Interaksi Dua Hati
Melayani dengan sepenuh hati tidak hanya membuat ia bahagia, namun juga merupakan kunci kesuksesannya
Setelah pukul delapan malam, situasi Lodtunduh, Ubud, Gianyar, Bali terasa sepi. Hanya desah binatang malam seperti jengkerik memecah kesunyian. Atau sesekali terdengar desir angin yang mengusik dedaunan. Namun di sebuah rumah bergaya Bali itu musik klasik terus mengalun. Wangi bebungaan yang ditata rapi di setiap ruangan menyemarakkan suasana malam. Di sanalah, desainer perak ikonik Indonesia, Runi Palar, tinggal bersama suaminya, Adriaan Palar. “Rasanya seperti bulan madu terus,” Runi tersenyum, tersipu-sipu, mengawali pertemuan dengan Pesona awal Juli lalu.
Runi terlihat cantik malam itu. Riasan wajahnya pas. Rambutnya digelung dan disemat bunga kantil segar. Busana warna hitam berpotongan dekonstruksi dipadukan dengan aksesori gelang, bros, dan anting perak kreasinya, tak membuatnya terasa berlebihan. Sebaliknya, kesederhanaan justru muncul. Mungkin karena gaya bicara Runi yang selalu bernada rendah, dan seolah menempatkan diri sebagai teman yang “ngemong”. Padahal ia bisa bersuara lantang atas kesuksesan pameran Modern Bali Style 2010 di Jepang beberapa hari sebelum pertemuan, di mana ia bertanggung jawab untuk membawa rombongan desainer Indonesia. Ia tetap saja bersikap rendah hati, kendati eksistensinya sebagai desainer perak sudah diakui. Karya-karyanya tersebar di berbagai ritel butik eksklusif di Indonesia, Singapura, Hongkong, Jepang dan Amerika.
Dari Panggung Tari ke Perak
Kehadirannya dalam dunia perak tak pernah disangka sama sekali. Ia mengaku sama sekali tak pernah memikirkan terjun di bidang perak, sesuatu yang sangat tak menarik perhatiannya. “Waktu itu saya melihat desain perak sangat tradisional. Saya tak suka,” katanya mengenang.
Padahal dunia perak sangat dekat dengan dirinya. Ayahnya, RS Tjokrosoeroso, adalah ahli kerajinan perak bakar, yang juga merupakan orang pertama yang memamerkan keahliannya di San Fransisco, Amerika Serikat, pada tahun 1938. Meski demikian, ia tak pernah sekalipun diajak sang ayah bercerita tentang kegiatannya tersebut. Bahkan hingga Runi menikah dan membangun bisnis peraknya berpuluh-puluh tahun kemudian, sang ayah tak juga memberikan “kunci” keberhasilannya. Kadang memang membuat Runi kecewa, namun di sisi lain ia merasa bahwa ia bisa lebih bebas membuat kreasi sesuai karakter dirinya.
Dalam sudut pandang sang ayah, dunia perak bukanlah dunia perempuan. Untuk itu, waktu kecil Runi diminta untuk belajar menari di keraton Yogyakarta di bawah asuhan GPH Tedjokusumo dan aktif di kegiatan kepanduan. Runi pun menaklukkan tantangan tersebut. Ia menari dengan sepenuh hati, dan beruntunglah ia dikaruniai bakat, sehingga greget kepenarian itu muncul pada dirinya. Selulus sekolah menengah atas Runi melanglang buana ke Amerika dan Eropa untuk memerkenalkan Indonesia melalui tariannya. Itu sebabnya ia sebenarnya tertarik untuk menjadi koreografer.
Pertemuannya dengan lelaki yang ditemuinya di Paviliun Indonesia, New York World’s Fair, Adriaan Palar telah mengubah jalan hidupnya. Ia yang awalnya mengambil kuliah di Institut Teknologi Tekstil (ITT) Bandung harus menerima fakta untuk berhenti karena menikah, hamil, dan kemudian melahirkan anak perempuan sulungnya, Miranda Risang Ayu. Terbiasa melakukan berbagai kesibukan, sungguh menyiksa bagi Runi tanpa ada kegiatan sama sekali. Maka mulailah ia berbisnis kecil-kecilan dari rumah usaha floris, desainer baju, hingga sepatu dan tas. Di sisi lain, ia terus menggunakan waktunya untuk belajar apa saja: bahasa, merangkai bunga, modiste, hingga mengikuti pelatihan reiki.
