Melati untuk Ibu
Pengabdian, kepasrahan, dan totalitas berkarya adalah tiga kata kunci keberhasilannya
Runi Palar mencium kembali bunga kamboja kuning yang dipungutnya dari tempatnya berpijak. Sesuatu telah membuatnya terkenang, sehingga buliran air mata tiba-tiba mengaliri pipinya yang segar usai berdandan. Suasana serasa dalam sebuah adegan drama. Bayangan pepohonan jatuh dengan hangat di sebagian pipi dan seluruh halaman. Ia berdiri di tengah-tengah rumah tinggalnya dengan Runa House of Design dan Museum –tempat ia meletakkan karya-karyanya, di depan kolam teratai yang berbunga, di antara kebun penuh tanaman lokal yang begitu asri dan bebungaan yang ditata rapi. “Saya rindu Ibu. Kalau saya sedang senang, saya selalu mengingat Ibu,” ujarnya.
Pertemuan ini terjadi di Lodtunduh, Ubud, Gianyar, Bali. Runi baru saja kembali dari perjalanannya membawa rombongan berkeliling Jepang. Namun kali ini misinya bukan untuk mempresentasikan tren dua kali dalam setahun seperti rutinitas yang sudah dijalani selama 9 tahun terakhir. Ia mendapat kepercayaan dari pusat perbelanjaan Isetan untuk menggelar pameran Modern Bali Style 2010, di mana ia bertanggung jawab untuk membawa produk-produk terbaik Indonesia. Seperti diketahui, eksistensi Runi sebagai desainer perak ikonik Indonesia sudah diakui. Butiknya tersebar di Bandung, Bali, dan Yogyakarta. Sementara di Jepang, Amerika, Singapura, dan Hongkong, Anda bisa menemukannya di ritel-ritel butik eksklusif.
Percakapan tentang bunga selalu membawa kenangan pada sang ibu, R. Ngt. Sumiyati Soenandar, yang meninggal di usia relatif muda, 51 tahun. Dari ibunya, ia mencintai bunga – sesuatu yang tak pernah bisa lepas dari dirinya hingga kini. Di halaman rumah, setiap ruangan, hingga di gelung rambutnya, ia selalu meletakkan bunga segar diambil dari halaman rumahnya dan dirangkai dengan apik. Hingga semalam, ia merangkai sendiri bunga-bunganya, memastikan bahwa semuanya sudah bagus dan siap untuk menerima kedatangan tetamu, dan ditemani musik klasik yang tiada berhenti di ruangan itu. Namun sore itu, ia rindu bunga melati. “Saya paling suka melati. Diuntai bagus, dibuat sisir indah, wanginya tidak membosankan. Dulu Ibu selalu meletakkannya di dalam kain batik yang sudah diwiru, dan dipukul-pukul, sehingga wanginya bertahan lama.”
Ia lantas mendesah. “Saya rasa, banyak sifat saya yang menurun dari Ibu. Dan dari Ibu, saya belajar untuk bertahan dalam segala keadaan,” katanya dengan suara serak. Sifat yang dimaksud tersebut adalah sikap “ngawulo”, yakni mengabdi dengan penuh kepasrahan pada sang suami – sebuah situasi yang terasakan benar dalam keseharian Runi dan suaminya, Adriaan Palar, meski dalam bentuk yang berbeda. Ayahnya, RS Tjokrosoeroso, bekerja untuk keraton Yogyakarta, sebagai ahli kerajinan perak bakar, juga merupakan orang Indonesia pertama yang memamerkan keahliannya di San Fransisco Amerika pada tahun 1938. Namun hubungan antara ayah dan anak tersebut dipisahkan oleh sebuah tradisi yang berjarak yang jamak pada masa itu. Ia tidak pernah duduk satu meja makan dengan keluarganya. Setelah sang ibu melayani sang ayah di meja makan hingga selesai dan ayahnya duduk di kursi kebesarannya, barulah ibu anak-beranak itu makan bersama.
Namun pengalaman paling melekat adalah ketika ayahnya memberikan adik lelaki yang baru saja dilahirkan sang ibu kepada pakdenya (kakak lelaki dari pihak ayah) yang belum memiliki momongan. Di sini, ia belajar pada sang Ibu yang kaget namun pasrah terhadap keadaan, dan pada sang ayah, demi sebuah pengabdian: memberikan kebahagiaan untuk orang lain. Ia harus menjadi perempuan kuat, seperti namanya Sotjawaruni Kumala. Soca adalah mata kayu. Waruni, seperti daun waru yang berwujud hati. Runi kecil, anak ketiga dari 7 bersaudara itu, benar-benar harus pandai menjaga rahasia. Kondisi seperti inilah yang membesarkan Runi hingga menjadi perempuan Jawa superhalus – setidaknya menurut versi Adrian. Bahkan soal aktivitas pun ditentukan ayahnya: hanya boleh ikut menari di tempat empu menari – yakni GPH Tedjo Kusumo di Kraton Yogyakarta, dan kegiatan kepanduan.
