos. Tapi saya menyebutnya tasawuf, karena ada pembacaan kesadaran untuk mengapresiasi apakah keindahan atau kebhinekaan, begitu banyaknya ide atau alam wajib dibaca, dicerna, direnungkan, sebagai sunatullah untuk mengiyakan bahwa Tuhan Maha Besar — weeit cilaka… Kayak Pak Haji nih.. ha ha ha.” Keadaan ini mengembalikan Nasirun pada kondisi normal: penuh tawa dan periang. Tubuhnya yang perkasa itu selalu malu-malu dan tak percaya diri bila membicarakan hal yang serius.
Begitulah, ia memang tak pernah “berubah”, meski kenyamanan finansial sudah diperolehnya sejak lama. Ia lebih suka tinggal di “surau”-nya kini: sebuah rumah yang dilengkapi dengan aneka tanaman di mana ia bisa belajar tentang keindahan.“Saya bisa melupakan ponsel, tak pernah ke mall, tapi tidak bisa melupakan tanaman. Ada pesona yang tak bisa hilang,”ujarnya terus terang.
“Bagi saya, keindahan kodrati itu ada kesadaran bahwa alam adalah perpustakaan Tuhan. Rak-rak pengetahuan yang ada di muka bumi di mana manusia harus membacanya. Bahkan saya yakin itulah kitabullah yang tak pernah terjilid,” katanya serius.
Ia sendiri tak pernah bisa berhenti belajar. Ia berguru pada Fajar Sidik, salah satu perupa yang meletakkan seni modern di Indonesia, dan Tulus Warsito mengenai batik. Ia pernah pula keliling Eropa dan Amerika, bersama OHD, untuk membuka wawasan seni modern di dunia luar. Di rumahnya sendiri, kolektor dan teman-temannya banyak, dan ia menyerap setiap pengetahuan yang ada. “Aku sebenernya ingin berhenti melukis sejenak di tahun 2011, mau kursus Bahasa Inggris, tapi malah agenda pameran penuh,” katanya kecewa.
“Hati-hati ya, dilarang jatuh cinta,” ujarnya tiba-tiba saat memperlihatkan karya terbarunya yang lain. Memang kenapa kalau jatuh cinta? Tawanya langsung lepas kendali. “Aku nggak bisa melepaskannya. Ha ha ha..” ini artinya, ia tidak akan melepas karya itu ke pasar – hal yang tak jarang terjadi pada dirinya sendiri: mencintai karyanya. Sesekali pula ia mempersembahkan kreasinya suka rela pada sosok yang dihormati. Hatinya lebih banyak bicara. Atas nama cinta pula ia memersiapkan museum khusus untuk senior-seniornya, dan tak pelit membantu seniman-seniman muda.
Lalu bagaimana bila jatuh cinta pada seorang perempuan? Ia tertawa terbahak-bahak. Romantisme cinta rupanya juga dimiliki. Di antara beberapa kisah kasihnya, Nasirun akhirnya memilih Illah. Pesona lokalitas dan orisinalitas pada karya ternyata berpengaruh pada pilihan perempuan yang menjadi pendampingnya. Kesederhanaan Illah membuat ia terus merasa berjuang untuk kebahagiaan keluarganya. “Ini membuat saya seperti merasa bahwa perjuangan tidak pernah selesai,” Nasirun, kini menjadi bapak untuk ketiga anaknya.
Kini, ketika apa yang dibayangkan sudah ada dalam genggaman, apa rencananya kemudian? “Pembatasan melukis di masa kecil menjadi anugerah dari Tuhan. Dampaknya kini amat mengejutkan. Tak pernah terpikirkan sama sekali. Sampai saat ini, saya merasa masih berada dalam lingkaran misteri-misteri. Ke depan, saya tak pernah tahu,”ia diam sejenak. “Namun bukan bermaksud mendahului kehendak Tuhan. Tapi kelak suatu saat, rabaan saya, saya berkesenian akan menjadi sunyi.” Dan sunyi adalah salah satu nafas sufi. Kisah Kidung Rumekso Ing Wengi yang sedari tadi dibicarakan seperti kembali dihadirkan. Maka di malam menjelang akhir pertemuan, udara Yogya jadi terasa lebih dingin. Menggigit. (Rustika Herlambang)
Fotografer: Wahyu Tantra. Stylist: Quartini Sari. Lokasi: Kediaman NAsirun
Leave a Reply