Sampai suatu kali, ia merasa bosan. Adriaan memberinya ide: membuat perhiasan perak. Ide ini memang cukup menyentak Runi, berkaitan dengan hubungannya dengan sang ayah, selain perak kurang mengena di hatinya. Tapi Runi bukanlah perempuan yang berani menolak pendapat suami. Dengan pasrah ia berkata, “Ya sudah, saya coba…” Adriaan lantas mencarikan tukang untuk menggarap kreasinya – dan itulah awal mula ia menjadi desainer perak. Sudah pasti ditebak, jalan berliku untuk bisa menawarkan hasil karyanya yang tidak biasa. Untuk mengasah kemampuan, ia belajar praktek perak di London, Inggris. Setelah selama enam tahun bergerilya dengan berbagai kreasinya, akhirnya Runi dan Adriaan mendirikan CV Runa Jewelry tahun 1976.
Perjuangannya dalam perak akhirnya membuahkan hasil yang memuaskan. Karakter desainnya yang unik dengan mudah masuk ke berbagai retail butik eksklusif. Sembilan tahun terakhir, ia selalu rutin menggelar karya terbarunya dua kali setahun di Jepang. Di luar itu, Runi yang pernah memegang penghargaan The American Gold Star Award for Quality tahun 1986 itu sudah tak terhitung berpameran di berbagai belahan dunia. Ketekunannya berbuah baik. Lalu bagaimana dengan keinginannya menjadi koreografer? Runi tersenyum, lalu dengan nada kekanak-kanakan ia berkata,” Sekarang tarian saya ada di perak..”
Pertemuan Dua Hati
Sepanjang pertemuan dengan Runi, nama Adriaan seolah tak pernah lepas dari dirinya. Suaminya yang desainer interior lulusan Institut Teknologi Bandung itu selalu memberinya dukungan dan kesempatan untuk selalu mengasah diri. Bahkan ketika sesi pemotretan terjadi, Adriaan masih memberikan masukan pada sang istri dan memberikan angle pemotretan yang membuat ibu 3 anak berusia 64 tahun itu terlihat lebih baik. Dan memang, di kamera Adriaan, wajah Runi terlihat lebih segar.
“Dulu saya sempat belajar psikologi sesudah menikah. Kami memiliki perbedaan tradisi yang menonjol,” Runi membuka rahasia. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh kebiasaan yang dibawa dari keluarga masing-masing. Runi, berlatar belakang tradisi Jawa kental yang mengabdi pada suami. Sementara Adri – hingga kini ia memanggil suaminya dengan panggilan Mas Adri – berasal dari Manado. “Waktu itu saya merasa ada yang kurang, apa saya tidak bisa mengimbangi Mas Adri?,” ia mengisahkan saat-saat awal pernikahan. Masalah ini akhirnya diselesaikan ketika ia belajar pada Sekolah Istri Bijaksana di bawah bimbingan Prof. Dr. Sikoen Pribadi, SpSi. “Saya tahu Mas Adri sayang sama saya,” ia berujar malu-malu.
Dan memang, Adrian berperan besar sebagai “guru” baginya. Soal desain memang seluruhnya diserahkan pada Runi, namun Adriaan selalu memberikan masukan. “Dulu memang sering mengkritisi, tapi dalam rangka mendidik dia mengenai prinsip-prinsip desain. Dia kan otodidak, saya berpendidikan seni,” Adriaan menjelaskan. “Saya pula yang selalu meminta dia melakukan sesuatu, karena saya tahu, dia memiliki taste yang bagus,” ungkap Adri yang tak memiliki rasa cemburu terhadap kesuksesan nama istrinya. Selain bakat, tukas Adrian, kekuatan Runi adalah dalam soal pelayanan. ‘Runi sangat pandai melayani pelanggan.” – sebuah kebiasaan yang diturunkan dari keluarganya: rasa pengabdian.
“Memang kadang saya keras dalam kata-kata sama Runi, hingga kadang ia berlinang air mata. Tapi saya selalu melihat dari sisi luar bahwa hal itu akan merugikan dia,” katanya terus terang. Buat Adriaan, nama Runi Palar sangat sayang untuk dipertaruhkan. Dia harus terus mempertahankan kualitasnya. Dalam istilah Adrian, “ Kamu sudah berbuat biasa saja sudah dianggap gila, mengapa harus berbuat gila? Ha ha ha…” Apakah Runi menyerah dengan segala keputusan Adri? “Saya sudah punya kiat tersendiri. Mengalah tidak berarti kalah. Selalu ada jalan untuk dibicarakan,” ungkap Runi tersenyum. Hubungan romantis seperti ini ternyata menjadi bumbu kesuksesan bisnis yang mereka jalankan bersama.
