Bintang dari Timur
Ia menikmati hidup bak terhampar di lautan luas di mana ia harus tetap mengembangkan layar dan terus berselancar dalam gelombang.
Pertumbuhan bisnis grup Bosowa yang melesat cepat beberapa waktu terakhir ini tak bisa dilepaskan dari nama Erwin Aksa (35). Chief Executive Officer (CEO) muda ini berhasil membawa perusahaan yang didirikan oleh ayahnya, Aksa Mahmud, empat dekade lalu dengan gemilang di bawah kepemimpinannya. Jelas, untuk meneruskan dan mengembangkan sebuah usaha keluarga yang sudah memiliki sistem yang mapan sebelumnya, bukanlah hal yang mudah. Namun dengan pengetahuan dan kerendahatiannya, Erwin berhasil membawa bahtera bisnis keluarga yang berbasis di daerah Sulawesi Selatan itu menuju level nasional.
Erwin yang mendapat kepercayaan memegang penuh kepemimpinan grup Bosowa (Bosowa Corporation) tahun 2004, mampu meningkatkan asset grup dari 3 trilyun menjadi 6 trilyun dalam waktu empat tahun. Padahal ketika itu usianya baru menginjak 29 tahun, dan ia harus membawahi enam ribu karyawan dari enam bidang usaha: semen, otomotif, properti, finansial, infrastruktur, dan pertambangan. Rekan pengusaha, Sandiaga Uno memuji Erwin sebagai anak yang besar di daerah namun bisa naik kelas dan beradaptasi di level nasional percaturan bisnis di Indonesia. “Sebagai pengusaha, dia tajam intuisi, cepat membaca situasi. Pandai memilah risiko, berani bertindak dan mengambil keputusan. Lihat saja pengembangan bisnis Bosowa. Sekarang menjadi pemain infrastruktur besar di bawah kendali Erwin. Ini sangat membanggakan.”
Selain mengurus bisnis keluarga, Erwin kini juga diserahi tanggung jawab sebagai Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) – sebuah organisasi yang ternyata didirikan salah satunya oleh ayahnya, Aksa Mahmud. Mengenal Erwin sebagai sosok yang mengemban penuh tanggung jawab dan cukup perfeksionis, berbagai kesibukan ini cukup menyita sebagian besar waktunya. Itu sebabnya, perbincangan dilangsungkan cukup singkat di ruang meeting yang disediakan khusus oleh Erwin untuk ayahnya menerima tamu, tapi tidak untuk memutuskan urusan perusahaan yang kini ada di tangannya. Mungkin karena kebiasaan berbinis, bahasa yang digunakan Erwin sangat formal dan nada suara objektif. Tatapan mata hingga gestur tubuhnya pun seolah tertata rapi dan teratur.
Barangkali karena itu agak sulit menggali perasaan terdalam Erwin. Ia hanya tertawa kecil ketika pertanyaan sudah mengarah pada soal-soal yang menyentuh perasaannya. “Nggak ada yang dibanggakan dari diri saya. Semuanya mengalir begitu saja,”ujarnya mengelak. Untunglah ada sang ayah yang sudi bercerita tentang perjalanan masa kecil Erwin, yang rupanya berpengaruh besar dalam pendidikan karakter diri – entah disadari atau tidak. Sementara itu, Erwin justru sangat menikmati perjalanan hidupnya sebagai sebuah eksotika, sebuah takdir yang harus dijalani sebagai anak lelaki, sulung dari 5 bersaudara, dari sebuah keluarga saudagar Bugis berjaya pada masa ia dilahirkan 35 tahun lalu di Makasar.
Dalam dirinya, ada peran sang Ibu yang memilih sebagai ibu rumah tangga, mengajari dalam urusan kesehatan, agama, berbagai norma bersikap sebagai lelaki dan menghormati perempuan. Sementara ayahnya bertekad untuk memersiapkan dirinya sebagai penerus perusahaan keluarga, mendidik dengan sangat tegas dan disiplin. Khususnya dalam hal pendidikan dan mengeluarkan potensi yang ada, demi menggali kematangan emosional pada dirinya.
Pendidikan pertama berasal dari laut. Sebagai anak Bugis, ia harus mencintai laut, sehingga filosofi pelaut Bugis lebih baik patah layar sebelum sampai, daripada patah haluan sebelum berangkat bisa lebih dihayati. Ia lantas memelajari olah raga jet ski dan selancar angin hingga membawanya menjadi salah satu atlit muda di daerahnya. Dalam hal ini ia diajarkan berani mengambil risiko dan menjaga keseimbangan di tengah ombak yang acap memecah tak beraturan. Ia juga dibiasakan berada dalam sebuah kompetisi – sebuah dasar penting bagi seorang pengusaha. “Kebiasaan ini melatih kita berhadapan dengan alam, membangun sikap dan kepribadian lebih bijak. Alam mudah berubah, kita tak boleh menyombongkan diri.”
