Narasi Terpendam
Ilmu jejaring sosial-lah yang akhirnya mengantar ia kembali dan mengabdi untuk tanah airnya
Kini Anda hanya perlu satu rantai untuk mengenal Roby Muhamad (35). Fisikawan dan sosiolog ini namanya dibincangkan dunia karena eksperimen Proyek Dunia Kecil yang dilakukan bersama Prof Duncan Watts dan Dr. Peter Dodds (2003). Proyek tersebut diadakan untuk menguji kembali hasil percobaan Stanley Milgram yang mengklaim bahwa sembarang dua orang di dunia hanya terhubung dengan rata-rata enam orang saja. Teori tersebut terkenal dengan nama Six Degree Separation, yang lantas menghasilkan kultur pop di Amerika tahun 1967 dan memunculkan istilah Small World! (dunia kecil)
Istilah dunia kecil itu rupanya menjadi besar bagi Roby. Jauh sebelum situs jejaring sosial seperti friendster, facebook, dan twitter meledak, ia sudah bergumul dengan miliaran bank data manusia di Columbia University, New York Amerika Serikat. Bersama Watts dan Dodds, ia menggeluti jejaring data-data manusia, relasi pertemanan, sosial, politik, agama, budaya, dan ekonomi. Hasil temuan mereka mengejutkan, yakni sebanyak 6 milyar penduduk di dunia (2003) ternyata hanya terhubung dari rata-data 6 orang saja! Istilah global village – yang pernah dikemukakan oleh Marshal McLuhan (1964) dan diramaikan kembali pada awal 1990-an oleh para futuris – bukan lagi imajinasi.
Penemuan Roby membuktikan pandangan tersebut dan semakin menguatkan pondasi ilmu mengenai jejaring sosial di dunia. Kini, jejaring social menjadi istilah yang seksi. Globalisasi bercerita jejaring social. Berbagai inovasi teknologi mendasarkan diri pada jejaring social. Roby – lulusan S2 Fisika teori di Institut Teknologi Bandung – adalah juga doctor sosiologi lulusan Columbia University, New York, Amerika Serikat, yang fokus pada soal ini. Ia menolak tawaran bekerja di kampusnya, memilih pulang ke Indonesia beberapa bulan lalu, demi alasan romantis: ibunya. “Saya ingin Toby bisa merasakan kasih sayang dari kakek neneknya seperti yang saya alami dulu. Itu sebuah pengalaman yang indah dalam hidup yang ingin saya bagi bersama Toby,” ujarnya. Toby Muhamad adalah nama anak lelakinya yang lahir di New York enam tahun lalu. Roby lantas bergabung menjadi dosen di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, sebagai dosen.
Perjumpaan kami berlangsung dalam beberapa kesempatan, baik di rumah tempat tinggalnya kini di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, maupun di restoran tempat ia bertemu dan bertukar pikiran dengan teman-temannya. Memang tidak mudah mengenal Roby secara dekat. Ia amat pendiam, dan sengaja berjarak dengan lawan bicaranya – apalagi wartawan yang bertanya masalah pribadinya. Ketika tape recorder dinyalakan, ia menjawab sangat taktis dan diplomatis. Bahasa tuturnya sangat formal. “Saya pikir hidup saya biasa saja. Saya lebih suka bercerita tentang pekerjaan saya,” dan memang begitulah yang terasakan.
Namun ketika perasaan sudah mulai nyaman, ia berubah menjadi orang yang menyenangkan. Perbincangan lancar. Ia menjelaskan berbagai hal dengan sudut pandang yang membuat orang yang diajak bicara terlarut dalam dunia imajinasinya. Seperti ketika bicara novel The Trial karya Franz Kafka. “Ketika saya menamatkan novel itu di pinggir pantai di Bali, saya langsung telepon istri saya. Novel ini membuat saya gelisah. Analoginya seperti ombak. Saya tahu ombak terus bergerak, suatu saat saya akan basah oleh riak. Tapi saya tetap duduk di tempat yang sama. Saya rindu suasana ketika tubuh saya tersiram riak. Itulah perasaan saya. Ada dingin yang menyergap, kemudian pergi, dan saya menanti. Ah rasanya seperti ironi. Saya suka ironi. Ironinya basah, tapi saya dapat makna.”
Ia terdiam sejenak.” Mungkin ini nyambung dengan alasan kepulangan saya. Saya sudah mencari ilmu, memiliki karier riset ilmiah yang signifikan, masuk jurnal Science, mendapat perhatian media, tapi saya melihat figur ibu saya, ia dokter yang berkeliling Jawa Barat, ada human touch. Di Amerika saya bisa saja begitu, namun kalau dengan orang Indonesia lebih ada artinya, lebih ada relasi yang bermakna. Saya ingin mencari makna itu,” ia mengungkapkan perasaannya. Salah satu hal ingin dilakukannya adalah merekrut mahasiswa-mahasiswa terbaik Indonesia dan melakukan proyek idealis untuk negara. “Saya ingin terlibat dalam memperkuat demokrasi Indonesia. Bentuknya belum jelas, tapi saya ingin organik. Kita harus punya banyak ide dan gagasan untuk disebar,”ujarnya. “Belajar dari kampanye Presiden Obama, saya percaya pada kekuatan narasi. Dan salah satu keinginan saya adalah membuat pesta demokrasi Indonesia menjadi lebih murah dengan pendekatan jejaring sosial. Saya tahu apa yang akan saya lakukan,” ucapnya.