“Meski pasrahan, sebenarnya saya adalah orang yang suka tantangan,” katanya kemudian. Ia mencontohkan ketika berkeinginan memasuki Sekolah Teknologi Menengah Atas (STMA), yang merupakan satu-satunya sekolah teknologi di Indonesia, di mana murid-muridnya hanya 1-2 dari setiap propinsi. “Ternyata, saya diterima. Di sekolah itu, saya belajar mengenai perbengkelan. Diajarkan mengelas. Mengasah kayu. Lucunya, setiap kayu pasahan saya selalu melengkung, seperti tarian. Ha ha ha, saya selalu ditertawakan oleh teman-teman,” ia tertawa.
Tantangan dalam dunia tari juga ditaklukkan. Ia menguasai setiap gerakan tarian Jawa klasik dengan pas. Dalam istilah lain, greget (taksu) kepenarian itu merasuk ke dalam dirinya. Itu sebabnya, selulus STMA, ia terpilih sebagai salah satu penari yang berkeliling dunia untuk memerkenalkan Indonesia melalui tarian klasik Jawa di Amerika dan Eropa. Ia pernah tampil menari di depan Ratu Juliana di Belanda dan pentas di Palais de Chailot, Paris.
Perjalanan itu ternyata berdampak pada wawasannya. Kesukaan akan fashion dan perhiasan sejak dia masih duduk di sekolah menengah mulai terasah. “Meski tinggal di Jogja, saya sudah senang mengenakan busana dengan warna oranye, merah, coklat, yakni warna-warya yang jarang dikenakan perempuan masa itu. Saya senang warna. Lalu soal perhiasan, walau ayah saya sangat mengagungkan karya tradisional klasik, saya suka yang modern dan simpel,” ujar Runi yang kini malah tertarik pada warna-warna bumi, setelah berkenalan dengan pasar Jepang. Sepulang keliling Amerika dan Eropa dengan menari, ia merasa bosan tinggal di kota yang membesarkannya itu. Pada sang ayah dia berkata ingin belajar tekstil di Institut Teknologi Tekstil (ITT) Bandung, di mana ia bertemu kembali dengan Adriaan, lelaki yang ditemuinya Paviliun Indonesia di New York.
Lagi-lagi jalan hidupnya seolah dituntun oleh “para lelaki”. Adriaan melamarnya. Waktu itu, ia tak yakin ayahnya yang konservatif mau menerima Adriaan yang jelas berbeda kultur. Namun perkiraannya meleset. “Bapak malah bilang, Mas Adri adalah orang yang mengerti saya. Mungkin karena indra keenamnya. Saya akhirnya pasrah, langsung menikah. Sebenarnya, saya belum siap..,” katanya dengan nada suara rendah. Usianya baru 21 tahun, dan dia baru saja berkeliling dunia menunjukkan eksistensinya. Ia harus berhenti sekolah, kemudian menikah, hamil, dan melahirkan anak pertamanya di Bandung, Miranda Risang Ayu.
Namun rasa sepi mengurung ia setelahnya. “Rasanya ada yang kurang, tapi apa? Apa karena saya tak bisa mengimbangi mas Adri?,” ia ungkap gundahnya. Sifatnya yang sangat tertutup membuatnya semakin tertekan. Hingga suatu kali ia sadar dan memutuskan untuk belajar. “Saya harus memperkaya diri supaya tahu banyak hal,” ucap Runi, yang ketika itu langsung belajar bahasa Belanda, Jerman, Perancis – demi melancarkan pembicaraan dengan keluarga suaminya. Ia juga mengambil pendidikan Sekolah Keluwesan dan Kepribadian Wanita, Sekolah Istri Bijaksana di bawah bimbingan Prof. Dr. Sikoen Pribadi, Spsi, agar ia bisa memahami orang lain. Berbagai kursus keterampilan seperti modiste diikuti supaya mengasah kemampuannya.
Hasilnya adalah ia bisa merintis bisnis sendiri di rumahnya. Ia pernah menjalani bisnis floris selama 3 tahun dengan senang hati. Ia pernah memiliki butik busana. Pernah membuat usaha pembuatan tas dan sepatu. Semua dicoba, berjalan, dan akhirnya diputuskan untuk ditutup. “Waktu itu ada yang bilang, bulu tak baik untuk kesehatan anak. Wah, saya langsung hentikan usaha saya. Saya tak ingin anak saya kena alergi,” ia menjelaskan alasannya. Lalu ia ingin menjadi koreografer tari, seperti panggilan nuraninya, tapi sang suami memberinya argumentasi.
“Terus apa dong?” ia memeragakan ketika berdebat dengan suaminya: wajahnya cemberut dan sedikit manja membuatnya tampak kekanak-kanakan. “Ayahmu ‘kan pernah bikin perak. Ayo bikin perhiasan,” Runi menirukan Adriaan, masih dengan wajah cemberut. Ia merasa tak nyaman, tidak berbakat, dan lagian ayahnya tak pernah sekalipun memberinya ilmu mengenai perak. Tapi, ia tak kuasa menolak. “Ya sudah, saya coba,” katanya lagi. Adriaan lantas mencarikan satu pekerja untuknya. Ia bertanya lagi, “Saya tak suka gaya Jawa. Lalu apa?,” Adriaan memberikannya ide: kalung sapi. (Bahkan saat wawancara berlangsung, hubungan yin dan yang ini terus terjadi. Adriaan dan Runi saling memberi masukan. Salah satunya mengenai angle pemotretan untuk Runi.)