Mewujudkan Museum Cinta
Meski menghabiskan masa kecil dan remaja di Jogja, menikah dan tinggal di Bandung, Runi ternyata jatuh cinta pada pulau Bali. Awalnya, ia mengikuti sang suami yang mendapat pekerjaan mendesain interior berbagai hotel-hotel bintang lima. Lama kelamaan, keindahan kota dan kehangatan penduduknya membuatnya terobsesi memiliki rumah di dekat pesawahan di Bali. Adriaan menyeyujuinya. Dan pada sebuah keberuntungan, ia berhasil membeli rumah di daerah Batu Bulan dengan cara dicicil.
Setahun menempati rumah tersebut, ada hal yang mengganjal pada diri Adriaan. Lokasi Batu Bulan amat jauh dari wilayah Celuk, sentra perhiasan di Bali. Setiap ada tamu, keduanya hanya bisa menjamu di restoran. Sementara itu, sebagai desainer ia harus terus memamerkan produknya. Di tengah kebingungan itu, Adriaan mengusulkan untuk membuka butik di Grand Hyatt, Bali. “Saya pusing memikirkan sewa yang amat mahal. Tapi Mas Adri terus meyakinkan,” Runi mengenang butik pertama yang hingga kini masih tetap abadi.
“Saya ingin mengundang tamu saya datang ke rumah,” kata Runi yang ketika itu membayangkan terus sebuah rumah di tepi sawah yang luas. Ketika pertama kali membeli tanah tersebut, ia amat terkejut karena kondisinya masih “jumpalitan”. Selama setahun Adriaan membereskan kondisi tanah, dan ketika akhirnya rumah itu jadi, Runi merasa sangat terkejut. Dimensi tanahnya menjadi menarik. Kubangan air yang ada di sana dibuat menjadi kolam yang cantik. Suasana alam yang sudah indah sejak awalnya dibiarkan seperti apa adanya.
“Jeng, kamu masih menyimpan barang-barang kreasimu kan? Aku mau buatin museum buat kamu,” Runi mengutip kata-kata Adriaan di tahun 2000 yang membuatnya tergagap-gagap. “Mas Adri boleh minta apa-apa sama aku, tapi aku nggak mau minta apa-apa sama Mas Adri,” ia tersenyum mengenang. Tangannya memain-mainkan bunga kantil kuning yang diletakkannya di atas meja makan tamu, tempat wawancara terjadi. Dan itulah yang kemudian diwujudkan Adriaan: Runa House of Design & Museum. Di sini, Runi meletakkan seluruh kreasi perjalanan karyanya selama 34 tahun terakhir. Sesekali, Adriaan yang kini banyak melukis, meletakkan karyanya di sana. Perpaduan itu sangat serasi.
Di samping museum, Adriaan membangun sebuah guest house bergaya Bali dengan pemandangan indah di kanan kirinya. Hampir setiap hari, guest house itu dipenuhi tetamu yang datang dari berbagai kota dan negara. Museum yang diidekan Adrian tersebut ternyata menjadi satu-satunya museum perhiasan di Bali, sehingga menjadi tujuan wisata yang tiada habisnya. Meski kesibukan bertambah, Runi menjadi semakin senang, bertemu, berbincang, dan berdiskusi dengan banyak orang. Suasana itu yang terus mengasah kemampuan desainnya kemudian.
“Seperti wine ya.. semakin tua semakin dicari, semakin mahal,” Runi tersenyum, membayangkan dirinya yang semakin hari semakin menikmati hidupnya dengan berbagai aktivitasnya bersama Adriaan. Sampai kini, jadwal kepergian pameran dan kedatangan tamu terus memenuhi jadwal harian Runi. Ia seperti mereguk hasil kerja kerasnya selama ini. Apalagi ketiga anaknya, Miranda, Alvin, dan Xenia Palar, masing-masing sudah mandiri. Dan di Runa House of Design & Museum pada akhirnya menjadi saksi wujud cinta di antara Runi dan Adriaan. (Rustika Herlambang)
Baru kejap tadi saya jumpa tulisan yg sama … awak ada lebih dari satu blog ke ?
Saya tak ada blog lain untuk feature.