Mimpi idealis itu tidak berlebihan. Mungkin semacam keinginan untuk berbagi sesama dengan cara yang lebih “urban” – dalam istilahnya, alias dengan caranya sendiri, secara intelektual. Berbagi atau mengabdi adalah jiwa dari keluarga Roby, adalah hal yang rupanya menggelisahkannya belakangan ini, setelah menyelesaikan pendidikannya di Amerika. Ia belajar benar pada pengalaman hidup pada keluarganya. Ayahnya, Prof. Dr. Wahyu Karhiwikarta, professor kedokteran olahraga, yang hingga kini masih berkeliling Indonesia untuk mengajar. Ibunya, dr. Hanariah Wahyu, seorang dokter anak. Ia sendiri anak bungsu dari empat bersaudara, di mana jarak dengan kakak terdekatnya 8 tahun. Ketika ia lahir, sang ibu tengah mengambil pendidikan spesialis. Ia dirawat oleh kakak perempuan yang berusia 10 tahun. “Waktu kecil saya suka protes, kenapa mama malah ngurusin anak orang. Kadang kesal, malam-malam mama ditelpon, dan kemudian pergi karena urusan emergensi,” cerita Roby yang waktu kecil acap ikut ibunya keliling daerah untuk kampanye oralit dan kesehatan. “Tapi sekarang, saya baru sadar, betapa besar pengabdian Ibu saya untuk masyarakat,” katanya tersenyum, malu. Sementara ayahnya diingat sebagai sosok pendiam, sangat gemar membaca, dan memiliki dunia sendiri.
Buatnya, masa kesendirian di rumah pada masa kecilnya adalah sebuah kemewahan. “Saya diberi waktu untuk take a break. Saya memanfaatkan (nguprek) yang apa saja yang ada di rumah. Mainan banyak sekali, turunan dari kakak. Dan saya suka berada di antara buku-buku sains,” ujarnya sembari mengenang apakah kesukaannya pada fisika karena pengalaman membaca buku-buku tersebut. Ia mengaku bukanlah anak pintar di sekolah. Nilainya biasa-biasa saja, bahkan sempat tak dipercaya bila ia diterima di jurusan Fisika ITB. Hobinya gaul dan main musik. Ia pernah menjadi pemain gitar di sebuah grup band beraliran blues. “Saya memang suka mengikuti hati. Mungkin karena mental anak bungsu, ibaratnya saya ingin membaca koran yang orang lain tak baca,” ia menjelaskan alasan mengapa ia tak ingin menjadi dokter seperti kakak dan orang tuanya dan menyukai blues. Tapi ketika kuliah, ia berubah menjadi sosok serius dan berjarak dengan gaya hidup sebelumnya. “Mungkin pencarian identitas,” katanya. Hobi musiknya berhenti. Ia menggarap skripsi mengenai Lubang Hitam Stephen Hawking (1998), dilanjutkan disertasi mengenai Teori String dan Teori-M (2000).
Perubahan hidup itu muncul lagi ketika tahun 1998. Ia merasakan sendiri bagaimana rasanya seolah menjadi miskin karena keadaan. Pertemanan yang akrab dengan seorang teman non muslim di sebuah kedai kopi di Jakarta, akan bisa berubah menjadi permusuhan, bila keduanya berada di tengah kerusuhan Ambon. Pada saat demo besar-besaran, ia berhadapan dengan teman-temannya yang saat itu menjadi tentara. Tapi luar demo, mereka kembali duduk semeja. Insting ilmuwannya bekerja. “Bila sains bisa memberi tahu asal usul alam semesta, kok tak bisa menjelaskan gejala sosial, krisis moneter, dan konflik sosial?,”gundahnya. Di tengah menyelesaikan pendidikan S2-nya, ia menemukan disiplin ilmu complex system yang membawa sains fisika dan menerangkan gejala sosial. Itu sebabnya ia meneruskan pendidikan masternya di Quantitative Method di jurusan Social Sciences, Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat, sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan doctoral di bidang sosiologi.
Berbagai kegelisahannya seperti mendapat jawaban di sosiologi. “Kini saya mengerti fenomena penyebaran konflik, krisis finansial, dan penyebarannya ada di jejaring,” ungkapnya. Pengetahuannya di fisika teori ternyata sangat membantunya dalam memetakan persoalan yang terjadi. Ia pernah memelajari mengenai penyebaran penyakit SARS, krisis finansial yang melanda Asia, dan penyebaran konflik yang terjadi di Asia. Namun di sisi lain, ia merasakan bedanya menjadi doktor di bidang fisika teori dan sosiologi. “Di fisika, orang percaya pada hasil penelitian ilmiah, di sosiologi, setiap orang bisa menjadi sosiolog berdasarkan hasil pengalaman mereka sendiri,” ucap Roby yang sangat terinspirasi oleh Kartini yang dianggapnya sebagai pelopor intelektual Indonesia yang berjuang secara individu dan keluar dari sistem lama.