Sejak kecil, ia dibiasakan berdiskusi, khususnya dalam bisnis. Setiap liburan, ia diajak ayahnya ke berbagai pertemuan bisnis di berbagai negara. Sesekali dititipkan pada kawan ayahnya di Singapura, sembari belajar bahasa Inggris. Kadang-kadang, ia harus “masuk” kantor seperti staf lainnya. Bila Ramadan tiba, ia harus masuk pesantren selama 15 hari, sebelum akhirnya bergabung dengan keluarganya. Tumbuh dan besar dalam lingkungan seperti itu membuat ia semakin menyadari arti penting kehadirannya bagi kelangsungan bahtera bisnis keluarganya. Akhirnya, hanya cita-cita menjadi pengusaha saja yang ada di pikirannya. “Dan kebetulan, saya juga menyukainya. Tantangan seperti ini sepertinya membuat saya lebih hidup,” ia tertawa.
Demi pendidikan yang lebih baik, ia melanjutkan pendidikan menengah atasnya di Bandung. Ini artinya, ia harus meninggalkan “kemewahan” bersama keluarga, dan mulai hidup sendiri di rantau. Kali ini sang ayah tidak memanjakannya. Ia pun tinggal di kos, sekamar dengan empat teman lainnya, naik angkutan umum menuju sekolah, dan merasakan menjadi masyarakat kebanyakan – hal yang amat langka dialami olehnya. Setiap bulan ia “digaji” pas-pasan dan harus melaporkan keuangannya secara detail untuk ayahnya. “Di sini saya bisa memosisikan diri bukan orang yang spesial. Penting buat saya bisa menjalani hidup seperti ini,” katanya. Dua tahun kemudian sang ayah mengirimkan mobil untuknya sebagai sarana pergaulan. Ia harus memiliki pergaulan yang baik, karena bisnis adalah pergaulan, kata Aksa. Alasan ini pula yang menyebabkan Erwin kemudian meneruskan kuliah di Amerika, University of Pittsburg, Pennsylvania.
Seluruh perkembangan yang terjadi setiap minggu dibicarakan bersama sang Ayah. Sejak duduk di bangku SMA, Aksa selalu menelpon Erwin, untuk menanyakan berbagai hal yang terjadi pada dirinya, dan sebaliknya. Kisah mengenai perusahaan keluarga tidak pernah lepas dari perbincangan itu, sehingga sebagai penerus Erwin tahu benar apa yang terjadi dengan bisnis keluarganya dari hari ke hari secara intensif. Belakangan, ia sudah berani mengkritik kepemimpinan ayahnya ketika mempraktekkan teori yang didapatkan di bangku kuliah. Tak jarang ayahnya yang sudah mengalami asam garam dunia bisnis di Indonesia itu memberikan argumentasi – hingga kelak ia mengerti bahwa dunia bisnis di Indonesia sangat unik, tidak selalu bisa dipraktekkan melalui teori bisnis yang dipelajarinya secara formal.
Pulang dari Amerika, ia tidak langsung memimpin perusahaan keluarga seperti banyak putra mahkota lainnya. Ia harus bekerja, mulai dari awal, sebagai karyawan di dealer mobil Mitsubihi di Makasar. Memaksa diri melakukan hal yang tidak ingin ia lakukan adalah bagian dari melatih diri sendiri, suatu prinsip yang ditegakkan sang ayah. Selama itu, hubungan pembelajaran terus berlangsung. Kali ini ditambah dengan kesadaran bahwa ia harus bisa mengatur saudara-saudaranya. “Memang berat, karena saya harus menjadi contoh figur yang kuat dan harus menjadi orang yang bijak. Tapi ini sebuah amanah, ada kepercayaan, dan saya punya tanggung jawab tinggi untuk menjaga kepercayaan itu.”
Di luar itu, ayahnya juga meminta ia untuk menjadi pengurus organisasi olah raga. Ia pernah menjadi manajer klub sepak bola Makasar (PSM) – di mana pada masa kepemimpinannya klub ini berkibar di posisi pertama dan kedua tingkat nasional – dan Ketua Persatuan Tinju Nasional (Pertina) Sulawesi Selatan (2003-2008). Pada saat ini, ia ditempa untuk berada dalam sebuah lingkungan di mana dibutuhkan kemampuan dan tanggung jawab untuk mengatur sebuah organisasi. Tak jarang ia menerima berbagai kenyataan pahit, misalnya dimaki karena kalah bertanding, atau menghadapi nepotisme yang sudah menggurita.
