Jembatan Dua Cinta
Ia selalu mencari cara membahagiakan orang lain, tapi belum pada cintanya.
Celoteh kisah dalam bahasa Jawa kental terasa begitu kontras di tengah alunan musik jazz di Loewy Restaurant, Mega Kuningan, Jakarta. Kisah yang begitu serunya, sehingga beberapa pasang tatap mata menoleh pada Heri Pemad, sang pemilik suara. Siang terik itu, ia tampak asyik berbincang menyantap grill escargot dari bistro Perancis dengan sesekali membetulkan letak kacamata. Ia menyelinap sejenak dari aktivitasnya memantau pameran Space & Image yang digelar di Ciputra Art World. Di ajang pameran seni akbar tersebut Heri Pemad Art Management miliknya bertidak sebagai event organizer.
Tapi perbincangan waktu itu sama sekali tak menyentuh kesuksesan pameran di Art Paris, persiapan Jogja Art Fair #3, atau konsep pameran dalam rangka pembukaan museum pribadi seorang kolektor besar Indonesia awal tahun 2011. Pikirannya masih tertambat pada seperangkat gamelan Jawa yang baru saja dipersembahkan pada warga di kampung masa lampaunya di Sukoharjo. Ia bercerita bahwa di luar kegiatan padat membuat pameran-pameran besar di berbagai kota dan negara, sengaja ia kosongkan waktu hampir setiap minggu demi menikmati alam pedesaan sambil melihat anak-anak kecil memelajari gamelan. “Rasanya senang bisa menyenangkan orang banyak,” ujarnya.
Perhatiannya pada anak-anak di kampungnya itu membawanya pada cerita masa kecilnya, di tempat yang sama, 34 tahun lalu. Di usia yang sama dengan anak-anak itu, apa yang dijalaninya kini sebagai manager seni sungguh jauh dari bayangannya. “Aku berasal dari keluarga petani,” ia yang bernama asli Herianto, membuka percakapan. Tak ada darah seni yang mengalir. Ayahnya merantau sebagai pedagang sejak ia masih kecil. Darah petani itu sendiri datang dari kakeknya, dari pihak ayah, yang biasa dipanggil dengan nama Pak Wo – sosok yang mengisi figur bapak untuknya. Sang ibu meninggal dunia ketika usianya 105 hari.
“Tidak ada hal istimewa dalam perjalanan hidupku. Hanya cerita dari orang tua bahwa aku adalah bayi yang pernah mati tapi dihidupkan lagi,” ujarnya tanpa ekspresi. Beberapa hari setelah sang Ibu meninggal, bayi tanpa susuan itu mengalami demam kejang sampai kaku dan dingin, sehingga sudah dianggap meninggal. Untunglah kala itu pamannya mencurigai kondisi tersebut dan membawanya lari sejauh 5 km menuju rumah mantri kesehatan terdekat. Heri “hidup” kembali, meski dikatakan akan penuh konsekuensi. Ia kemudian disusui oleh bibi, adik ipar ayahnya, yang memiliki anak seusia.
Jalan hidupnya bermula di sini. Ia membanggakan, “Ayahku ada tiga. Bapak kandungku, paman (suami dari ibu sepersusuan), dan Pak Wo,” sebelum akhirnya wajahnya meredup tiba-tiba. “Kadang aku merindukan Ibuku, dan membayangkan damainya kasih seorang Ibu,” ujar Heri yang tak pernah mengenal sama sekali wajah ibu yang melahirkan karena tak ada dokumentasi mengenainya. Sementara sang nenek mengembara ke kota-kota lain untuk berdagang, seperti juga ayah dan pamannya. Ia hanya tinggal berdua dengan Pak Wo, yang mendidiknya dengan sangat keras.
Di sisi lain, ia harus berjuang hidup normal dalam bersosialisasi. Kelemahan fisik akibat demam kejang masa kecil memang tidak mudah dipungkiri. Ia mengalami kesulitan mendengar, tetapi beruntunglah tidak mengalami kesulitan bicara seperti yang diprediksi sebelumnya. Fisiknya juga lemah. “Dengan kondisi macam itu, hidup dengan penuh sindiran, ejekan, sudah biasa bagiku,” katanya datar. Awalnya menyakitkan, tapi ia tak pernah menyerah. Ia selalu ingin berkawan. Untuk mencapai keinginan ini, ia rela melakukan berbagai hal untuk menyenang-nyenangkan kawan-kawannya. Salah satunya melalui kemampuan menggambar. “Banyak teman minta dibantu (menggambar). Bahkan gambar yang terpampang di kelas, seperti peta dan gambar pahlawan, aku yang membuat,” katanya.
Dengan kepandaian menggambar dan kebiasaan membantu Pak Wo di sawah membuat ia sempat gamang antara menjadi petani atau seniman. Namun karena melihat Pak Wo juga mendukungnya setiap latihan menggambar, ia lantas memilih melanjutkan pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta – meski ia menunggu selama tiga tahun hingga bisa diterima di sekolah seni bergengsi tersebut. Dalam waktu kosong tersebut ia bekerja apa saja, termasuk menjadi pengamen di Malioboro dan tukang amplas di perusahaan ukiran, demi bertahan hidup di Yogyakarta.
Antiklimaksnya, ia justru keluar dari kampus ISI sebelum mendapatkan gelar sarjana. “Ilmunya sudah habis, dan aku nggak mau meneruskan, karena toh nantinya aku jadi guru. Dalam bayanganku guru itu galak,” katanya sambil tertawa, lalu melanjutkan alasannya,“Aku menikmati kehidupan sebagai seniman. Karena itu aku harus membuktikan. Tanpa ijazah, aku bisa hidup dari berkarya seni.” Tahun 1998/1999 adalah masa puncaknya menjadi seorang seniman. Gaya lukisannya bergaya ekspresionis dan diinspirasikan dari kehidupan petani. Pada masa ini, ia menikahi gadis tetangga kos yang begitu memerhatikannya selama bertahun-tahun.