Agar memahami dunia sosiologi yang berhubungan narasi, ia yang hidupnya merasa linear, belajar berat pada novel-novel klasik Rusia yang kaya akan tragedi hidup. “Saya pernah diminta untuk banyak membaca buku fiksi waktu kuliah di New York, katanya agar bisa membuka pikiran, dan tulisan saya yang seperti stakatto terasa lebih hidup. Saya harus mendengarkan my own song. Ha ha ha.. ternyata sampai sekarang gaya tulisan saya tetap seperti stakato.” Namun novel-novel inilah yang kemudian membuatnya menjadi lebih sensitif dan melihat begitu banyak narasi terpendam di sekelilingnya. “Idealismenya sih ingin mengangkat narasi terpendam. Membuat banyak corong untuk narasi-narasi terpendam ini,” ia mendesah. Ia merasa banyak sekali pengalaman pribadi sebagai sosiolog yang seharusnya bisa dituliskan dalam sebuah fiksi. “Saya sudah mencoba, tapi hasilnya stakato.”
Apakah kisah cintanya juga stakato? Ia tertawa. “Kebetulan saya sedang berpikir tentang cinta. Cinta itu obsesi, saya terobsesi karena misterinya. Mungkin pandangan saya ini karena saya baru selesai membaca Museum of Innocence Orhan Pamuk,” ujarnya. Lalu mengisahkan tentang kata mutiara Einstein yang diletakkannnya di meja belajar ketika ia pacaran dengan Tika Sukarna, istrinya kini. “Keindahan muncul dari misteri. Misteri menantang kita hingga terobsesi,” ia memaparkan pandangannya. Baginya, perempuan yang menarik adalah orang yang punya dunia sendiri dan dunia itu kaya tiada habis yang memicu keingintahuan. “Tika tentu memilikinya,” ia menyebut istrinya yang doktor di bidang Biologi Molekuler dari City University, New York.
Ia lantas beranjak dari kursi, memanggil istrinya. Setelah selesai berbincang-bincang bertiga, ia mempersilakan sang istri kembali pada aktivitasnya. Mata Roby terus mengikuti hingga Tika menghilang dari pandangan. Lalu kembali meneruskan perbincangan. “Hanya Tika yang berhasil meyakinkan bahwa saya bisa berhasil menjadi aktivis. Cita-cita saya ingin mengabdi pada sesama, seperti yang dilakukan oleh orang tua saya.” Roby menutup pembicaraan dengan penuh kelegaan. (Rustika Herlambang)
stylist: Karin Wijaya. Busana: Nikicio. Lokasi: kediaman Roby Mohamad
Awalnya, ia ingin bekerja di Wallstreet karena ia suka strategi, keuangan, dan melhat banyak fisikawan teori yang bekerja di sana. Namun pikiranya berubah ketika bertemu dengan profesor sosiologi Harrison White, yang juga lulusan fisika teori dari MIT. “Ia yang mengatakan pada saya agar masuk jurusan sosiologi. Namun karena ia akan ke Perancis, saya disarankan bekerja sama dengan Duncan Watts.”
Di New York, ia juga diajarkan tentang perjuangan – sesuatu yang mengingatkannya pada penulis yang ia sukai: Kartini, buku yang ditemukannya di universitas Columbia. “Kartini itu pelopor intelektual Indonesia. dia berusaha sebagai individu, berjuang, keluar dari sistem lama. Poinnya tragis, tapi dia mengerti dia tak bisa dicampakkan. Cara dia struggle dengan cara intelektual dan soliter, membuat saya tertarik.” Nyata terasa Roby, lebih nyaman bila berada dengan orang-orang yang seide dengannya – seperti juga ketika ia memilih menjadi sosiolog atau tak akan masuk fisika tanpa ketemu guru fisika SMA-nya.
yeah my dad will like this
Setelah lama pergi menjelajah pelosok negeri di luar sana, lalu, mengabdi untuk negeri…. satu harapan yang terbersit di fikir Sy hingga kini. 🙂
Salam,
assalamu’alaikum
salam hormat,
“Salah satu hal ingin dilakukannya adalah merekrut mahasiswa-mahasiswa terbaik Indonesia dan melakukan proyek idealis untuk negara.”
mas Robby Muhammad PhD yang saya kagumi, saya megutip perkataan anda di atas, saya saat ini sedang tugas akhir di bawah bimbingan Prof Zakyy su’ud mengenai reaktor nuklir, saya juga tertarik dengan dunia sosial dan kontribusi untuk indonesia, saya ingin berkontribusi untuk indonesia, apakah mas Robby bersdia merekrut saya?
terimakasih
saya menulis ini setelah mengikuti acara back to 1201 hari ini hari sabtu, 19 maret 2011 di Ruang Boscha 1201 Fisika ITB