Di usia relatif muda, 29 tahun, ia menerima tampuk kepemimpinan perusahaan keluarga. Tapi syaratnya, ia harus bisa melipatgandakan yang sudah ada. “Kalau Bapak hanya bangun jalan tol, kau harus minimal lima, karena kau lima bersaudara,” pesan sang ayah masih terkenang yang dijawabnya dengan optimis. Rencana ke depan, ia ingin membawa bahtera kapal perusahaannya menjadi bagian dari pelaku ekonomi yang strategis di negara ini, terutama melalui bisnis infrastruktur yang menjadi fokusnya.
“Memang ada yang harus kita tinggalkan, berbagai hal yang bagi orang seumuran saya atau generasi saya biasa lakukan, hal-hal yang membuat kesenangan tertentu yang terpaksa harus saya tanggalkan karena tugas yang lebih berat,” tukasnya menjawab mengenai konsekuensi yang diembannya. Kesenangan ini antara lain karena terbatasnya waktu yang dimilikinya bersama keluarga atau teman-teman, dibanding rekan seusianya. Ia mengaku tak bisa hura-hura, karena memang tak ada waktu tersisa. Mungkin karena itu ia terlihat 10 tahun lebih matang dibanding usianya, seperti dikatakan rekan sesama pengusaha, Sandiaga Uno.
“Dulu saya sempat di arena balap untuk menyalurkan kesenangan. Tapi hanya berlangsung dua tahun. Saya tak ada waktu. Tapi kini, adik-adik saya meneruskannya,” ia tersenyum lagi, mengenang tahun 1998-2000 ketika ia masih aktif di ajang balap – yang sayangnya ketika itu kondisinya sedang turun karena krisis ekonomi. Maka bisa dipahami bila kini ia menjadi pendukung utama untuk kedua adik lelakinya yang terjun di balap rally nasional: Sadikin Aksa dan Subhan Aksa. Nada bicaranya masih saja formal. “Untunglah ada traveling. Saya suka traveling,” ujarnya cepat-cepat. “Di setiap negara baru, saya selalu mencari peluang untuk dikembangkan,” sebuah pernyataan yang kembali bermuara pada bisnisnya – atau memang pekerjaan adalah hobinya? ”Kesukaan saya: bertemu dengan orang dari luar, bisa menambah pengetahuan. Ide baru, Wisdom baru. “
Dengan kesibukan seperti itu, perempuan seperti apakah yang menaklukkan hatinya? Ia tiba-tiba bisa tertawa terbahak-bahak. Lepas sudah keformalan yang ada sebelumnya. Sembari tergelak ia berkata,”Lihat saja istri saya. Ia orang yang sederhana, bijaksana, intuisi wawasan luas. Mungkin tidak banyak pria seusia saya yang sesibuk saya, karena itu, saya membutuhkan perempuan yang sangat bijak.” Ia terlihat bahagia mengisahkan Andi Fatmawati Manggabarani, putri dari Wakil Kepala Polisi Republik Indonesia, Jusuf Manggabarani, yang menjadi ibu dari ketiga anaknya.
“Saya pikir, saya merasa beruntung dengan segala hal yang telah diberikan pada saya,” katanya santai. Yang dimaksud keberuntungan ini adalah percepatan waktu yang diterima. Ia mencontohkan bagaimana ia mendapatkan tanggung jawab di HIPMI pada usia 33 tahun (biasanya usia 36-37 tahun), mendapatkan tanggung jawab penuh memegang perusahaan pada usia 29 tahun, dan meminang istri di usia 26 tahun. Rasa lelah dari perjuangannya di masa lalu seperti menguap memahami berbagai hal yang telah diterimanya kini. Belum genap empat puluh tahun, ia sepertinya sudah mendapatkan apa yang pernah dibayangkannya. Maka ke depan, ia harus bisa membawa nahkoda bisnis keluarganya menuju tempat yang lebih baik lagi, seperti yang dijanjikan pada ayahnya. (Rustika Herlambang)
Baginya, setiap pengalaman adalah pelajaran penting dalam kehidupannya.
salut untuk Erwin Aksa yang dalam usia semuda itu, telah berhasil mencapai hal-hal yang telah dia dapatkan sekarang..Tentu itu didapat dengan perjuangan dan kerja keras..karena itu saya yakin, Erwin Aksa adalah sosok yang paling tepat untuk memimpin PSSI…Dukung Erwin Aksa sebagai Ketum PSSI
selamat buat bung erwin, itu semua karena ada nilai-nilai keluarga yang kuat sehingga dapat meraih sukses dengan gemilang