Nama Heri Pemad – yang menjadi sangat popular – kini adalah bagian lain dari perjalanan hidup yang tak bisa dipisahkan darinya. Nama itu diberikan oleh teman-teman nongkrongnya di Jogja. Ia mengapresiasi, percaya, dan menerima begitu saja nama yang diberikan teman-temannya- tanpa pretensi apa-apa, yang ketika itu dikatakan bermakna bagus. Beberapa tahun kemudian, ia baru mengetahui bahwa Pemad berarti edan (gila) dalam bahasa Jawa bolak-balik khas Jogja. Mengetahui hal tersebut, ia sempat marah. Tapi lagi-lagi ia luluh pada pernyataan teman-temannya. “Yang edan bukan orangnya, tapi karya atau harganya.” Dia tertawa.
Namun dunia seni juga mengenal surut. Hal itu dialami di tahun 2001.
“Benci sekali lihat kanvas. Malas melihat lukisan,”ujar Heri yang lantas menyadari ada ketidakberesan dalam dunia seni yang diakibatkan ketiadaan infrastruktur di dalamnya. Ia melihat karya seni ditawar-tawarkan ke pembeli seperti menawarkan barang antik atau sepeda motor. “Seharusnya ada cara yang lebih elegan dari itu,”ucapnya. “Keadaan ini telah memaksaku untuk menekuni, merintis, dan mendirikan lembaga untuk menambal infrastruktur dunia seni rupa yang kuanggap bolong, dan mengesampingkan profesiku sebagai pelukis,” ia memberi alasan didirikannya Heri Pemad Art Management (HPAM) sepuluh tahun lalu. “Terjun di bidang seni kan tidak harus menjadi pelukis.”
Apa yang dipikirkan itu kemudian dirintisnya perlahan-lahan. Ia mulai dari pekerjaan sebagai tukang sebar undangan untuk pameran-pameran lukisan. Dari pagi hingga malam hari ia terus mengantarkan undangan, sembari berharap bisa bertemu dengan tuan rumah sang seniman, dapat suguhan kopi, rokok, dan tentu obrolan panjang yang bisa menambah wawasannya. “Aku selalu mendapatkan energi baru, semangat baru, dan ide segar setelah berdiskusi dengan seniman,” ujar Heri yang secara rutin dan bergantian berkunjung ke studio seniman untuk ngobrol dan membicarakan apa saja yang berkaitan dengan perkembangan seni.
Sifat ingin selalu membahagiakan banyak orang, selain kehangatannya, membuat ia diterima semua pihak. Dalam beberapa kesempatan, ia diminta banyak kolektor untuk mengantar ke rumah seniman. Kelebihan lainnya, ia bisa memberikan masukan kepada kolektor dan seniman mengenai sebuah karya. Ia seperti sebuah jembatan yang menghubungkan antara seniman dan kolektor, dengan pendekatan yang non komersial. Oei Hong Djien (OHD), kolektor karya seni terbesar di Indonesia menyebut Heri sebagai The Wonder Boy. “Kerja keras, tanggung jawab,bisa dipercaya. Itu kunci kesuksesannya. Apalagi dia paham seni rupa,” ujar OHD yang pernah meminta Heri untuk mengorganisir Art Wedding bertema Tobacco and Art (2008) dan Loro Blonyo kontemporer (2009) yang melibatkan lebih dari 100 seniman.
Kini, Heri sudah memiliki event seni tahunan sendiri, ARTJOG(Jogja Art Fair). Dalam event ini, tugasnya mencari bintang-bintang baru dalam dunia seni. Ia mencari, mengkurasi, di antara ribuan karya seniman dari seluruh pelosok negeri, untuk dipamerkan dalam sebuah ajang khusus – yang membuat Yogyakarta menjadi lebih berkilau sebagai ibukota seni rupa kontemporer Indonesia. Di tangan Heri pula, salah satunya, perkembangan seni rupa kontemporer bergerak melalui ajang yang digagasnya setiap tahun. Di luar itu, ia juga menjadi organizer seperti pameran di Ciputra World, Esa Sampoerna Art House dan sebagainya. Kali ini, ia menjadi jembatan penghubung dunia seni kontemporer Indonesia dengan para penikmatnya. “Ke depan, Pemad akan semakin bersinar dan buat rebutan. Selain ada hoki, ia paling pandai memelihara hubungan,” OHD menegaskan.
Namun sayangnya, konsep soal memelihara hubungan ini tidak berlangsung pada kehidupan cintanya. Perkawinannya kandas, melahirkan seorang putri berusia 10 tahun bernama Biru Damai Tanpa Batas. “Fakta ini seperti memberi bukti bahwa di satu sisi aku lemah dan kalah dengan perempuan,” katanya jujur. “Semestinya cinta membebaskan, bukan mengurungku,” lanjutnya sembari menyebutkan sisi perempuan yang sangat diinginkannya: keibuan, mandiri, dan lebih dewasa daripada dirinya. Mungkin yang diperlukan kini ia perlu membuka diri, membuka hati, dan belajar mencintai dan membahagiakan perempuan, seperti ia mencintai dunia seni. (Rustika Herlambang)
lokasi: Sangkring Art Space. Stylist: Quartini Sari
wuapik mbak ulasannya
HP menginginkan wanita yang keibuan dan lebih dewasa dari dirinya. Mungkin itu kompensasi dari keinduannya yang sangat mendalam akan belaian kasih sayang ibu.