Ketika perhiasan itu jadi, ia memamerkan pada tetangga-tetangganya. Tapi tak satupun mau membeli. “Mau dipakai ke mana kalung itu,” cerita Runi yang hampir frustasi. Lalu ia ingat ada ekspatriat yang tinggal di daerahnya. Sembari mempraktekkan kemampuan berbahasa Inggris, ia menawarkan kalungnya. “Wow bagus sekali…,” ia mengutip kata-kata perempuan bule yang membuatnya terperangah itu. bagaimana tidak, bila tetangganya saja bingung terhadap kalung itu. Lalu ketika ditanya soal harga, ia tak bisa menjawabnya. Adriaan lagi-lagi yang mengajarkannya membuat harga yang membuat Runi sempat berlinangan airmata. “Aku sepertinya nggak suka yang begitu-begitu.” Ia tertawa. Kini ia berhasil berbisnis secara profesional, dan Adriaan banyak membantunya, atau setidaknya menjadi konsultan untuknya.
Kisah di atas hanyalah sebagian kecil romatika awal perjalanannya di dunia perak. Eksistensinya semakin berkembang ketika ia bergabung bersama Persatuan Ahli Perancang Mode Indonesia (PAPMI). Di sini ia merasa senang karena bertemu dengan banyak sosok kreatif yang memiliki sudut pandang yang lain terhadap sebuah karya. Betapa hidupnya langsung berubah ketika suatu kali karya “kalung sapi” tersebut masuk di halaman sebuah media. Ia menjadi lebih percaya diri. Runi yang pemalu itu akhirnya pernah mencapai posisi sebagai Ketua PAPMI Jawa Barat tahun 1974-1977.
Untuk menguatkan kemampuan desainnya, ia belajar praktek perak di London. “Saya melihat ada perempuan-perempuan yang terjun di perak, dan oke juga ya..,” ia tertawa, mencari teman seperjuangan. Lalu bagaimana dengan sang ayah? “Setelah tahu saya di perak, Bapak langsung memberi tips-tips pada tukang saya. Tapi tidak sama saya. Dan bukan rahasia-rahasia,” katanya, sedih. Lalu tiba-tiba menitikkan air mata. “Saya pernah melihat karya Bapak dipamerkan di museum Tropen, Belanda. Indah sekali, dan saya tak pernah melihat karya ini di rumah.” Bersama suami, keduanya mendirikan CV Runa Jewelry pada tahun 1976, yang kini sudah berkembang dan beranak pinak, buah dari pengabdian dan kepasrahannya.
Perjalanan bisnisnya juga penuh petualangan.”Naik turun itu sangat sering terjadi. Tapi selalu saya bilang begini: Runi, it’s normal. Hari ini kamu di bawah, sudah sampai dasar. Pasti akan naik. Saya percaya hidup itu keseimbangan,”ia menegaskan filosofinya. Bila problem dirasa sangat berat, ia punya kepercayaan. “Tuhan, Kamu pasti akan menolong saya. Saya mencintaimu,” air mata mengaliri pipinya. Ia mengusapnya, lalu berkata,”Saya tak pernah menangis seperti wawancara sekarang ini.” Beberapa problemnya antara lain soal tagihan yang tak dibayar dan dia tak punya kuasa untuk mengelaknya karena alasan bangkrut, selain juga soal bajak membajak yang justru dilakukan oleh orang yang sangat dikenalnya.
Menghadapi semua persoalan, ia sudah punya cara. “Saya senyumin orang itu. Kalau kita bisa memaafkan, kita akan menang,’ ia masih menangis. “Sekarang pintu ini tertutup, tapi saya percaya pintu-pintu lain akan terbuka. Dalam hidup saya sering dapat keberuntungan.” Runi (64 tahun) adalah ibu dari tiga anak: Miranda, Alvin Daniel Dipodi Palar, dan Xenia Dani Palar, dan nenek dari 7 cucu. Ia kini menikmati hidupnya di rumahnya yang asri di Bali, sekaligus museum tempat memamerkan kreasi-kreasinya. Eksistensinya semakin hari semakin diakui. Seperti wine, semakin tua semakin dicari dan bernilai tinggi. Bersama musik, telepon, dan bunga, ia menikmati hari-hari yang menyenangkan, entah di rumahnya, entah di mancanegara. Ia terus aktif berkarya. Ia tersenyum, kebahagiaan itu seperti terpahat di perjalanan hidupnya. Lalu ia kembali menitikkan airmata. Ia ingin kembali berbagi bahagia untuk sang bunda. (Rustika Herlambang)
Stylist: Milka Sumampow. Make Up Artist: Carmelia. Lokasi: Museum Runa
Leave a Reply